------
Selasa, 29 Oktober 2024
Novel
“Matahari di Atas Rante Mario” Gabungkan Fiksi dan Fakta
MAKASSAR, (PEDOMAN
KARYA). Mendekatkan sejarah kepada
generasi muda melalui karya sastra, merupakan cara kreatif. Walaupun pembaca
sastra genre ini dituntut mesti memahami lanskap peristiwanya. Karena sastra
jenis ini tak sepenuhnya imajinatif, tapi juga dilengkapi serpihan informasi,
serta cerita-cerita yang didasarkan data dan fakta sejarah.
Andi Makmur Makka, penulis
novel “Rumpa’na Bone” menyadari akan hal itu. Alumni UGM dan Ohio University,
USA, lalu meramu memoar Brigjen TNI (Purn) Andi Oddang, “Untuk Sang Merah Putih”,
kisah Kapten (TRI) A Mannaungi dalam buku “Corat-Coret Masa Revolusi”, dan
manuskrip pengalaman Fuad Bahyin sebagai pasukan Tentara Pelajar menjadi novel
yang gurih bergizi.
Tentang novelnya “Matahari di
Atas Rante Mario”, Andi Makmur Makka mengungkapkan bahwa novelnya ini menggabungkan
unsur fiksi dan non-fiksi, menceritakan tentang dua pemuda, Badillah dan Bahar,
yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun bersahabat, keduanya harus memilih jalur politik berbeda, akhirnya membawa mereka ke pertempuran berujung tragis. Cerita ini menunjukkan konflik ideologis yang dalam, di mana Badillah berjuang di pihak TNI dan Bahar di pihak Kahar Muzakkar. Pertemuan mereka di akhir cerita bukan sebagai teman, melainkan sebagai lawan, yang menggambarkan dilema dihadapi pejuang kemerdekaan.
Kisah ini diakhiri dengan
tragedi, di mana Bahar tewas di tangan sahabatnya sendiri, Badillah, saat
matahari berada di atas Rante Mario yang berarti puncak bahagia menandai akhir
pahit dari persahabatan mereka.
“Novel ini tidak bisa dibilang
fiksi karena ada banyak fakta sejarah di dalamnya. Namun, juga tidak bisa
disebut cerita sejarah lantaran sudah dibumbui kisah imajinatif di dalamnya,”
papar Andi Makmur Makka, di depan peserta bedah buku karyanya di Bikin-Bikin
Creative Hub Nipah Mall Jalan Jenderal Urip Sumoharjo Makassar, Kamis, 24
Oktober 2024.
Dosen Fisip Unhas, Dr Adi
Suryadi Culla, menyebut ada banyak sekali peristiwa sejarah Sulawesi Selatan
yang direkam dalam novel “Matahari di Atas Rante Mario”. Sikap politik dari
para pejuang, kata Ketua Forum Dosen itu, juga tergambarkan dalam novel. Para
pejuang era revolusi, meski semula berteman, tapi kemudian berbeda jalan.
Sosok Badillah dan Bahar dalam
novel, yang dipertemukan oleh nasib yang sama, tinggal di rumah Guru Amien,
akhirnya berpisah jalan meski semula berkawan karib. Keduanya harus
berhadap-hadapan dalam pertempuran.
Bahkan Bahar yang bergabung
dengan pasukan DI/TII Kahar Muzakkar, terluka oleh tembakan sahabatnya. Lelaki
gondrong yang disebut “pemberontak” itu kemudian mengembuskan nafas terakhir di
Rante Mario akibat darah yang tak henti mengucur.
Rante Mario, yang berarti
tanah bahagia, merupakan salah satu puncak tertinggi Gunung Latimojong. Setting
lokasi yang jadi pusat kisah novel ini berada di Enrekang. Walau ada sejumlah
tempat disebut dalam cerita ini, seperti Barru, Parepare, Enrekang, Yogyakarta,
dll. Parepare merupakan asal daerah Andi Makmur Makka.
Tata Pemerintahan Masa
Kolonial
Andi Makmur Makka yang mantan
Pemred Harian Republika, dan punya rekam jejak panjang di dunia jurnalistik
ini, selain menulis novel, juga telah menerbitkan kumpulan puisi, menulis
naskah drama dan cerpen. Ia pernah jadi Redpel Majalah Mimbar bersama Nurcholis
Madjid, Adi Sasono, Sugeng Saryadi, dan Fahmi Idris.
Selama 20 tahun menjadi PNS,
terakhir sebagai Staf Ahli Menristek/Ketua BPPT Bidang Informasi. Pernah pula
sebagai Direktur Komunikasi The Habibie Center. Ada 63 buku mengenai Prof Dr
Ing BJ Habibie yang ditulisnya, salah satunya Mr Crack dari Parepare
(biografi).
“Saya bersentuhan dengan Pak
Andi Makmur Makka, lewat terbitan Media Watch dari The Habibie Center,” ungkap
Rusdin Tompo, yang diminta sebagai penanggap kedua.
Rusdin Tompo yang dikenal
sebagai penulis dan pegiat literasi mengaku banyak mendapat asupan informasi
dan pengetahuan dari Media Watch terbitan The Habibie Center. Menurutnya,
modalnya membaca majalah itu membuat dia melek media. Itulah yang jadi dasar
mengapa dirinya masuk sebagai komisioner KPID Sulawesi Selatan.
Terkait novel “Matahari di
Atas Rante Mario”, Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi
Sulawesi Selatan itu, mengatakan banyak pengetahuan yang diberikan di
antaranya, gambaran tentang sistem pendidikan dan tata pemerintahan pada masa
kolonial. Ada banyak istilah dan kosakata bahasa Belanda dan bahasa Bugis, yang
perlu diterjemahkan atau diberi catatan kaki.
Novel ini juga punya banyak
kandungan nilai yang bisa jadi pembelajaran, seperti nasionalisme, berani
karena benar, teguh memegang prinsip, serta kepedulian dan panggilan untuk
melawan ketidakadilan. Menurut Rusdin Tompo, pendekatan gaya penulisan secara
kronologis membuat novel ini relatif ringan dipahami dari segi alur cerita.
“Sub-sub bagian dari novel ini
tidak terlalu panjang, sehingga bisa membacanya tak harus sekali jalan,” lanjut
Rusdin Tompo.
Dalam acara diskusi buku yang
dipandu Ramly Usman ini, acara dibuka oleh lantunan sinrilik Arif Daeng Rate.
Cara ini terasa segar, saat pasinrik dengan penampilan khas busana hitam-hitam
itu berkisah tentang konflik dan pertempuran yang dicuplik dari kisah dalam
novel.
Menurut Nurwana, Program Manager Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan, sebagai penyelenggara acara bedah buku, selain berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, lembaganya juga peduli terhadap aktivitas literasi. Acara diskusi buku merupakan salah satu bentuk upaya Dompet Dhuafa memajukan gerakan literasi, berkolaborasi dengan berbagai komunitas, termasuk dengan SATUPENA. (zak)