-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 06 Desember 2025
Budaya Goresanku Pentadbiran
Oleh: Maman A. Majid Binfas
(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)
Budaya bukan dipahami dengan pemaknaan sempit hanya secara etimologi, yakni 'budaya' atau bentuk jamak dari budi yang berarti akal budi atau budi dan daya yang berdimensi seni, sastra, adat dan istiadat saja.
Tetapi, pemaknaan budaya dengan kompleks yang mencakup, model, bentuk, cara, gaya, sikap, pola perilaku, dan pengetahuan multidimensi.
Hal itu, menjadi dasar saya sehingga memilih model disertasi/thesis hingga journal atau artikel lainnya menggunakan judul dengan diksi"Budaya Pengelolaan Pendidikan Muhammadiyah dan NU" atau mengarah kepada pentadbiran. Esensi pentadbiran, baik mengacu pada gaya atau budaya pengelolaan urusan bernegara maupun organisasi, pendidikan agar berjalan dengan lancar dan efisien serta berwawasan Aku dan engkau juga kau.
Kau tanpa Aku
Diksi kunci di dalam berperang adalah memang, kalau bukan kau yang mati, ya mungkin Aku
Tetapi, kau telah ketahui bukan Aku
Kalau, begitu bukan lagi, terserah kau
Memang telah diketahui, bukan lagi mungkin kau atau kalian tanpa Aku_(Mabinfas, Senin 22:40, 1 Desember 2025).
Goresan di atas ini, prof. Muchdie A., mengusul pada bagian akhir dari larik, apakah: "Bisa dibalik gak? Aku tanpa Kau.."
Kemudian, saya membalas: "Tak boleh lagi, dikarenakan diksi ini sudah menjadi dirinya semdiri, kira2 begitu prof Muchdie A ... tks ."
Kemudian, lahir goresan berdiksi berikut ini.
Diksi Jadi Dirinya
Bila diksi prosais telah digoreskan, maka ia telah berjiwa menjadi jati dirinya sebagai tumpuan sumpah, tempaan arah di dalam bercermin
Hanya, boleh ditafsir bah edukasi musafir nan haus akan Lauh Mahfudz
Tetapi, kebenaran mutlak akan makna hanya Tuhan dan penggoresnya_(Mabinfas, Selasa 08:04, 2 Desember 2025.
Sama dengan esensinya di dalam goresan saya, tentang "Gulita Gerhana Agama" yang dimuat oleh beberapa media online [2025/11/03], di antaranya; kompassindonesianews; mabesnews; pedomankarya; dll. Saya akan menukil kembali pada bagian sub yang berkaitan dengan pemaknaan diksi prosais atau puisi yang telah jadi goresan dipubliskan . Ia tanpa bisa diubah, sekalipun terjadi gerhana apapun menerpanya.
Gerhana Agama
Kalau, Matahari juga bermainan gerhana gulita
Tak lagi, jauh berbeda dengan bulan berbintang pun telah bergerhana gulita
Jadi gurita, tentu sama mawon, bumi akan padam dalam gulita
Lalu, di mana lagi pelita jadi peta jalan siang malam, 'tuk berkalam
“Ihdinas sirotol mustaqim” agar tidak karam menjadi bara "Waladdollin" ĺ
Maka, gerhana Agama Islam bukan lagi terancam, tetapi memang akan karam. Mungkin sungguh aduhai, kiamatan akan terjadi berkalam gerhana agama dalam gulita kelam
Wallahu'alam, namun Agama berkalam, bukan sekedar angan 'tuk didagelani.
Kemudian, muncul tanggapan dari Prof. Muchdie M Syarun: “Kiamatan= ? Klo kiamat sdh jelas.” Kemudian saya balas: "pada larik sebelumnya ada diksi ... 'mungkin sungguh aduhai'". Selanjutnya beliau membalas "mungkin" dam saya balas : syukron atas kritis cerdasnya prof Muchdie M Syarun".
Dua hari kemudian, tiba-tiba tampil komentar tanpa diduga yang sungguh tajam dan sangat dalam dari Bang Syahril Syah, Maestro Sang Pendekar dalam keilmuwan. Beliau tidak pernah mau berkomentar sembarangan, bila tak logis dan bermakna yang urgens di dalam karya orang lain.
Bahkan, esensi komentarnya dengan padat dan sungguh tajam serta sangat dalam. Luar biasa dahsyat menggelitik dengan logis yang sarat makna. Adapun komentarnya, saya copypasta saja dengan apa adanya, yakni;
“Saya begitu sangat yakin bahwa obyek yang ditunjuk dalam tema tentu sulit diraba, atau dirasa apatah lagi dicerna. Tentu bukan hanya karena diksi karya ini begitu apik menyembunyikan metafora dan similenya meski harus mengernyitkan dahi hingga membekas hingga tua. Di samping itu, imaji yang berkelindang dengan rima dan ritmenya beraksentuasi “sintetik” sehingga pola metrisnya bukan hanya mewarnai makna setiap kata. Namun cukup tajam membelah makna.
Seperti, di awal sambutan, obyek yg menjadi temanya, tentu tak bakal sadar menjadi arah telunjuk amuk sang pengurai.
Ya, gelora sang perindu yang mewakili suara “demontrasi di langit lapis ke tujuh” bagi mereka yang masih menyisakan hasil celupannya dari sebuah kawah candradimuka bernama perkaderan.
Secara intrinsik, dorongan merajut untaian kesadaran ini terasa tsunami di tengah hiruk pikuk kefanaan yang melenakan.
Meski seperti belati terselip mengiris hati dan merobek jantung, namun itu lebih baik tinimbang terkapar di atas cadas akibat terpeleset dari tebing nan curam.
Terimakasih Sdrku, t’lah menyelamatkan janji pertemuan kita di samping Al Anhar bagian hulu. Bukan hilir yg kini sedang merona menjadi “hilirisasi” tempat bersembunyinya kaum pembohong dan rompak."
Kemudian, saya balas dengan sangat heran dan cukup kaget juga; “Waduh, kalau Sang Maestro Pendekar telah turun gunung dan berdiksi sungguh tajam begini hingga menembus bumi berlangit jingga!
Saya hanya bisa berkomentar 'super dahsyat luar biasa ' teriring salam doa tanpa akhirnya! syukron Bang ”
Akhir kalam goresan ini dengan diksi syukron katsiran, semoga kita semua terhindari dan terjauh dari akar logika yang berkesan polesan. Baik bermuara pada kadar yang terkesan berdilematis maupun berdimensi menggoyangkan cerminan dari akar keyakinan kepada Rasullullah Saw yang sungguh tulen dan tulus hanya kepada Tuhan tanpa kesesatan.
Sholat Juga Sesat
Apalah arti dari sekedar rajin sholat juga tadarusan, tetapi beriring beramaksiatan juga berkesesatan
Kalau rajin hanya sekedar berakrobatan dalam beragama kepada Tuhan, tentu sama dengan super kedunguan tanpa bisa diobati
Kalau kelakuan tetap saja, habis sholat, lalu bermasiat lagi, itu sama saja mempermainkan Tuhan secara tulen
Bila, habis sholat Subuh bertebaran lagi untuk berbuat maksiat di dalam kesesatan
Habis sholat Dzuhur bertaburan lagi untuk berbuat maksiat di dalam kesesatan
Habis sholat Asyar bersasar lagi untuk berbuat maksiat di dalam kesesatan
Habis sholat Magrib berbuhulan lagi untuk berbuat maksiat di dalam kesesatan
Habis sholat Isya bersirkulasi lagi untuk berbuat maksiat di dalam kesesatan
Dan begitu terus saja kelakuan, tentu, jangankan Tuhan akan murkah, orang dungu sekalipun akan marah, bila dengan kedunguan didagelankan demikian.
Budaya dagelan kedunguan demikian, juga pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw.
Tatkala para tokoh kafir Quraisy menawarkan diri kepada Nabi Muhammad saw. akan menyembah Allah Swt. selama satu tahun dengan syarat bahwa Nabi Muhammad Saw. pun harus menyembah Tuhan yang mereka sembah selama satu tahun.
Tentu Nabi Muhammad SAW menolak tawaran demikian, dikarenakan memang tidak bisa mengkompromikan aqidah Islam, yang mengajarkan keesaan Allah Swt dan melarang penyembahan berhala atau kesesatan nyata.
Maka, QS Al Kafirun ayat 1 sampai 6, diturunkan Tuhan dengan tegas, di antaranya;
"Qul yā ayyuhal-kāfirụn: Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Lā a'budu mā ta'budụn: "aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah"
dan esensi sholat yang sesungguhnya, adalah QS Al-'Ankabut: 45 yang berati: "Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar"
Bukankah budaya pentadbiran hanya beresensi kepada ibadah sholat yang bertakbir Allahu Akbar
berhingga wasalam _tanpa tergores dengan noda najis kekejian yang sungguh telah menghina Rasulullah Saw sebagai utusan Tuhan yang berkalam suci.
Wallahu'alam
