Jangan Belokkan Jalan Sejarah G30S/PKI

Ada upaya terstruktur dan sistematis untuk membelokkan jalan dan fakta sejarah G30S/PKI, dengan menyebarkan informasi menyesatkan bahwa Partai Komunis Indonesi (PKI) adalah korban dari Gerakan 30 September tersebut.

-- Achmad Ramli -- 

(Pemerhati Pendidikan)
 



-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 18 September 2022

 

OPINI

 

 

Jangan Belokkan Jalan Sejarah G30S/PKI

 

 

Oleh: Achmad Ramli


Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat “Jasmerah” adalah semboyan terkenal yang diucapkan oleh Ir Soekarno, dalam pidatonya pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1966.

Menurut Jenderal AH Nasution yang lolos dari penculikan, “Jasmerah” adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa terhadap pidato Presiden Ssoekarno tersebut, dan bukan judul yang diberikan oleh Bung Karno atas pidatonya.

Suyatno, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta menyebut, pidato “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah” pada 17 Agustus 1966 merupakan pidato kepresidenan terakhir Bung Karno.

Dia mencatat, terdapat 89 kata revolusi dan 50 kata sejarah dalam pidato tersebut. Itu menunjukkan betapa pentingnya revolusi dan sejarah bagi Bung Karno. Judul pidato Soekarno ini, penulis sengaja angkat untuk menguji dan meluruskan jalan sejarah yang telah dirintis oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa dan rakyat bersama Bung Karno, yang telah ditulis tinta emas dengan judul JASMERAH.

Selanjutnya “Nawaksara” adalah sebuah judul pidato yang dibuat Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke- IV MPRS. Pidato ini disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai pertanggung-jawabannya atas sikapnya dalam menghadapi Gerakan 30 September.

Soekarno sendiri menolak istilah ini (G30S). Menurutnya, gerakan itu terjadi pada tanggal 01 Oktober dini hari, dan karena itu ia menyebutnya dengan istilah gerakan satu Oktober (Gestok).

Pidato pertanggung jawaban Soekarno ini ditolak oleh MPRS dan memberhentikan dari jabatannya sebagai presiden seumur hidup, selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.

Ada upaya terstruktur dan sistematis untuk membelokkan jalan dan fakta sejarah G30S/PKI, dengan menyebarkan informasi menyesatkan bahwa Partai Komunis Indonesi (PKI) adalah korban dari Gerakan 30 September tersebut.

Caranya adalah menyebarkan informasi publik berdasarkan analisis subjektivitas dan berupaya meyakinkan masyarakat umum dengan membalikkan fakta-fakta sejarah, kalau Mayjen Soeharto bersama TNI AD telah melakukan kudeta melalui Gerakan 30 September (G.30 S) untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno.

Dengan demikian, mereka mengarang alibi kalau PKI adalah korban dari kudeta Soeharto yang didukung oleh TNI AD (Orde Baru). Selanjutnya beredar tulisan dari seseorang yang juga berupaya membangun opini publik menyudutkan Soeharto, seakan-akan Soeharto memanfaatkan mahasiswa (BEM UI) untuk melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintahan Soekarno terkait perombakan kabinet Dwi Kora (Tritura).

Peristiwa sejarah Tritura diperingati setiap tanggal 10 Januari. Apa yang melatar belakanginya dan apa isi Tiga Tuntutan Rakyat tersebut? Berikut ulasannya.

 

Tri Tuntutan Rakyat

 

Sejarah Tritura dimotori oleh gerakan mahasiswa dengan seruan tiga tuntutan rakyat, yang menjadi titik balik pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru. Unjuk rasa pada tanggal 10-13 Januari 1966 di Jakarta, terjadi karena adanya polemik tidak lama setelah tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dianggap gagal sehingga prostes pun mengalir dimana-mana lewat gerakan mahasiswa yang tercatat dalam sejarah, yang dikenal dengan nama Tiga Tuntutan Rrakyat (Tritura).

Tri Tuntutan Rakyat adalah 3 tuntutan rakyat kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa pada tanggal 10 Januari 1966, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), serta didukung penuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tiga tuntutan rakyat tersebut mewakili masalah dan sebagai pernyataan sikap tegas atas kinerja pemerintah kala itu, yaitu; (1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Ormas-ormasnya, (2) Perombakan Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan harga pangan.

 

Latar Belakang

 

Pertama; mengenai pembubaran PKI. Hal ini disebabkan oleh lambannya pemerintah mengambil sikap menindak tragedi berdarah G30S 1965 yang dituduhkan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan DN Aidit.

Ketika aksi gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi ekonomi maupun politik.

Harga barang naik sangat tinggi terutama bahan bakar minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura tersebut.

Empat bulan setelah penculikan dan pembunuhan para petinggi Angkatan Darat yang dituduh sebagai “Dewan Jenderal”, Ir Soekarno selaku Presiden RI masih juga bimbang untuk mengambil keputusan tegas, padahal gelombang pergerakan masyarakat telah meluas karena geram dengan sikap presiden tersebut.

Akibatnya para pemuda dan mahasiswa di seluruh Indonesia, terutama di Jakarta yang sebelumnya sudah memiliki organisasi kemahasiswaan yan dikenal dengan nama Perserikatan Perhimpunana Mahasiswa Indonesia (PPMI), akhirnya terbelah menjadi dua kubu kelompok kekuatan mahasiswa.

Kelompok pertama, sebagian anggota yang berhaluan ideologi kiri seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo), dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI), serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) turut ragu menuduh PKI sebagai dalang peristiwa G30S 1965 karena belum ada bukti kuat.

Kelompok kedua, mahasiswa-mahasiswa yang berhaluan kanan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repoblik Indonesia (PMKR), serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menuntut keras agar PKI segera ditindak tegas. Sebagaimana dikutif dari “Pemuda Pembangunan dan Masa Depan” (1987) karya Babari, rapat presidium PPMI digelar pada 10-23 Oktober 1965 untuk menentukan sikap gerakan mahasiswa terhadap G30S.

Kedua; tuntutan terhadap perombakan Kabinet Dwikora muncul karena pemerintahan Ir Soekarno dianggap tidak becus mengendalikan goncangan terhadap stabilitas nasional, khususnya stabilitas sosial ekonomi yang sedang mengalami penurunan drastis.

Perombakan Kabinet Dwikora juga dituntut karena di tubuh kabiner tersebut terdapat orang-orang PKI, padahal sebagian besar masyarakat saat itu menghendaki dibersihkannya orang-orang PKI yang masih bercokol di dalam Kabinet Dwikora.

Ketiga; tuntutan turunkan harga disebabkan karena kesalahan fatal kebijakan ekonomi saat itu, dimana Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 27 tahun 1965, untuk mengatur kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada tanggal 13 Desember 1965.

Peraturan Presiden ini merupakan inisiaif dari pejabat Kabinet Dwikora yang mendevaluasi mata uang rupiah dari 1000 rupiah menjadi 1 (satu) rupiah.

Akumulasi dari berbagai masalah tersebut menjadikan masyarakat kian geram, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1066, ribuan mahasiswa bergerak ke arah Gedung Sekretariat Negara untuk memprotes ketidakstabilan negara, dan menyuarakan tiga tuntutan rakyat (Tritura) tersebut.

 

Respons Pemerintah

 

Oleh Pemerintah, unjuk rasa tersebut disambut dengan panser, bayonet, serta semburan gas air mata. Tuntutan mahasiswa belum juga dijawab, akibatnya demontrasi terus berlanjut dari tanggal 10 sampai 13 Januari 1966, hingga akhirnya desakan Tritura sampai ke Presiden Soekarno.

Lambannya respons pemerintah menyebabkan tuntutan demontrasi melebar ke isu atau desas-desus yang berkembang, untuk menurunkan Presiden Soekarno dari jabatanya sebagai presiden.

Akibat desakan tersebut, “maka pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno akhirnya melakukan perombakan kabinet dan mengumumkan reshuffle kabinet barunya.”

Dalam kabinet itu, masih duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya.

Kemudian pada tanggal 24 Februari 1966, mahasiswa memboikot pelantikan kabineti baru tersebut, yang berakhir bentrok antara mahasiswa dan Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden).

Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Tjakrabirawa Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim, tewas tertembak.

Pada tanggal 25 Februari 1966, KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, dikenal dengan nama "Supersemar” oleh Presiden Soekarno, yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. (bersambung)


-----

Penulis, Drs Achmad Ramli SH MH, adalah Ketua Bidang Advokasi & Perlindungan Hukum APSI Pusat, Ketua APSI Provinsi Sulsel Periode 2017-2022, Alumni Fakultas Hukum 92 UMI Makassar


-----

Artikel bagian 2:

PKI Ingin Hancurkan NKRI dan Jadikan Indonesia Negara Komunis


Artikel bagian 3:

Operasi Terselubung PKI dan Hilangnya Patung Para Jenderal di Museum Kostrad


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama