Kedokteran Unhas Bertambah Dua Guru Besar, Fisip dan FIKP Masing-masing Satu

GURU BESAR. Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa (foto kiri) memberikan tepuk tangan kepada empat guru besar baru yakni Prof Muhammad Iqbal Djawad, Prof Habibah Setyawati Muhiddin, Prof Muhammad Akbar, dan Prof Tasrifin Tahara, pada acara pengukuhan dalam Rapat Paripurna Senat Akademik Terbatas, di Ruang Senat Akademik Unhas, Lantai 2 Gedung Rektorat, Kampus Tamalanrea, Makassar, serta disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Senat Akademik Unhas, Selasa, 18 Februari 2025.  

 

-----

Selasa, 18 Februari 2025

 

Kedokteran Unhas Bertambah Dua Guru Besar, Fisip dan FIKP Masing-masing Satu

 

MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar bertambah dua guru besarnya, sedangkan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (Fisip) serta Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) masing-masing bertambah satu guru besarnya.

Dua guru besar baru Fakultas Kedokteran yaitu Prof dr Habibah Setyawati Muhiddin SpM(K) (Guru besar dalam bidang Vitreoretina) dan Prof dr Muhammad Akbar PhD SpN Subsp.NIIOO(K) DFM (Guru besar dalam bidang Neurologi), sedangkan guru besar baru Fisip yaitu Prof Dr Tasrifin Tahara MSi (Guru Besar dalam bidang ilmu antropologi), dan guru besar baru FIKP yaitu Prof Ir Muhammad Iqbal Djawad MSc PhD (Guru besar dalam Bidang Fisiologi Lingkungan).

Keempat guru besar baru ini dikukuhkan dalam Rapat Paripurna Senat Akademik Terbatas, di Ruang Senat Akademik Unhas, Lantai 2 Gedung Rektorat, Kampus Tamalanrea, Makassar, serta disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Senat Akademik Unhas, Selasa, 18 Februari 2025.

Proses pengukuhan dihadiri oleh Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Dewan Profesor, serta sejumlah tamu undangan di antaranya Rektor Unpad, Dekan Fisip UI, dan jajajaran tamu penting lainnya beserta keluarga besar dari para guru besar yang dikukuhkan.

Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa dalam sambutannya menyampaikan ucapan selamat dan apresiasi kepada empat Guru Besar yang baru saja dikukuhkan. Menurutnya, pencapaian tersebut merupakan bukti dedikasi, kerja keras, dan kontribusi luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan akademik di Unhas.

Sebagai institusi yang terus berkomitmen dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian, Unhas bangga atas bertambahnya jajaran guru besar yang akan semakin memperkuat peran universitas dalam mencetak generasi unggul dan memberikan solusi bagi tantangan masyarakat.

Dalam kesempatan ini, Prof JJ (sapaan akrab Prof Jamaluddin Jompa) juga menyampaikan harapan agar para guru besar yang baru dikukuhkan dapat terus berkontribusi dalam pengembangan keilmuan, meningkatkan kolaborasi riset, serta memperluas jejaring akademik di tingkat nasional maupun internasional.

“Kami mengharapkan, para guru besar kitab isa membawa inovasi dan terobosan baru yang berdampak luas bagi masyarakat. Semakin semangat dalam mendorong pengembangan tridarma perguruan tinggi, memberikan kebermanfaatan melalui penelitian inovatif yang dilakukan, serta semangat untuk memajukan Unhas sebagai institusi pendidikan yang unggul dan berdaya saing global,” jelas Prof JJ.

Sebelumnya, masing-masing guru besar telah menyampaikan pidato penerimaan yang membahas bidang keahliannya.

 

Pencegahan Kebutaan

 

Prof Habibah dalam pidato penerimaah guru besarnya memberikan penjelasan tentang “Upaya Pencegahan Kebutaan Akibat Diabetik Retinopati dalam Menghadapi Bonus Demografi.”

“Kebutaan akibat gangguan retina meningkat terutama akibat komplikasi diabetes mellitus,” kata Habibah.

Prevalensi diabetes mellitus (DM) saat ini di dunia dilaporkan mencapai 10.1%, di Indonesia mencapai 9.19%.

Diabetes mellitus yang tidak ditangani dengan baik, kata Habibah, dapat menimbulkan komplikasi antara lain stroke, gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal dan retinopati.

“Diperkirakan, sepertiga dari total pasien diabetes mellitus akan menderita Retinopati Diabetik (RD) dan sepertiga dari kelompok itu mengalami vision threatening bila tidak dilakukan tindakan pencegahan,” kata Habibah.

Prof Habibah menjelaskan, peningkatan kadar gula darah akan menyebabkan perubahan biokimia pada sel, baik pada retina maupun pembulu darah, sehingga dapat menimbulkan stress oksidatif, kebocoran dinding pembuluh darah, tersumbatnya aliran pembuluh darah, reaksi inflamasi, dan bahkan kematian sel.

“Tata laksana pencegahan terjadinya retinopati diabetik atau pencegahan retinopati diabetik atau pencegahan progresivitas harus dilakukan dari hulu yaitu kontrol ketat diabetes mellitus, tekanan darah dan kolesterol yang sering timbul bersamaan. Kontrol factor resiko dan pengaturan nutrisi juga menjadi esensial dalam hal pencegahan retinopati diabetic,” jelas Habibah.

Skrining suplementasi antioksida dianjurkan untuk menekan stress oksidatif yang dapat terjadi di seluruh bagian tubuh termasuk mata. Skrining RD harus dilakukan sesuai dengan yang dianjurkan oleh AAO, RCO atau skrining retina dianjurkan paling sedikit satu tahun sekali agar dapat diberikan terapi yang tepat dan segera walaupun belum ditemukan keluhan penglihatan.

 

Pengobatan Masa Depan Neurologi

 

Prof Muhammad Akbar dalam pidato guru besarnya menyampaikan “Tantangan dan Peluang Pengobatan Masa Depan di Bidang Neurologi”. Ia menjelaskan penyakit neurologi merupakan masalah kesehatan utama di tingkat nasional dan global dan merupakan kontributor terbesar angka kecacatan global dan kontributor terbesar kedua terhadap angka kematian global, sehingga merupakan tantangan kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

“Salah satu prioritas lain dalam manajemen penyakit-penyakit neurologi adalah pengembangan pendekatan terapi inovatif untuk menjawab berbagai tantangan dalam penyakit- penyakit yang kompleks,” kata Akbar.

Permasalahan manajemen penyakit neurologi didasari atas kompleksnya fisiologi sistem saraf, patomekanisme penyakit itu sendiri, ditambah dengan akibat dari interaksi genetik maupun lingkungan.

“Drug Discovery tidak akan pernah berhenti selagi demand untuk menutupi therapeutic gap masih ada. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama dalam pengembangan obat adalah menggabungkan pendekatan biomedik, bioinformatik, serta neurologi klinis untuk pengembangan senyawa obat maupun untuk modelling penelitian,” tutur Akbar.

Untuk mengawal penerapan neuro-farmakologi yang optimal, maka tidak cukup hanya dari optimalisasi pengembangan obat atau terapi saja, namun perlu juga tinjauan menyeluruh terhadap populasi, bukan hanya dari aspek lingkungan tetapi juga molecular profiling seperti karakterisasi genotype yang high-risk terhadap respon terapi sub-optimal.

“Kunci untuk menjawab tantangan ini adalah sumber daya, baik dari sumber daya manusia maupun fasilitas penelitian dan manajemen big data. Saat ini sudah dapat dilihat langkah awal untuk implementasi di Indonesia. Kita bisa melihat upaya pendirian organisasi seperti Perhimpunan Genetika Manusia Indonesia (PaGMI)/Indonesian Society of Human Genetics (INASHG) dan semakin berkembangnya profiling etnik untuk mencari genotipe high-risk terhadap reaksi obat tidak optimal di beberapa institusi riset dan pendidikan tinggi di Indonesia,” papar Akbar.

 

Pemikiran Antropologi Fase 3.0

 

Prof Tasrifin Tahara menyampaikan pidatonya mengenai “Kebudayaan dan Kekuasaan: Pemikiran Antropologi Fase 3.0 untuk Masa Depan Kebudayaan di Indonesia.”

“Saat ini, antropologi berada di fase 3.0 yang menjadi keharusan antropologi hadir cita rasa baru yang berada pada kondisi yang neo-liberal. Antropologi harus eksis melayani pasar yang mengakumulasi kapital dan mengeksploitasi seluruh sumberdaya baik manusia ataupun alamnya,” kata Tasrifin.

Ia mengatakan, era digitalisasi yang semakin maju, karakter hubungan antara disrupsi teknologi dan kebudayaan dalam masyarakat menunjukkan bahwa identitas budaya terancam oleh apropriasi, dilusi dan dominasi budaya.

Disrupsi teknologi yang telah membuka pintu bagi pertukaran budaya yang cepat dan luas mengancam identitas budaya. Budaya lokal seringkali terpinggirkan dan menghadapi risiko hilangnya identitas lokal karena dominasi budaya global yang mainstream.

“Wujud yang paling nyata adalah apropriasi budaya yang menegaskan suatu adopsi atau pemanfaatan kebudayaan oleh orang luar kebudayaan tanpa pemahaman makna dan penghargaan atas sejarah kebudayaan tersebut yang tidak jarang berisiko memuat kepentingan komersial atau politik, dilusi budaya yang merupakan proses mencairnya budaya akibat kontestasi dalam wacana media,” jelas Tasrifin.

Namun, secara bersamaan adanya digitalisasi budaya memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi serta pengetahuan terkait suatu kebudayaan dengan cepat dan efisien, digitalisasi budaya memudahkan kelompok dalam melestarikan suatu kebudayaan.

“Penting untuk melibatkan dan memberdayakan komunitas lokal dalam proses digitalisasi, mempromosikan keberagaman budaya, dan melindungi kekayaan budaya yang unik. Mengenali dan menghargai asal usul budaya, serta memastikan bahwa ekspresi budaya dihormati dan dilindungi merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan adil secara budaya,” tutur Tasrifin.

 

Fisiologi Lingkungan

 

Prof Muhammad Iqbal Djawad dalam pidato guru besarnya memberikan pandangannya tentang “Fisiologi Lingkungan, Bioenergetika dan Stresor: Tantangan yang Dihadapi Akuakultur” yang secara umum mengeksplorasi bagaimana berbagai faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup organisme akuakultur, serta bagaimana prinsip bioenergetika dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan.

Untuk meningkatkan akuakultur, penting untuk memahami fisiologi lingkungan dan bioenergetika yang merupakan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan sangat penting bagi keberhasilan akuakultur.

Dengan memanfaatkan prinsip prinsip dari kedua bidang ilmu ini, akuakultur dimasa depan dapat menjadi lebih efisien, berkelanjutan dan mampu memenuhi kebutuhan sumber protein tanpa mengorbankan kesehatan ekosistem akuatik

“Selama beberapa dekade terakhir, terlihat bahwa peningkatan jumlah studi yang mencirikan respons fisiologi dan stress pada organisme akuakultur yang terus berkembang pesat. Beberapa spesies penting dari ikan budidaya ekonomis penting memiliki potensi besar untuk akuakultur. Sayangnya, kurangnya biomarker terkait stress dalam takson masih menjadi hambatan untuk mengevaluasi kondisi pemeliharaan,” tutur Iqbal Djawad. (asnawin)

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama