Mengenang Buya Syafi’i Ma’arif (1): Dari Guru, Wartawan PWI, HMI, Hingga Ketum Muhammadiyah

Dalam perjalanan hidupnya, Syafi’i Ma’arif pernah menjadi guru, wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dosen dengan pangkat tertinggi guru besar alias professor, hingga mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 




-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 27 Mei 2022

 

 

Mengenang Buya Syafi’i Ma’arif (1): Dari Guru, Wartawan PWI, HMI, Hingga Ketum Muhammadiyah

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sulsel)

 

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif, wafat dalam usia 87 tahun, di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta, Jumat, 27 Mei 2022, sekitar pukul 10.15 WIB.

Jenazah almarhum Syafi’i Ma’arif dishalati ba’da shalat ashar di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, pada hari yang sama dan shalat jenazah dipimpin Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir.

Turut menshalati antara lain Presiden RI Joko Widodo, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan sejumlah tokoh lainnya.

Syafi’i Ma’arif yang lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau, 31 Mei 1935, adalah pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity (2002), dan juga pernah mendapat kepercayaan sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

WCRP adalah organisasi lintas agama yang berdiri tahun 1970 dan berpusat di Markas PBB New York, menghimpun tokoh-tokoh berbagai agama dari seluruh dunia dan berjuang mewujudkan perdamaian dunia dengan pendekatan keagamaan.

Dalam perjalanan hidupnya, Syafi’i Ma’arif pernah menjadi guru, wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dosen dengan pangkat tertinggi guru besar alias professor, hingga mendapat kepercayaan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

 

Wartawan PWI

 

Sebagai wartawan, Syafi’i pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Sinar (kini dibawahi oleh Lembaga Pers Mu'allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.

Selain itu, Syafi’i Ma’arif juga pernah menjadi redaktur di Majalah Suara Muhammadiyah, dan terdaftar sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Penulis pernah beberapa kali bertemu dengan almarhum Syafi’i Ma’arif dalam kapasitas beliau sebagai pengurus pimpinan pusat Muhammadiyah.

Penulis dalam kapasitas sebagai wartawan dan juga kader Muhammadiyah, pertama kali bertemu beliau tahun 1995 pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh. Selanjutnya, kembali bertemu pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, serta pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, Jawa Timur.

 

Belajar di Sekolah Muhammadiyah Minangkabau

 

Syafi’i Ma’arif adalah anak bungsu dari empat bersaudara lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah. Secara keseluruhan, Syafi’i Ma’arif bersaudara sebanyak 15 orang seayah berlainan ibu.

Sang ayah, Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya. Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafi'i kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A Wahid.

Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Pi'i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari, dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.

Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.

Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.

 

Merantau ke Jawa

 

Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra'i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M Sanusi Latief.

Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.

Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra'i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar.

Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini dibawahi oleh Lembaga Pers Mu'allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.

Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. (bersambung)


----

Artikel berikutnya:

Mengenang Buya Syafi’i Ma’arif (2-habis): Dari Guru, Wartawan PWI, HMI, Hingga Ketum Muhammadiyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama