Momokan Menghabisi Vaksinasi



Nestapa pun PPKM terkadang dimaknai beragam dan tidak sedikit juga dilenturin pemaknaan bersimbolin macam-macam langgamnya. Bahkan ada yang mensinonimkan atau diperpanjang sebagai Pemaksaan Perlakuan Kepada Masyarakat (PPKM) berdaruratan. (Maman A Majid Binfas)


 


------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 15 Juli 2021

 

 

Momokan Menghabisi Vaksinasi

 


PEDOMAN KARYA

Kamis, 15 Juli 2021

 

 

Momokan Menghabisi Vaksinasi

 

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Dosen Pascasarjana Uhamka, Jakarta)


Saya dijapri oleh sahabatku yang baik, Asnawin Aminuddin, Pimpinan Redaksi Pedoman Karya, pesannya lebih kurang begini, “Siapa tau ada waktu bikin tulisan tentang kejadian ini, sekarang lagi hangat jadi pembicaraan di media sosial.” (WA, 15/7/2021). 

Kejadian yang dimaksud, yakni kelakuan Satpol PP yang menampar seorang Ibu Hamil (belakangan diketahui dia tidak hamil, karena tidak mau saat diminta tes kehamilan dan tidak bisa menunjukkan bukti kehamilannya, red), sebagaimana termuat pada sorotmakassar.com (15/2021), dan insya Allah akan singgung bagian akhir narasi ini.

Sebenarnya, saya agak kurang imun untuk menanggapi kejadian berbias premanisme selalu bersikap animalisme yang melelahkan, di negeri ini yang hampir setiap perlakuan UU dan PP mesti ada saja dipertontonkan, baik sebaik pengalihan isu maupun sandiwara yang sengaja diviralisasikan.

Namun, karena diminta penuh pesan kesantunan yang tulus oleh teman baik, maka terpaksa menggairahkan imun untuk menulis, walau mungkin tidak sebagaimana diharapkan.

Boleh jadi, mungkin seperti buah diharapkan dari janji-janji angin surga dikampayekan oleh pemangku amanah negeri mulai pucuk hingga akar rumputpun, tetap kerontong hampa dan nestapa.

Nestapa pun PPKM terkadang dimaknai beragam dan tidak sedikit juga dilenturin pemaknaan bersimbolin macam-macam langgamnya. Bahkan ada yang mensinonimkan atau diperpanjang sebagai Pemaksaan Perlakuan Kepada Masyarakat (PPKM) berdaruratan.

Bias pemaknaan liar demikian, akibat kecurigaan berlebihan, namun hal itu tidak mesti dicurigai berlebihan pula oleh Penguasa.

Kemudian, mereka yang kreatif memaknainya, dianggap sebagai musuh yang menghalangi otoritas PPKM. Tetapi anggap saja bagian dari pemikiran kreatif yang mesti dikembangkan dan dirumuskan kebih terbuka dalam kelogisan.

Tidak semua dirumuskan mesti disetujui, namun perlu disadari bahwa sesunggguhnya ternyata apa yang dilakukan oleh penguasa tetap juga dipikirin oleh publik yang makin cerdas, __tidak bisa dibohongi lagi.

Bukan berarti dianggap berlebihan sebagai lawan yang mesti dikerangkengin, seperti budaya kebiasan tidak logis tanpa manusiawi selama ini. Dan terus dicurigai hingga mengganggu kesehatan batin publik sebagai warga yang mencintai negaranya. Sama halnya, dinamika penangkapan Dokter Louis, kemudian saya membagi tulisan berikut ini.

 

Dokter Louis vs Logiskah Pemerintah?

 

Bila ada yang beritikat baik dan lebih cerdas mungkin boleh jadi ikhtiar yang berdampak positif sehingga dapat keluar dari beban bencana bangsa.

Eloknya dibuka dialog terbuka saja secara luas, tanpa ada intimidasi berlebihan dan berketakutan atas kekeliruan diradiasikan.

Siapa tahu niatannya baik untuk mencari solusi, demi kemaslahatan bersama. Maka, eloknya Pemerintah Indonesia mesti dewasa dalam berdemokrasi dalam memahami perbedaan cara pandang dengan siapapun warga negaranya.

Tidak mesti dipandang berlebihan secara politik, manakala ada publik berbeda cara pandang dengan temuan berlainan, atas dasar selera kebiasan yang berlawanan. Mungkin boleh jadi cara pandang demikian akan membawa dampak sinergi sungguh brilian nan cemerang, __nantinya untuk kebaikan generasi bangsa ini.

Siapapun secara logis yang boleh saja berbeda dalam dataran metologi pendapatnya, tentang asumsi ilmu kajianya. Terpenting bisa dipertanggungjawabkan dan masuk akal waras secara akademis.

Termasuk, dilakukan oleh dokter Louis atau yang lainnya dalam pandanganya, sekalipun nantinya mungkin tidak sebagaimana diharapkan. Mungkin juga bisa lebih ada bias akan tanda kelogisannya.

Tidak perlu ditangkap atau dikerangkeng karena perbedaan dimensi cara pandang sesuatu, justru dengan muncul cara pandang berbeda kita akan berbagi ide guna menemukan solusi yang terbaik dan tepat sebagai jawabannya. Di dalam merumuskan langkah terbaik sebagai solusinya.

Mungkin dengan sinergi perbedaan demikian, siapa tahu menemukan rumusan sebagai sasaran dalam menghadapi bencana negeri, termasuk varialisasi Covid ini.

Mestinya pemerintah yang makin arif dan bijaksana. Bahkan seharusnya mengundang diskusi pada pihak berbeda cara pandang, dan bukan sebaliknya dituduh sebagai perlawanan atau musuh dengan berbagai tuduhan tidak logis pula.

Kita mesti bersama-sama membangun kesadaran berdasarkan logika siuman dengan kebeningan hati nurani, guna keluar dari bencana ini tanpa dagelan menghinakan.

Mari dengan itikat yang bijak, dan kiranya pemerintah tidak menguras energi yang berlebihan. Meradangkan situasi tidak membawa dampak sehat walfiat, akan sia-sia, baik raga maupun jiwa hingga maut kematian.

Kalau begini terus dagelan saling menghadang dan mengkarengkeng pikiran berbeda hingga kini, belum juga siuman untuk meraih husnul khotimah.

Alangkah celakanya, jejak kenegaraan ini, manakala akan diwarisi sejarah buruk yang sungguh mengiris nurani hingga tujuh turunan menyesalinnya.

 

Sungguh, menyedihkan kuburan sekalipun__

...

Dari tulisan ini, ada yang komentar yang beragam, diantaranya,

Susarah Lobo (2021),

Setuju pak. Mengapa tdk boleh berpendapat?

Jadi ingat lagi video viral dari mbak Ning, salah satu anggota DPR senior PDIP yang menolak vaksin, tapi tidak ditangkap, Atau ketika Lucinta Luna menyebarkan berita bohong tentang kehamilannya, tapi juga tidak ditangkap.

Kemudian, Ahmad Jubaedi (2021)

Permasalahan utamanya bukan pada perbedaan pendapat, tapi cara menyampaikan pendapatnya yang tidak menggunakan cara-cara yang benar menurut kesepakatan yang ada.

Niat yang baik harus menempuh cara yang baik, misalkan dalam forum ilmiah atau jalur profesi, bukan medsos apalagi media propaganda yang sarat muatan politis dan retoris, kecil kemungkinan untuk menghasilkan sebuah kebenaran. Yang jadi korban adalah orang-orang awam atau dipelihara tetap awam. Wallahu alam.

Selanjutnya, Muhammad Irvan menanggapi komentar Ahmad Jubaeli

Komunikasi cerdas,

Dan ditimpali oleh Susarah Lobo,

“Saat ini Panggung untuk forum ilmiah sudah langka, dikebiri tiktok dan podcast. Saya setuju dengan pak maman, harusnya pemerintah mendorong terciptanya diskusi ilmiah yg seimbang melalui media resmi.”

Terus dikomentar lebih lanjut oleh Jubaedi, “Sebenernya Bisa memanfaatkan BRIN secara maksimal dan forum lintas perguruan tinggi secara maksimal, atau melalui medsos MB Center seperti ini yang produktif dan informatif.”

 

Kedua komentator di atas, Susarah Lobo dan Ahmad Jubaeli, adalah mahasiswa Pascasarjana Uhamka, Insya Allah akhir bulan Juli ini akan ujian terbuka, dan saya menjadi salah satu pengujinya.

Pendapatnya, saya sangat hargai, mungkin boleh bernilai berbeda dengan kontens dan sekalipun kontras dengan apa yang saya bagi, __hal itu wajar saja.

Dan saya sebagai pendidik dan pengujinya, sekalipun berbeda secara diologis dengan pendapat saya, __tidak akan berpengaruh dengan keputusan penilaian ujian akhirnya.

Persoalan perbedaan pendapat dengan mahasiswa secara ilmiah tidak mesti dibawa kepada persoalan arogansi keakuan tanpa makna. Persoalan di laut di bawah ke darat. Tentu saya berupaya menempatkan diri menghargai keilmuan dengan menghindari sikap arogansi merasa diri lebih dari yang lain. Karakter sikap arogansi biarlah menjadi hak milik penuh sebagai komponen pihak kesesatan yang dikutukin oleh Tuhan.

Tanggapan saya dari sekian komentar terhadap narasi tersebut, kurang lebihnya dengan senyuman manis dan logis berlapang dada, yakni sebagai berikut.

Andaikan, sebelum dikeluarkan tawarkan diskusi secara luas kepada dokter Louis, untuk memaparkan kelogisan idenya. Boleh saja yang menjadi fasilitator diskusi oleh pihak Polri dengan pakar kesehatan dari Kemenkes, dan atau pakar yang logis secara akademis. Dan publik boleh menyaksikan dengan diviralkan melalui TV. Maka, kecurigaan yang diperdebatkan tidak menjadi buah simalakama, berdampak kecurigaan yang belogika sungsang lagi.

Hal itu lebih elokan, termasuk tidak mesti dicurigai berlebihan, dan bermunculan diksi nyinyir: giliran Dokter Louis dibebasakan sesegera mungkin, tetapi di lain sisi ada yang ditahan tanpa dipertimbangkan jua, misalnya Habib Rizieq, dan yang lainnya.

Boleh dong orang berasumsi demikian, tetapi tentu bisa aja dianggap liar secara filosofis atas kesamarannya___tetapi, mesti terbuka bila ada masalah dianggap janggal, jangan langsung dijagal.

Perlakuan cara jagal, ini mesti dihindari oleh pemangku negara, sekalipun kepada pihak yang baru diduga teroris__

Jadi, cara dialogis mesti dibangun dengan kecerdasan di atas rata-rata__ jangan biasakan pikiran kerikilan liaran dibudayain.

Mestinya boleh berbeda, seperti filosofis kita bisa lahir di dunia ini, justru karena atas perbedaan jenis kelamin pula_ ini tanpa bisa dipungkiri oleh siapapun.

Kemudian, muncul komentar dari ustdaz Doktor Dahlan Lama Bawa,

“Ini baru narasi mendidik. Pendekatan hukum dengan menggunakan alat negara pertanda panik dan khawatir sandiwara gagal amburadul, sebab publik sudah berbalik dari kepatuhan paksa pada kesadaran mutlak.”

Dari komentar Ustadz Dahlan, saya berkomentar. “Ustadz, mungkin akan lebih adem lagi dengan pendekatan keagamaan. .. . atau kini sudah tak mempan karena terdampar ketakutan berlebihan sehingga mereka mungkin telah dan kalau boleh diidentikkan  ...  wajilat qulubuhum.”

Boleh jadi, akibat dari “hubbud dun ya” berlebihan ! Mohon pencerahan.Tks.

Dari pelbagai komentar dan tanggapan, terutama tertangkapnya Dokter Louis, dan kemudian saya membagi tanggapan sungguh menarik dan logis dari Menkes Siti Fadilah di era Presiden SBY. Beliau mengharap kepada Pemerintah Jokowi mesti lebih bertanggungjawab dalam menangani radiasi Covid-19 ini.

Sebelum masuk pada tanggapan Menkes pada era SBY, semestinya, Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab demi kepentingan Rakyatnya, justru berpihak dengan kecintaan. Selalu mencerahkan bukan sebaliknya membolak-balikkan fakta,__justru menjadi beban batin tiada akan berakhir hingga kiamat dituntut bukti.

Pemerintah mestinya berani, lebih terbuka dan berdiolog dengan pejabat sebelumnya, seperti menteri kesehatan yang berani berdiologis dengan WHO dan dagelan Amerika sekalipun.

Boleh berbeda, karena perbedaan justru melahirkan kecintaan sesungguhnya, sebagaimana Dr Siti Fadilah, sekalipun kemudian didiadili tanpa logis secara kontents, tetapi kental nunsa politikalisasi.

Beliau, berpendapat tentang kejadian Dokter Louis saat ini, tentu dengan argumen yang diologis yang mendasar dan mencerahkan. Beliau, menegaskan kini bukan saatnya lagi takut tertular Covid-19.

“Jangan takut ketularan, sudah zaman seperti ini kok takut ketularan. Takutnya kalau sudah masuk rumah sakit tidak bisa sembuh,” tambahnya.

Meski begitu, Ibu Siti Fadilah mengimbau masyarakat tetap waspada terhadap risiko kematian yang ditimbulkan oleh masuknya virus Covid-19 ke dalam tubuh.

Saat menjadi Menteri Kesehatan, beliau dihadapkan dengan fenomena flu burung yang saat itu menyebar dari Vietnam. Begitu juga sempat berseteru dengan WHO lantaran menolak menyerahkan sampel virus H5N1_ [https://m.bisnis.com/20210621/15].

Tertolak, hingga hilang atau langgeng Coviden bukan karena sikap tegas dengan dedikasi kekasaran bergaya animalisme. Perlakuan darurat PPKM, tidak juga pemerintah berniat untuk melakukan aturan mesti bersikap animalisme berketerlaluan. Perilaku sebagai cerminan memangsa mesti berparas premanisme kepada rakyat sendiri, sedapat mungkin tetap dihindari.

Walaupun, terkadang memang ada terkesan longgar pada warga negara orang lain sebagaimana disesalin oleh banyak pihak, termasuk anggota DPR yang diviralkan sebulan berlalu. Justru ini, terasa dikesan sikap perlakuan yang sungguh tidak berimbang dengan ambigu pada warga negara sendiri.

Sungguh sangat disesalkan hal demikian, karena bukan menyelesaikan masalah kedarutan PPKM didagelankan, tetapi justru akan menghadirkan kecurigaan berlebih yang sungguh berbias liar kepada pemimpin itu sendiri.

Mungkin hal itu, wajar dan boleh saja terjadi tiada mesti merasa kebakaran janggut bila tidak pernah melakukan. Dagelan premanisme animalisme tersebut, menjadi petaka dan beban bebalan yang tidak selaras dengan aturan mendaruratkan PPKM digelorakan.

Publik, wajar saja mencurigainya mengapa mesti masif diperlakukan berlebihan, memang ada apa dan mengapa mesti tidak berimbang kelakuanya sehingga tidak cair pada pelaksana lapangan.

Termasuk, implementasi pembatasan yang dipahami secara kerikilan atas radiasi pemaknaan secara premanisme oleh oknum tertentu, mungkin di antaranya.

Perlakuan oknum Satpol PP berinisial Dhn, seperti di dalam video yang diviralkan dalam durasi beberapa menit, tampak diikuti rekannya Abd Raj memasuki sebuah kafe yang sudah tak berpengunjung. Namun, pintu depan masih terbuka sebagian, dan di dalamnya hanya pasangan suami istri pemilik kafe sedang duduk-duduk.

Sebagaimana termuat pada sorotmakassar.com (15/2021), saya kutip apa adanya. Di mana Satpol PP dengan gaya ala seorang 'jagoan'/preman, langsung memperkenalkan diri, walau sudah berseragam lengkap yang tegap.

Tanpa basa basi Satpol PP meminta diperlihatkan izin kafe tersebut. “Saya Satpol PP punya kewenangan menutup tempat ini jika tidak ada izinnya,” lantangnya dengan nada tinggi sambil menghampiri seorang wanita hamil yang sedang duduk di kursi depan meja kasir. [https://sorotmakassar.com (15/7/2021)].

Walaupun, sikap begini sungguh disesalkan, dan kami berharap pengendalian nafsu antara satu dengan yang lain _mesti diindahkan. Terutama, para pelaksana di lapangan, sebaiknya menghindari tindakan menyesatkan dan disesali bersama.

Apalagi, mungkin niat PPKM dan Vaksinisasi adalah demi rasa kemanusiaan yang berkeadaban.

Jangam sampai ternodai dengan sikap justru sebaliknya, beresiko semakin tidak simpatiknya masyarakat yang punya negara, dan telah memilih serta menggaji pamongnya. Justru tidak menunjukkan sikap kepamongan tetapi menjadi momok pemangsanya.

 

Vaksin Kedepanin Sikap Kecintaan Tanpa Memaksa, akan lebih kesan negara demokrasi.

Kemarin saya membagi tulisan di tautan facebook yang berdiksi rasa cinta kepada negeri, di antaranya.

 

Wahai gaes PameRintah

Bila mencintai negeri, dan rakyat jadi bentengmu_. Maka, kejujuran terdepan, bukan lilitan utang nan lintang pukang jadi pilihanmu_💪🇮🇩

Dan termasuk tiad ..Timpang tertampar antar WNA dengan WNI mengenai Coviden terdampar__🦇

Namun,

Jangan pernah lelah memuntahkan gagasan untuk kemaslahatan, sekalipun secuil dari butiran biji zarrah__

Namun, logis penuh bilhikmah kesantunan menjadi pilihan__

Dan

Negeri kita mesti kuat dan bangkit sendiri agar tidak dijadikan layang-layang oleh negeri lain__ Pilihannya tepat dan cerdas tanpa lungu lungu__

bukan jua kuasa, lututan demi recehan bertopeng___🎭

 

Wallahu a'lam

  


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama