Mahar Pedang dan Kain Kafan Menyimpang dari Tradisi Masyarakat Islam

“Menurut saya, di tataran tradisi budaya masyarakat Indonesia, khususnya subkultur Seram-Maluku dan subkultur Enrekang-Sulawesi, permintaan mahar berupa pedang dan kain kafan semacam itu belum pernah terjadi. Selain dinilai menyimpang dari tradisi masyarakat Islam, juga tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan agama.” 

- Mahrus Andis -

 


----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 30 Juni 2022

 

 

Catatan dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (3):

 

 

Mahar Pedang dan Kain Kafan Menyimpang dari Tradisi Masyarakat Islam

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” adalah sebuah kisah nyata yang diangkat ke dalam cerita panjang setebal 150 halaman, dengan 17 episode. Cerita yang dibukukan itu ditulis Rahman Rumaday dan diterbitkan oleh Pustaka Sawerigading, cetakan pertama November 2021.

Buku ini tergolong serius, bernomor ISBN: 978- 602-9248-56-2, dan sudah pernah dibedah (dua kali) sebelum masuk dapur Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT).

“Begitu pentingnya risalah di buku ini sampai Fosait membedah kembali untuk ketiga kalinya hari ini,” kata kritikus sastra Mahrus Andis, saat tampil sebagai salah satu dari tiga pembahas pada Diskusi Buku “Maharku, Pedang & Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, di Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.

Membaca buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, kata Mahrus, seakan kita menangkap kesan horor di dalamnya, padahal sesungguhnya tidaklah sampai ke tataran itu. Walaupun harus diakui bahwa dalam perjalanan kisahnya, ada ketidak-sejajaran antara mitologi budaya kehidupan kampung dengan konsepsi pemikiran manusia kota.

“Di buku ini, banyak menyoal tentang syariat agama sebagai sikap perlawanan penulis terhadap adat istiadat yang berkembang di lingkungannya. Boleh disebut, moralitas cerita ini berfokus pada pemahaman syariat Islam, lebih khusus tentang fiqih mencari jodoh atau fiqih keluarga kontemporer,” kata Mahrus yang karya-karya sastranya sudah banyak dibukukan.

Maman (sapaan akrab Rahman Rumaday) sebagai penulis buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” menjelaskan bahwa setelah tamat dari MAN Fakfak, ia banyak mendapat dorongan dari Pak Lukman Santoso, gurunya di sekolah dan sekaligus pembimbing ruhaninya (murobbi). Pak Lukman, orang pertama yang menyuruhnya membaca buku-buku tebal dan berat.

“... Buku pertama yang beliau berikan padaku merupakan buku yang sangat tebal karena mencapai 500-an halaman, yakni Fiqih Kontemporer, ditulis oleh Dr. Yusuf Qardhawi.” Demikian tulis Maman dalam bukunya (hal. 13-14).

“Dari narasi di atas, kita sudah mampu menakar pribadi seorang Maman, bahwa dia berbekal kajian fiqih yang, mungkin saja, itu menjadi pedang untuk membabat konsepsi tradisi-budaya lingkungannya yang dinilai berseberangan dengan syariat yang dia pahami. Pemahaman atas hasil kajian fiqih itu pula yang membuat Maman merasa mampu meyakinkan orang tuanya tentang alasan Esti, calon istrinya, meminta mahar berupa pedang dan kain kafan,” tutur Mahrus.

Pada hal 123, Maman menulis, “Aku berharap, penjelasan ini bisa mengubah kebiasaan dan pemikiran yang sedikit kolot yang ada di keluargaku.”

Mahar, adalah syariat Islam yang wajib ada di dalam suatu pernikahan. Di awal “Kata Pengantar”, Maman mengutip ayat Al-Qur'an yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS 4 / Annisa: ayat 4)

“Sebagai syariat, tentu mahar wajib dilihat dari sudut pandang sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Dan ini adalah tugas para ulama, sesuai bidang keahliannya, untuk melakukan kajian atas status hukum tersebut,” kata Mahrus yang juga seorang da’i.

Berbeda dengan uang belanja (bahasa Bugis-Makassar: doi’ balanca/doe’ panai’), maka status mahar (Bugis-Mks: Sunreng atau sunrang) adalah syarat sahnya suatu pernikahan berdasarkan perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4 di atas.

Status dan jenis kewajibannya pun jelas, yaitu berupa “Maskawin” yang diberikan secara ikhlas (tidak dipaksakan atau dilakukan berdasarkan keinginan sepihak dari wanita yang ingin dinikahi).

Di level pemahaman ini, tentu terjadi benturan pemikiran (baca: mungkin juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih: khilafiyah), khususnya bagi pribadi Mahrus Andis. Karena itu, muncul pertanyaan: Apakah status mahar itu berwujud “pemberian emas” dari calon suami, sesuai perintah Al-Qur’an Surah An-Nisa, ayat 4, ataukah mahar itu berstatus “permintaan” dari calon istri, seperti halnya permintaan mahar berupa pedang dan kain kafan?

“Menurut saya, di tataran tradisi budaya masyarakat Indonesia, khususnya subkultur Seram-Maluku dan subkultur Enrekang-Sulawesi, permintaan mahar berupa pedang dan kain kafan semacam itu belum pernah terjadi. Selain dinilai menyimpang dari tradisi masyarakat Islam, juga tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan agama,” urai pria kelahiran Bulukumba, 20 September 1958.

Argumentasi Rahman Rumaday sebagai penulis buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” tentang adanya riwayat para Sahabat Nabi memberikan mahar kepada calon istrinya berupa: sepasang sandal, atau hanya dalam bentuk hafalan ayat-ayat Al-Qur’an (simbol keimanan) dan, bahkan di dalam sejarah diriwayatkan pernikahan Siti Fatimah (Putri Rasulullah) dengan Ali Bin Abi Thalib dengan mahar baju besi; tentu harus dipahami secara kontekstual.

Misalnya, siapakah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah itu yang menikah dengan mahar keimanan (syahadat), atau siapakah wanita dari Bani Fazarah dengan mahar sepasang sandal? Bagaimana keadaan ekonomi mereka saat itu? Atau, mengapa Rasulullah SAW mengizinkan Ali Bin Abi Thalib menikahi putrinya Fatimah dengan mahar baju besi (pakaian perang)?

“Hal-hal seperti inilah, sesungguhnya, yang menjadi objek kajian para ulama fiqih, dan tentu saja ini menyangkut asbabul wurud, atau sebab-sebab dikeluarkannya suatu hadis,” kata Mahrus yang bernama lengkap Drs H Andi Mahrus Syarief MSi.

Lantas, adakah mahar berupa “Pedang dan Kain Kafan” itu bertentangan dengan ajaran Islam? Jawabnya dapat kita baca pada episode 13 sebagai berikut:

“ ... Selain pedang dan kain kafan, mahar yang saya minta dari antum adalah satu Al-Qur’an Khadijah, satu paket kitab Riyadhussholihin dua jilid, seperangkat alat shalat, serta sebuah cincin. Terserah antum, berapa gram yang antum mau berikan ...” (hal. 104).

Mahrus mengatakan, frasa “sebuah cincin” yang diminta oleh Esti, sebagai calon istri, sudah mewakili status mahar yang sah sesuai perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4, apalagi terdapat penjelasan sesudahnya tentang jumlah gram (baca: ukuran ini menandakan benda berupa maskawin) sesuai keikhlasan Si Maman, calon suami Esti.

Adapun perangkat lainnya seperti: pedang, kain kafan, Al-Qur’an Khadijah, Kitab Riyadhussholihin, dan alat shalat; hanyalah simbol-simbol budaya yang melengkapi syariat mahar dalam bentuk sebuah cincin.

“Terlepas mau diapakan cincin tersebut, itu hak sepenuhnya sang istri di kemudian hari,” kata Mahrus yang alumni Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

 

Narasi Khilafiyah

 

Mahrus Andis yang tak pernah berhenti berkarya sejak kuliah, selama kurang lebih 30 tahun tenggelam dalam dunia birokrasi, sampai memasuki masa pensiun, mengatakan, membaca keseluruhan isi buku “Maharku: Pedang dan kain Kafan”, dirinya berkesimpulan bahwa Rahman Rumaday, sebagai pelaku dan penulis, ingin membagi ilmu fiqih yang dia pahami melalui kisah otobiografinya.

Keinginan itu tampak mendominasi moral ceritanya, terutama ketika kita sampai pada narasi episode 7 dengan subjudul “Ini Proposalku!”

Ada 22 halaman di buku tersebut (dari hal. 43-65) isinya nasihat perkawinan yang, boleh disebut, inti dakwah sepihak dari penulisnya, sebab sebagian narasi yang penulis kemukakan sebagai bentuk proposal dalam mencari jodoh, ada yang bersifat multitafsir atau berada dalam bingkai khilafiyah (perbedaan pendapat di tengah masyarakat).

Narasi-narasi khilafiyah yang dimaksud, antara lain, oleh Maman sebagai penulis dikatakan bahwa penyelenggaraan pernikahan tidak boleh bermaksiat kepada Allah. Narasi ini benar. Namun, ketika penulis memaparkan contoh “bermaksiat” seperti: tidak ada pemisahan antara tamu laki-laki dan wanita, tidak makan sambil berdiri (standing party ala pesta metropolitan), pengantin tidak disandingkan, dan tidak bersalaman (maksudnya: jabat tangan) dengan lawan jenis; maka narasi ini menimbulkan benturan pemikiran budaya di kalangan masyarakat.

Mengapa? Tentu jawabnya bahwa narasi tentang makna kemaksiatan dimaksud masih membutuhkan pandangan lain dari sudut kausaprima (sebab-akibat) terjadinya peristiwa seperti itu.

“Terlepas dari narasi-narasi dakwah sepihak itu, Maman telah berhasil meyakinkan lingkungan keluarganya bahwa apa yang dia lakukan bersama Esti, calon istrinya itu adalah benar dan sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh agama Islam,” kata Mahrus. (bersambung)


----

Artikel sebelumnya:

Mahar Apa yang Diberikan Nabi Adam kepada Siti Hawa?

Sudah 3x Dibedah, Ishakim: Berarti Ada Sesuatu Yang Menarik dalam Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama