Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (1)



Qurban adalah jenis ibadah (pendekatan diri) paling tua di kehidupan dunia ini. Qurban diajarkan pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 



---------

Selasa, 20 Juli 2021

 

 

Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (1)

 

 

Dr Abdul Rakhim Nanda

(Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel / Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Makassar)


Pada hari Selasa, 10 Dzulhijjah 1442 H, bertepatan dengan 20 Juli 2021 Masehi, dengan penuh rasa haru dengan suasana yang serba terbatas kita merayakan Idul Adha, semoga Allah SWT memberi petunjuk (hidayah) dan pertolongan (ma’unah) bagi kita, agar keluar dari lilitan masalah –isu wabah Covid-19-- yang membatasai seluruh ruang gerak kita, termasuk untuk kebutuhan menunaikan ibadah mahdha kepada Allah SWT.

Hal yang paling menyedihkan bahwa saudara-saudara kita di negeri ini yang telah mempersiapkan diri untuk melakukan ibadah haji (rukun Islam yang kelima itu) dengan mengumpul rezki secara bertahap (sesuai kemampuan masing-masing) atas dorongan iman, sehingga telah menjadi cita-cita mereka, namun  terpaksa harus tertunda.

Sungguh pun demikian, tentu saja kita tidak perlu berkecil hati, karena wabah ini hanya merupakan salah satu ujian dari Allah SWT bagi orang-orang beriman, dan setiap ujian pasti ada hikmah besar yang terkandung di dalamnya.

Khusus untuk ujian wabah penyakit ini, Rasulullah s.a.w. menyatakan dalam sabda beliau: “Dari ‘Aisyah RA, ia berkata; Saya bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukanku, ‘Zaman dulu tha’un adalah azab yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seseorang yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di rumahnya dengan bersabar, serta mengharapkan ridha Ilahi seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR Ahmad).

Hari ‘Iedul Qurban, ‘Iedul Adha secara etimologi, kata qurban berasal dari bahasa Arab qariba –yaqrabu– qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang berarti dekat (S. Askar, Al Ahzar: 2011: 656), sehingga menurut istilah, qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah melalui ritual penyembelihan hewan ternak.

Adapun kata ‘Idul adha muncul dari “udhhiyyah” yang merupakan bentuk jamak dari “dhahiyyah” (dari dhaha) yang artinya ‘naiknya matahari’ waktu dhuha, sedangkan udhhiyyah sendiri bermakna ‘hewan yang dikurbankan’ (S. Askar, Al Ahzar: 2011: 439).

Ini menununjukkan makna waktu prosesi penyembelihan qurban yang diselenggarakan seusai shalat ‘Idul Adha 10 Dzulhijjah (hari nahar), ditambah tiga hari pada tanggal 11-13 Dzulhijjah (hari tasyriq).

Kata qurban yang bermakna ‘dekat’, bila diberi akhiran huruf nun-alif yang bermakna ‘sempurna’, maka kata qurban menjadi qurbanan yang bermakna ‘pendekatan diri secara sempurna.’

Qurban adalah jenis ibadah (pendekatan diri) paling tua di kehidupan dunia ini. Qurban diajarkan pertama kali oleh Nabiullah Adam a.s kepada kedua putranya (Qabil dan Habil) untuk memperoleh jawaban dari perselisihan antara keduanya, yang manakah di antara keinginan mereka yang diridhai oleh Tuhan Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Maidah/5: 27, yang artinya, “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata: ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Maidah/5: 27)

 

Qabil dan Habil

 

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil sebuah hadits riwayat As-Su’di yang berasal dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud yang menggambarkan kehidupan awal dari Adam dan Hawa beserta anak-anak mereka, mulai dari Hawa setiap melahirkan anak yang selalu kembar, aturan perkawinan di antara anak-anak mereka.

Qabil yang hidup dengan berkebun dan Habil yang hidup dengan beternak yang membentuk watak antara keduanya.

Penyelisihan Qabil terhadap Habil terkait penetuan calon istri mereka, Adam a.s memerintahkan mereka untuk berqurban, Qurban Habil diterima sedang qurban Qabil ditolak oleh Allah, Qabil berkehendak membunuh Habil, Habil (yang perkasa) menghadapi dengan besar hati, Qabil membunuh Habil dengan nafsunya, akhirnya Habil pun terbunuh dalam ketaqwaannya.

Ketika Qabil kebingungan bagaimana cara memperlakukan mayat adiknya, oleh Allah SWT diperintahlah burung Gagak untuk mengajarinya.

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepada-nya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: ‘Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Maidah/5: 31)

Demikianlah kisah burung gagak yang diperintahkan Allah untuk memperlihatkan cara mengubur orang yang mati kepada Qabil.

Para ahli tasfir ada yang meyakini bahwa peristiwa pembunuhan oleh Qabil terhadap saudaranya Habil ini merupakan peristiwa pembunuhan/pertumpahan darah yang pertama kalinya dilakukan manusia di muka bumi ini.

Qabil melakukannya atas dorongan kedengkian karena qurbannya yang dilakukan “sekadarnya” itu tidak diterima oleh Allah, yang sekaligus bermakna bahwa keinginannya --untuk memperistri kembarannya-- tidak dapat dipenuhi. (bersambung)


-----

Artikel Bagian 2:

Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (2)


Artikel Bagian 3-habis: 

Makna Qurbânan Sebagai Pendekatan Diri Secara Penuh Kepada Allah (3-habis)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama