Islamofobia dan Ancaman Sekularisasi di Indonesia

SEKULARISASI merupakan fenomena yang ditandai oleh adanya pemisahan nilai-nilai dan norma keagamaan dengan kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Sekularisasi merupakan pandangan hidup yang berprinsip bahwa “agama tidak boleh masuk dalam pemerintahan.”
 





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 01 Februari 2023

 

OPINI

 

 

Islamofobia dan Ancaman Sekularisasi di Indonesia

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)



Islamofobia adalah sebuah fobia atau ketakutan, kebencian, dan prasangka terhadap Islam atau muslim secara umum, terutama bila dipandang dari sisi Islamisasi dan sumber terorisme.

Adapun penyebab utama munculnya sikap Islamofobia adalah serangan terhadap “Gedung Wold Trade Center (WTC)” New York City dan Washington DC, pada  11 September 2001, yang menewaskan 2.996 jiwa.

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, sebagaimana termaktub pada pasal 1 UUD 1945, yaitu kesatuan dari gugusan pulau besar dan kecil, yang beraneka ragam suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Adapun pemerintahan berbentuk Republik dan berdasar pada UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara. Dalam sistem ketatanegaraan, Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan 3 (tiga) pembagian kekuasaan negara, yaitu, kekuasaan exekutif, legislatif, dan yudikatif (Trias politika).

Walaupun negara kita menganut sistem demokrasi, namun tidak seperti demokrasi Barat yang memandang kebebasan individu sebagai hak asasi pribadi (HAM) yang tidak bisa diganggu gugat (kebebasan mutlak), melainkan demokrasi yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusuawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila).

Dengan demikian, di alam demokrasi Pancasila, tidak ada kebebasan mutlak karena kebebasan individu dibatasi oleh kewajibannya menjaga hak orang lain atau lingkungan masyarakat. Begitu juga ajaran setiap agama, untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta meyakini bahwa kemerdekaan bangsa hanya bisa dicapai “Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” sebagaimana diktum alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.

Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita walaupun bukan negara agama (teokrasi), namun bukan juga negara sekuler yang memisahkan urusan negara dari unsur agama. Walaupun bukan negara agama, akan tetapi Indonesia merupakan negara yang beragama.

Indonesia mengakui secara de facto dan de jure adanya beberapa agama, dan tidak membedakan urusan negara dari urusan agama, khususnya agama Islam sebagai pemeluk mayoritas di Indonesia. Bahkan sejak zaman pemerintahan Belanda, hukum Islam diakui sebagai salah satu hukum positif sampai sekarang.

Hal ini bisa kita lihat dengan adanya lembaga peradilan agama khusus bagi umat Islam (Pengadilan Agama) di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itu, pandangan sekularisasi tidak bisa ditumbuhkan kembangkan di negara Pancasila yang berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sekularisasi merupakan fenomena yang ditandai oleh adanya pemisahan nilai-nilai dan norma keagamaan dengan kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Sekularisasi merupakan pandangan hidup yang berprinsip bahwa “agama tidak boleh masuk dalam pemerintahan.”

Pandangan di atas sedang diwacanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh sekolompok orang pengendali kekuasaan di Indonesia. Hal ini sangat tampak pada program pendidikan, Sosbud, politik, dan ekonomi, misalnya hilangnya frasa agama, madrasah dalam RUU Sisdiknas yang terpending, termasuk merombak dan merevisi sistem pendidikan pesantren.

Bukankah carut marut sistem politik, dan penyelenggaraan pemerintahan yang serba korup, karena hilangnya rasa malu, integritas, moral, dan peradaban sebagian pemimpin yang tidak amanah?

Siapa itu pemimpin yang bisa amanah? Ialah pemimpin yang memegang teguh dan mampu mengaplikasikan nilai-nilai ilahiyah (agama), dalam menjalankan tupoksinya. Dengan kata lain, pemimpin yang memiliki rasa takut pada Tuhan Yang Maha Esa, akan dosa dan mendapat balasan akhirat.

Sekarang bangsa Indonesia diperhadapkan pada tantangan era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan Iptek, khususnya pesatnya perkembangan arus transportasi dan informasi yang begitu cepat yang mampu menembus batas ruang dan waktu.

Muncul pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh nurani individu masing-masing, di luar kebijakan publik penguasa. Yaitu, bagaimana cara membendung pengaruh akulturasi budaya dan dekadensi moral generasi penerus, akibat perkembangan teknologi informasi tersebut?

Begitu juga pengaruh politik globalisasi, yang dikendalikan oleh negara-negara adi daya pemberi modal pinjaman (kaum kapitalis).

Di masa Orde Baru negara kita berhaluan kapitalis (AS), yang berupaya mengendalikan pemerintahan Indonesia ke arah ekonomi kapitalisme dan paham liberal.

Satu-satunya ancaman global bagi negara-negara kapital (pemodal/pinjaman) adalah kekuatan persaudaraan umat Islam, karena kekuatan persatuan, do'a dan doktrin jihad umat Islam, sangat kuat serta mampu melumpuhkan kekuatan teknologi di dunia ini. Itu yang diyakini oleh negara-negara investor (kapitalis), karena mereka takut rugi dari keuntungan modal dan kehilangan lahan bisnis di negara yang dikendalikannya.

Sekarang selain ancaman ekonomi kapitalis dan paham liberal dari luar (eksternal), muncul ancaman dari dalam (internal), yaitu program sekularisasi, komunis-marxisme yang sangat benci dengan ajaran ilahiyah (ajaran Islam).

Kekuatan Barat berupaya menguasai dan mengendalikan negara-negara Islam dengan mengembangkan isu terorisme sebagai senjata adu domba, untuk memberikan rasa takut (teror mental), agar umat Islam takut membangun kekuatan dan tidak mempercayai ulamanya yang lurus dan jujur.

Sekarang negara kapitalis bersama sekutunya mengembangkan politik adu domba dengan cara menyebarkan isu radikalisme, anti Arab, dan politik identitas.

Dulu, Indonesia haluan ekonominya ke Amerika Serikat, sekarang bertambah dengan masuknya invasi ekonomi RRT yang menjadi saingan bagi AS. Akibatnya ancaman juga bertambah menjadi lebih banyak, yaitu ekonomi kapitalis-liberalisme.

Juga masuknya paham komunis-marxisme yang anti-thesis yang menganggap semua manusia sama dan tidak ada perbedaan derajat di mata Tuhan, serta program rehabilitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai korban kejahatan HAM dimasa lalu (Orba), yang ditandai dengan lahirnya Kepres No: 17 Tahun 2022.

Kemudian munculnya program sekularisasi yang terstruktur dan masif, melalui pendidikan, politik,dan sosial budaya.

Lalu penghapusan frasa agama dan lembaga madrasah (rencana penghapusan Madrasah) dalam Kurikulum Nasional Pendidikan, serta perombakan kurikulum pesantren ke- kurikulum merdeka (sekuler).

Selanjutnya masuknya imigran China secara diam-diam bermukim di Indonesia (program reklamasi pantai, dan IKN).

Ancaman penguasaan wilayah Indonesia, melalui jeratan utang dari negara pemodal (kapitalis) secara besar-besaran, yang kelak bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan negara, jika pemerintah Indonesia tidak mampu melunasi utangnya.

Selain itu, bobolnya sistem pertahanan kedaulatan bangsa, dengan hilangnya sistem politik luar negeri Indonesia “Bebas Aktif” dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Berikut masuknya tenaga kerja asing yang memiliki hak tinggal, dan hak penguasaan lahan/tanah oleh investor asing, dan tidak menutup kemungkinan munculnya ancaman prosfektif (ke depan) tentang lahirnya perdagangan bebas narkoba (narkotika), melalui pantai yang sulit terdeteksi oleh pihak bea cukai dan pihak keamanan.***

 

----

Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim SH MH, Ketua Dewan Kehormatan dan Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Ketua Koorda IKA IPM/IRM Kabupaten Gowa, Alumni Angkatan 81 PMP/PKn FKIS IKIP UP, Alumni 92 FH UMI Makassar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama