Bawang Merah dan Ibunya Sangat Jahat, Bawang Putih Sabar dan Baik

“Tidak proteski bawang putih?” tanya Daeng Tompo’.

“Tidak. Bawang putih tetap sabar mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dibebankan kepada dirinya. Dia tidak pernah mengeluh,” tutur Daeng Tompo’.


 

------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 25 Juni 2021

 

Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’:

 

 

Bawang Merah dan Ibunya Sangat Jahat, Bawang Putih Sabar dan Baik

 

 

“Dulu, ada cerita tentang bawang merah dan bawang putih,” kata Daeng Tompo’ kepada Daeng Nappa’ saat ngopi malam di teras rumah Daeng Nappa’.

“Betul, tapi kulupa-lupami ceritana. Ceritaki’ padeng dulu,” kata Daeng Nappa’ sambil tersenyum.

“Bawang merah dan bawang putih itu bersaudara tapi lain ibu dan juga lain bapak,” kata Daeng Tompo’ memulai ceritanya.

“Kenapa dibilang bersaudara tapi lain ibu dan lain bapak?” tanya Daeng Nappa’.

“Ceritanya, ibunya bawang merah itu janda, sedangkan ayahnya bawang putih itu duda. Mereka menikah, maka jadilah bawang merah dan bawang putih bersaudara,” jelas Daeng Tompo’.

“Oh, begitu. Terus,” kata Daeng Nappa’.

“Tak lama setelah menikah, ayah bawang putih meninggal, maka bawang putih pun dipelihara ibu tirinya,” lanjut Daeng Tompo’.

“Terus,” potong Daeng Nappa’.

“Ternyata ibu tirinya jahat. Dia sangat pilih kasih. Hampir semua pekerjaan rumah dibebankan kepada bawang putih, sedangkan bawang merah dibiarkan tidak melakukan apa-apa, dan semua keinginan bawang merah dipenuhi oleh ibunya,” lanjut Daeng Tompo’.

“Tidak proteski bawang putih?” tanya Daeng Tompo’.

“Tidak. Bawang putih tetap sabar mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dibebankan kepada dirinya. Dia tidak pernah mengeluh,” tutur Daeng Tompo’.

“Berarti bawang merah dan ibunya jahat, sedangkan bawang putih itu baik?” tanya Daeng Nappa’.

“Betul. Bawang merah dan ibunya sangat jahat, sedangkan bawang putih sabar dan baik hati,” jawab Daeng Nappa’.

“Terus,” potong Daeng Nappa’.

“Dalam kondisi seperti ini, apakah kita suka kepada bawang merah dan ibunya, atau suka kepada bawang putih. Apakah kita berpihak kepada bawang merah dan ibunya, atau berpihak kepada bawang putih?” tanya Daeng Tompo’ sambil tersenyum.

“Pastimi saya berpihak kepada bawang putih,” jawab Daeng Nappa’.

“Pertanyaan saya berikutnya, adakah ulama dan kiyai yang pakai baju merah kalau masuk ke dalam masjid? Adakah ulama dan kiyai yang pakai baju merah kalau ceramah di masjid?” tanya Daeng Tompo’.

“Biasanya ulama dan kiyai itu pakai baju putih, jarang sekalika’ bahkan mungkin tidak pernahka’ liat ulama dan kiyai pakai baju merah, apalagi kalau mereka ceramah di mesjid,” kata Daeng Nappa’.

“Jadi jelasmi to?” tanya Daeng Tompo’ sambil tersenyum.

“Tunggu dulu. Tidak mengertika’ ini ceritata’? Tadi kita’ cerita tentang bawang merah dan bawang putih, terus kenapa tiba-tiba beralih ke ulama dan kiyai, dan dihubung-hubungkan dengan wana baju. Apa sebenarnya intinya ini ceritata?” tanya Daeng Nappa’ penasaran.

“Janganmaki’ dulu mengerti. Tidurmaki’ dulu. Besok subuh pi kita lanjutkangi ceritana,” jawab Daeng Tompo’ sambil tersenyum dan ia pun langsung pamit, sementara Daeng Nappa’ hanya bisa garuk-garuk kepala. (asnawin)

 

Jumat, 25 Juni 2021

#TettaTompo

-----

Obrolan sebelumnya:

Belanja di Warung Daeng Bollo Tidak Perlu Bayar, Cukup Bilang “Bapaka”

Sendal Mahal Dipakai di Kaki, Songkok Murah Dipakai di Kepala

Ada yang Usulkan Bapaka Tiga Periode Jadi Presiden

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama