Suluk Lebaran Kesabaran Akbar

Ibadah haji menjadi tapak jejak yang tiada mungkin dipungkiri sebagai suluk pembelajaran kesabaran yang sungguh akbar, dan kini dirayakan menjadi milad Lebaran Akbar di seluruh penjuru bumi berlangitan. Menjadi momentum keyakinan yang teguh pada dimensi pengabdian sejati beribadah kepada Allah yang Maha Akbar. (Maman A Majid Binfas)


 


------

PEDOMAN KARYA

Senin, 19 Juli 2021

 

 

Suluk Lebaran Kesabaran Akbar

 

 

Oleh: Maman A Majid Binfas

(Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta)

 

Ketika, Rasulullah SAW berdiri di hadapan puluhan ribu jamaah, di tanah Arafah, beliau berkata, yang artinya “Sesungguhnya darah dan harta kalian suci (haram ditumpahkan) seperti sucinya hari ini, seperti sucinya bulan ini (Dzulhijjah) di tanah yang suci ini.”

Inilah pesan pertama yang meluncur dari lisan mulia Rasulullah SAW, di hari, tempat dan pada momen yang mulia untuk menjaga kesucian ibadah haji dan menjaga kesucian bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab).

Termasuk kesucian Mekah mesti dijaga dengan tidak boleh menumpahkan darah di dalamnya, kesucian haji dijaga dengan menjaganya dari perbuatan dosa dan perbuatan sia-sia, dan kesucian bulan Muharram dijaga dengan dilarangnya umat Islam untuk memulai perang pada bulan tersebut.

Pada momen khutbah wada’, beliau mengingatkan kaum muslimin bahwa kesucian darah, harta, harga diri seorang muslim, kesuciaan Mekah, keagungan haji, setara dengan kemuliaan bulan-bulan haram.

Darah dan harta umat Islam begitu agung nilainya di sisi Allah SWT. Dalam hadits diriwayatkan oleh HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani, kemudian dinukilkan di dalam buku Suluk Khutbah Lebaran Hingga Wukuf Arafah (Din Syamsuddin, dkk. 2019;35), Rasulullah Saw bersabda yang artinya;

“Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah ra dari Rasulullah Saw bersabda, Jika, penduduk langit dan bumi berkontribusi dalam menumpahkan darah seorang mukmin, maka Allah akan seret mereka ke dalam neraka.”

Pada hari ini, seberapa perhatiankah kita pada pesan terakhir Rasulullah ini? Untuk memperhatikan kesucian darah martabat raga jiwa dan nyawa, terutama dalam menghadapi bencana kematian seorang muslim saat musim pandemic saat ini.

Di mana, esensinya menjaga martabat menjadi kerhormatan dan diperlakukan dengan baik saat kematian mesti disucikan, adalah menjadi kewajiban kaum muslimin. Perlakukannya sama dengan menjaga kesucian Ka’bah dan Haji, sesungguhnya tidak boleh dikotori dengan tumpahan darah, saling bunuh membunuh satu sama lain?

Namun, kini bagaimana kondisi kematian di era radiasi Covidien, baik terhadap muslim maupun non-muslim? Mungkin boleh saja berasumsi, bahwa apa yang disaksikan saat ini sedang dilanda radiasi coviden seakan-akan nyawa dan mayat manusia, hanya menjadi mainan angka-angka bercocokalogi secara kuantitatif saja.

Bahkan menjadi konsumsi pablis secara viralisasi, baik oleh penguasa atau pengusaha finansial kepada publik, kesannya agak provokatif, dan mesti diviralisasi sungguh terkesan sangat menakutkan.

Kesan sangat tidak elokan memang mungkin wajar dinilai demikian oleh publik karena hanya ditakuti-takuti berlebihan, hingga covidien dianggap sebagai pencabut nyawa yang sangat mengerikan.

Walaupun, terkadang kontras diseret seakan kematian akibat covidien tanpa arti yang sungguh menakutkan pula, namun di sisi lain dikemas berlebihan tanpa dimartabatkan pada saat dikuburkan. Kondisi atau kelakuan yang mengedepan kurang keadaban, saat menghadapi bencana sistemik pandemic begini, tentu sangat patut disesalkan sebagai orang beriman.

Sebaiknya di era semacam ini, kita semua komponen elemen rahim bangsa, terutama umat Islam mesti melatih kesabaran lebih, baik pengorbanan perasaan maupun jiwa raga yang sungguh luar biasa, __meremukkan rasa kemanusiaan.

Namun, asas kesabaran di atas rata-rata, mesti diterima dan dihadapi, sebagaimana telah dicontohkan Nabi Ibrahim as dan Rasulullah SAW hingga diabadikan menjadi Ibadah Idul Qurban_ yang Insya Allah kita laksanakan hari ini berhingga kiamat dan bumi hancur lebur sekalipun.

Esensi ibadah Idul Adha atau Idul Qurban sehingga dilaksanakan agar manusia meraih kemuliaan. Manusia hendaknya belajar dan meneladani peri-kehidupan dan akhlak Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Sikap dan pandangan kaum Yahudi tersebut dikoreksi oleh Alquran. Di dalam Surat Ali Imran, 3: 67, Allah berfirman _yang artinya;

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik”

 

Teladan dari nabi Ibrahim

 

Ada tiga hal yang bisa kita teladani dari Nabi Ibrahim as. Pertama, ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Ibrahim adalah hamba Allah yang senantiasa mematuhi apapun yang diperintahkan oleh Allah dengan penuh keikhlasan, betapapun perintah tersebut sangat berat.

Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk berhijrah ke Mekah, sebuah lembah yang gersang dan tandus. Yang sangat berat adalah ketika Allah memerintah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail, putra semata wayangnya.

Al-Qur’an menyebut perintah tersebut sebagai bala’: ujian yang sangat berat. Pertama, perintah Allah disampaikan melalui mimpi, sebuah proses yang apabila seseorang tidak beriman akan menafikan dan menolak perintah tersebut.

Kedua, menyembelih anak kandung kesayangan adalah perbuatan gila dan tidak berperi-kemanusiaan. Ibrahim dan Ismail menunaikan dengan ikhlas dan mengusir setan yang menghalangi mereka. Allah kemudian mengganti Ismail dengan dzibhin adhim: binatang sembelihan yang sangat bagus (Abdul Mu’ti, 2019; 150).

Digantinya Ismail dengan binatang mengandung tiga makna. Pertama, secara syariat merupakan dasar ibadah qurban yaitu menyembelih hewan qurban yang sempurna, tidak boleh cacat dan berpenyakit.

Kedua, dalam konteks akhlak dan hakikat, Islam mengajarkan agar manusia senantiasa memuliakan sesama manusia, tidak boleh menyakiti sesama manusia, dan mengorbankan manusia lainnya demi mencapai tujuan, bahkan dalam ibadah sekalipun.

Ketiga, makna tarbiyah (pendidikan). Menurut Quraish Shihab, menyembelih binatang mengandung makna simbolis. Untuk menjadi pribadi yang utama dan meraih kemuliaan, manusia hendaknya membunuh atau menghilangkan sifat-sifat kebinatangan. Di antara sifat-sifat kebinatangan adalah memaksakan kehendak, rakus, mau menang sendiri, mengumbar nafsu birahi, menerabas aturan dan norma-norma serta menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan (Ibid. hal.152).

 

Napak Tilas

 

Menunaikan ibadah haji merupakan napak tilas kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim as. Banyak dari manasik dan lokasi terkait ibadah haji berakar atau berhubungan dengan peristiwa yang dialami Ibrahim as dan keluarganya, sejak dari tawaf mengitari Ka`bah, sa’i antara Shafah dan Marwah, meminum air abadi zamzam, hingga melempar jumrah.

Tiada lain, menjadi tapak jejak yang tiada mungkin dipungkiri sebagai suluk pembelajaran kesabaran yang sungguh akbar, dan kini dirayakan menjadi milad Lebaran Akbar di seluruh penjuru bumi berlangitan. Menjadi momentum keyakinan yang teguh pada dimensi pengabdian sejati beribadah kepada Allah yang Maha Akbar.

Keakbarannya berdimensi Ibadah yang diabadikan sebagai suluk pengabdian ketulusan; saling berpesan pada kesabaran dan keteguhan ikhlas dalam berqurban sehingga bernilai tauhid sejati hanya merahmat Allah semata.

Sebagai muslim, kita dituntut senantiasa berpegang teguh kepada nilai tauhid, yaitu hanya menuhankan Allah SWT. Maka, oleh karena itu, kita dituntut mampu melenyapkan tuhan-tuhan di dalam diri dan di sekitar kita, baik dalam bentuk hawa nafsu dan godaan pesona duniawi.

Menjadi muslim hanif mengandung arti berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah (al-haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin, kebenaran itu dari Tuhanmu, maka jangan termasuk orang-orang peragu).

Sikap hanif ini menuntut kita untuk tidak sekali-kali berkompromi dengan kebatilan dalam berbagai bentuknya. Itulah yang telah ditunjukkan oleh Ibrahim as, dan itu pulalah yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Sebagai penerus dan pewaris Ibrahim as, Muhammad SAW mengajarkan kita untuk mengamalkan tradisi Ibrahim dengan menegakkan komitmen ketauhidan dan kehanifan.

Ibadah haji dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya, seperti shalat dan puasa, sebenarnya hanyalah jalan, bukan tujuan terakhir.

Ayat Al- Qur’an: “tiadalah Kujadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”, mengandung arti bahwa ibadah itu lebih merupakan jalan dari pada tujuan.

“Ya’buduna” adalah kata kerja, maka ibadah itu merupakan proses yang harus kita lakukan secara terus menerus sebagai jalan untuk mencapai tujuan hakiki dari pada ibadah itu, yang tiada lain adalah meraih ridha Allah, dan membentuk kepribadian berakhlakul karimah (ibid.165).

Maka, pada waktu kita mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mengandung arti pernyataan atau deklarasi kita untuk menebarkan salam kepada seluruh manusia, dan juga pernyataan atau deklarasi kita untuk menyatalaksanakan nilai-nilai shalat pada masa pascashalat.

Sajadah yang perlu kita gelar bukan sependek sajadah pada waktu shalat, tapi sajadah panjang, sepanjang jalan kehidupan. Semoga.

 

Ya Allah,

terimalah ibadah haji/qurban kami dalam penuh kemabruran,

terima pula setiap usaha kami dalam penuh kesyukuran,

dan dosa kami dengan penuh ampunan,

dan perniagaan hidup kami dalam penuh keberuntungan.

 

Ya Allah,

berilah kami kemajuan hidup di dunia

dan berilah kami kebahagiaan hidup di akhirat

dan hindarkan kami dari siksa neraka.

 

Ya Allah,

Selamatkan kami dari wabah bencana

atau apa namanya yang kami hadapi

baik hari ini hingga kan datang tanpa diduga-duga,

Berikan ketabahan untuk menghadapinya

 

Ya Allah,

Tambahkan Kesabaran dalam Lebaran Akbar

menjadi saksi dalam pengabdian yang tulus

dengan keyakinan iklas kami KehadapanMU

 

….

Keterangan:

Artikel ini merupakan isi khutbah Idul Adha 1442 Hijriyah dari Ustadz Maman A Majid Binfas, yang kami ubah menjadi artikel opini atas izin beliau.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama