Saya Satpol!

Satpol PP bertugas memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemerintah daerah dalam kebijakannya hadir untuk mengatur dan menata segala kegiatan dan aktivitas publik yang ditentukan melalui peraturan dan dikawal bersama dalam pelaksanaannya.

Sangat disayangkan dan disesalkan jika dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tersebut, harus terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan semua pihak. (ist)


 





-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 25 Juli 2021

 

 

Saya Satpol!

 

 

Oleh: Andi Mappanganro

(Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasakti Makassar)

 

 

“Satpol PP harus membuktikan bahwa Negara bukan hanya bisa bertindak, tapi juga hadir memberikan solusi untuk masyarakat.” (Hamidah Fajriah-Pikiran Rakyat, 17 Juli 2021)

“Sialan…!!” gerutu teman saya yang kebetulan baru saja selesai patroli wilayah bersama anggota Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, sambil duduk dan pesan kopi di kantin kantor.

Saya menanyakan perihal kekesalan beliau. “Kenapaki?” tanyaku penasaran.

Sambil menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan kuat-kuat dia menjawab, “Itu tadi waktu patrol ki’, banyak anak-anak tanggung di batas kota (Gowa-Makassar) teriak-teriak patoa-toai (Bahasa Makassar yang bisa berarti mengolok-olok), Saya Satpol…saya satpol, bikin panas kuping.”

Sambil tersenyum saya memesankan kopi susu untuk teman saya lalu saya kembali asyik membaca chat WhatsApp (WA) di hape android saya.

Beberapa hari terakhir, ledekan dan hujatan baik berbentuk komentar pedas di media social hingga ejekan berupa teriakan secara langsung seperti yang dialami oleh teman yang saya ceritakan di atas, menjadi istilah yang jadi trend dan akrab di telinga kita, khususnya di Sulawesi Selatan.

Penyebabnya tak lain akibat insiden pemukulan oknum anggota Satpol PP terhadap suami istri pemilik warkop di Panciro, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, saat patroli gabungan guna memantau aktivitas warga dan pemilik usaha yang melewati batas waktu aktivitas selama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Kejadian tersebut tak pelak memicu kekesalan, amarah masyarakat dan sekali lagi, media sosial menjadi cyber justice publik dalam menghakimi lewat komentar pedas dan melecehkan satuan penegakan Perda tersebut.

Meme dan emoji hingga video plesetan yang dibuat oleh publik yang kreatif menjadi akrab di grup media sosial dan membuat kita tersenyum tertawa karena kekocakan nya.

Dan buntut dari hal ini, sang oknum Satpol di non-aktifkan dan ditahan, sementara pemilik warkop menjadi makin tenar dan mendapat empati dari berbagai pihak.

Suatu hal yang sudah sepatutnya menjadi pelajaran bagi pemerintah daerahdalam pelaksanaan kebijakan.

Menjadi salah satu anggota Satpol PP merupakan sebuah kehormatan, sebuah tugas mulia dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap pemerintah dalam mengawal penegakan peraturan daerah.

Penulis menilai bahwa menjadi anggota Satpol PP bukanlah sebuah pekerjaan mudah, bukan semata-mata berpenampilan mirip anggota militer (TNI-POLRI), dan bukan juga bersikap seperti satuan Tugas Pengamanan (Satpam) atau sekuriti kantor-kantor swasta.

Satpol PP bertugas memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemerintah daerah dalam kebijakannya hadir untuk mengatur dan menata segala kegiatan dan aktivitas publik yang ditentukan melalui peraturan dan dikawal bersama dalam pelaksanaannya.

Ssangat disayangkan dan disesalkan jika dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tersebut, harus terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan semua pihak.

Kejadian di Kabupaten Gowa dan beberapa daerah lain, hendaknya menjadi atensi pemerintah dalam menentukan standar operasional bagi aparat dalam penegakan kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, di masa Pandemi Covid -19.

Masyarakat tentu sudah lelah. Ya, harus dipahami bahwa lebih setahun kondisi seperti ini membuat kita semua terkungkung oleh berbagai aturan yang menjadi standar dalam melakukan kegiatan.

Aturan jaga jarak, hindari kerumunan, batasi pengunjung, dan batasi waktu usaha (buka took, dan lain-lain, red), tentu berdampak signifikan terhadap perekonomian dan kegiatan sosial budaya kita.

Publik harus diberi kepastian dan jaminan bahwa di masa darurat kesehatan yang mengglobal seperti sekarang ini, mereka mendapatkan kompensasi dan keleluasan mencari nafkah untuk keluarga, namun dengan menerapkan protokol keamanan diri dari keterpaparan Covid-19, pemerintah tidak perlu memberi kesan kepada publik bahwa kondisi ini harus disikapi dengan tindakan tegas.

Berikanlah penjelasan yang lebih humanis dan berkomunikasi yang bisa memberi rasa tenang dan terayomi kepada masyarakat. Tidak perlu ada gesekan-gesekan yang hanya akan membuat semua pihak tercederai.

Kita semua sudah lelah dan ingin segera perekonomian negara ini kembali pulih agar kita bisa kembali melihat anak-anak kita kembali berjumpa dan belajar bersama teman dan guru di sekolah, mall dan pasar tradisional kembali ramai oleh hiruk pikuk pengunjung dan pedagang, kantor-kantor kembali beraktivitas tanpa ada istilah WFH (Work From Home).

Penulis juga menilai, uniform Satpol PP saat ini juga memberi kesan negatif bagi sebagian public, karena meniru seragam institusi militer. Tidak jarang mereka disebut “tentara plastik” atau “polisi plastik.”

Masyarakat menjuluki tentara imitasi atau polisi imitasi, karena kelengkapan mereka hanya minus senjata api.

Beberapa Pemda sudah berupaya mengubah stigma tersebut dengan merekrut Satpol PP dari gender perempuan yang berpenampilan cantik dan menarik, meski terkesan hanya sebagai pemanis.

Yang perlu diubah bukan hanya dalam perekrutan, namun bagaimana penampilan Satpol PP bisa lebih diterima masyarakat sebagai penegak Perda yang humanis,. Tidak perlu memakai seragam layaknya tentara, tidak perlu memakai sepatu laras, tidak perlu membawa pentungan untuk menegur pedagang kaki lima (PK 5) dengan sangar.

Buka komunikasi antar-pribadi yang bisa dipahami oleh publik, dengan membawa solusi terbaik yang bisa diterima semua pihak.

Mengutip resume dari Aulia Rahma Wibowo Putri terhadap tulisan Krisyantono R, dalam bukunya yang berjudul, “Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal: Aplikasi Penelitian dan Praktik (2014)”, beliau mengemukakan tentang Situational Theory of the Public yang digagas oleh James E.Grunig (1942), bahwa publik dapat dikelompokkan berdasarkan persepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap organisasi, baik terhadap program, produk, maupun ketika terjadi situasi krisis.

Selain itu, teori ini menganggap bahwa publik memiliki pengetahuan (knowledge) dan kesadaran (awareness), sikap, dan perilaku tertentu terhadap organisasi.

Dari hal ini tentulah sebagai bagian dari pemerintah, Satpol PP harus mempunyai pemahaman terhadap publiknya atau masyarakat yang dihadapinya melalui perilaku komunikasi yang dilakukan oleh publiknya agar bisa menjelaskan seperti apa dan bagaimana menjelaskan kebijakan terhadap masyarakat, sehingga tujuan dari sosialisasi PPKM ini bisa diterima oleh masyarakat.

Penulis berharap semoga satuan yang dibentuk pertama kali di Yogyakarta tanggal 3 Maret 1950, dengan motto “Praja Wibawa” ini, bisa bersinergi dengan semua pihak, tetap berwibawa dalam menjalankan tugas namun santun dan komunikatif dalam menghadapi permasalahan publik.

Hingga di esok hari, dengan penuh takzim dan hormat, mereka bisa menyapa atau menegur warga dengan suara yang lemah lembut “Tabe’, saya Satpol PP pak/ibu,...”. Dengan cara seperti ini, wibawa pemerintah daerah dalam penegakan Perda, juga ada di pundak Satpol PP, dan sekali lagi, mereka harus membuktikan bahwa negara bukan hanya bisa bertindak dalam penegakan dengan pendekatan humanis, namun juga bisa membantu masyarakat dalam mendapatkan solusi terbaik untuk masalah yang timbul karena kebijakan pemerintah pusat atau daerah.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama