SUDAH TIGA KALI. Muhammad Amir Jaya (kanan) tampil sebagai salah satu pembedah atau pembahas dalam diskusi buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, yang diadakan Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait), di Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 Juni 2022
Catatan
dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (2):
Mahar
Apa yang Diberikan Nabi Adam kepada Siti Hawa?
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Sudah tiga kali buku “Maharku: Pedang dan
Kain Kafan” karya Rahman Rumaday (Founder Komunitas Anak Pelangi disingkat K-Apel)
dibedah atau didiskusikan, dan tiga kali pula Muhammad Amir Jaya tampil sebagai
pembedah.
Diskusi buku di Kafebaca yang diadakan
Forum Sastra Indonesia Timur (Fosait), Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26
Juni 2022, merupakan diskusi atau bedah buku yang ketiga kalinya terhadap buku
“Maharku: Pedang dan kain Kafan.”
Bedah buku pertama dilaksanakan pada saat
peluncurannya di Warkop Kopi Batas Jalan Syekh Yusuf, Makassar, Ahad, 28
November 2021. Kedua, saat Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”,
di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021. Ketiga, dalam diskusi buku di Kafebaca,
Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.
“Ini ketiga kalinya saya jadi pembincang
buku ini,” ungkap Muhammad Amir Jaya.
Sastrawan sufistik asal Kabupaten Kepulauan
Selayar mengatakan, buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” ada kaitannya dengan
shalawat Nabi Muhammad SAW.
“Mahar itu apa sih? Setelah saya baca,
ternyata bukan hanya pedang dan kain kafan maharnya, tapi juga ada Al-Qur’an
dan buku,” kata Amir.
Penyair yang juga seorang da’i ini
kemudian bertanya, “Kalau pernikahan itu selalu ada maharnya, lalu apa mahar
yang diberikan Nabi Adam kepada Siti Hawa saat menikah?”
Pertanyaan yang diajukannya itu memancing
senyum dan tawa para peserta diskusi yang hadir, dan kemudian dijawab sendiri
oleh Amir Jaya bahwa dalam kisah disebutkan, mahar Nabi Adam kepada Siti Hawa yaitu
bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Kekuatan buku karya Maman Rumaday
tersebut, katanya, terletak pada tujuan pernikahan yang disampaikan di
dalamnya.
“Ada di proposal yang diajukan Maman saat
ta’aruf dengan Esti, bahwa tujuan pernikahan yaitu illah, billah, lillah,
artinya pernikahan karena mencari keridhaan Allah, dan saya kira di sinilah
kekuatan buku ini,” kata Amir.
Dia tak lupa memberikan kritik bahwa di
dalam buku “Maharku: Pedang & Kain Kafan”, penulis menggunakan nama Maman
dan Esti, tapi kadang-kadang juga menggunakan kata aku dan dia, sehingga ada
ketidak-konsistenan.
Amir Jaya dan Ishakim sama-sama
berkesimpulan bahwa buku “Maharku: Pedang & Kain Kafan”, akan lebih enak
dibaca bila digarap dalam bentuk novel.
“Lebih enak dan lebih bermakna kalau buku
ini digarap dalam bentuk novel,” kata Amir Jaya.
“Buku ini bisa diubah dari realis menjadi
surealis. Jangan takut berimajinasi,” timpal Ishakim, yang juga tampil sebagai
pembahas buku bersama Muhammad Amir Jaya dan Mahrus Andis.
Yudhistira Sukatanya (seniman, sastrawan,
sutradara) yang hadir sebagai peserta diskusi mengatakan, buku “Maharku: Pedang
dan kain Kafan” merupakan bagian yang tidak utuh untuk kita nikmati, karena masih
ada satu buku lanjutannya.
“Semoga bagian kedua lebih baik,” kaya
Yudhistira.
Asia Ramli “Ram” Prapanca (akademisi,
teaterawan, sutradara, sastrawan), juga melihat bahwa ini arahnya menuju novel.
“Saya melihat buku ini, saya membayangkan
seorang wanita cantik jelita di dalam bilik, dan kemudian datanglah seorang
lelaki jantan membawa pedang dan kain kafan,” kata Ram Prapanca sambil
tersenyum dan juga membuat peserta diskusi lain ikut tersenyum.
Medium
Dakwah
Saat tampil sebagai pembahas pada diskusi
buku sebelumnya (25 Desember 2021), Amir Jaya yang sudah menulis banyak buku
mengatakan, fungsi buku sangat beragam, salah satunya bisa dijadikan sebagai
medium untuk berdakwah sebagaimana buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, yang
ditulis Rahman Rumaday.
Buku tentang kisah pernikahan Bang Maman
-begitu dia akrab disapa- dengan istrinya, Heliati Eka Susilowati atau biasa
dipanggil Esti ini, bahkan dinilai sarat dengan pembelajaran.
“Dalam buku ini tidak pernah lepas dari
diksi Tuhan. Setiap pembuka bab selalu mengajak pembacanya untuk mengingat
Tuhan, untuk berzikir. Buku ini adalah dakwah bagi kita semua,” kata Amir Jaya.
Tidak
Suka Baca Novel
Menanggapi kritikan dan usul para
pembicara dan peserta diskusi, Rahman Rumaday sebagai penulis buku “Maharku:
Pedang dan kain Kafan”, secara terus terang mengatakan dirinya dulu tidak suka
baca novel.
“Saya pernah kuliah di Al-Birr (Ma’had Al-Birr Universitas Muhammadiyah Makassar, red), jadi pemikiran saya banyak mempengaruhi buku ini. Dulu waktu kuliah di Al-Birr, saya tidak suka baca novel, karena saya tidak suka berkhayal,” kata Maman, sapaan akrab Rahman Rumaday. (bersambung)
----
Artikel sebelumnya: