------
Kamis, 26 Juni 2025
Puisi-puisi “Imaji Air Api” Punya
MATARAM, (PEDOMAN KARYA). Puisi-puisi
di dalam buku “Imaji Air Api” adalah simbol “perlawanan” dan punya “tugas
kenabian”. Bahkan penulisnya sudah tidak punya maksud apa-apa lagi, kecuali
mendapatkan ridha publik.
Demikian disampaikan oleh Prof. Abdul
Wahid saat membuka kegiatan Pagelaran Sastra dan Diskusi Buku “Imaji Air Api” karya
Agus K Saputra, yang diselenggarakan Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB), di Taman Budaya NTB, Mataram, Rabu, 25 Juni 2025.
“Tergugah hati saya dan mengimajikan
sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang sufi besar perempuan Rabiah
al-Adawiah,” ujar Prof Wahid.
Dalam buku itu dikisahkan, suatu hari,
Rabiah al-Adawiah berjalan di jalan dengan memegang air di tangan kiri dan
lilin di tangan kanan. Ketika ditanya oleh seseorang, “Apa yang kamu lakukan,
wahai Rabiah?” Rabiah menjawab, “Aku ingin memadamkan api neraka dengan air di
tangan kiriku ini, dan aku ingin membakar surga dengan api lilin di tangan
kananku ini.”
Rabiah ingin menunjukkan bahwa
kecintaannya kepada Allah tidak didasarkan pada harapan akan surga atau takut
akan neraka, tetapi karena cinta yang tulus kepada Allah sendiri. Ia ingin
memurnikan niatnya dan menunjukkan bahwa ibadahnya hanya untuk Allah, bukan
karena imbalan atau hukuman.
Kisah ini menggambarkan kedalaman
spiritualitas Rabiah al-Adawiah dan komitmennya untuk mencari cinta dan
keridhaan Allah semata. Ia menjadi contoh bagi banyak orang dalam memahami
makna sejati dari ibadah dan cinta kepada Allah.
“Sama dengan puisi-puisi ini. Penulis saya
kira bukan karena apa-apa. Bukan karena ingin mendapatkan posisi-posisi
tertentu atau keuntungan-keutungan tertentu. Tapi semata-mata untuk mendapat
ridha publik,” kata Prof Abdul Wahid salah satu penulis buku Heterarki
Masyarakat Muslim Indonesia ini.
Bahkan, lanjut Prof. Wahid, sebagai
penulis, dia sudah mati. Dia sudah berjarak lagi. Ketika buku diterbitkan dan
menjadi milik publik, maka kita sendiri yang akan menafsirkannya.
Oleh karena itu, ketika doa-doa yang
mengunakan bahasa-bahasa agama tidak lagi membumi, maka puisi yang harus
membumikannya. Puisi punya tugas untuk membebaskan manusia dari
belenggu-belenggu itu.
Puisi juga punya tugas menggugah kesadaran
ilahiyah, kesadaran kita tentang Tuhan, tentang energi batin yang tidak
dieksplor oleh orang. Yang tidak disadari oleh orang. Seolah kehidupan ini
secara material semata-mata. Maka puisi mengambil bagian kecil kitab suci untuk
membangkitkannya.
“Bukankah kita pun mengetahui, puisi-puisi
ini lahir dari kegamangan, keresahan seorang penyair tentang kondisi-kondisi
buruh, orang-orang terpinggirkan, orang-orang yang sering kali dilupakan oleh
sejarah. Maka puisi harus mengambil “tugas kenabian”. Puisi mempunyai tugas
profetik,” pungkas Prof. Wahid
Manusia yang Hilang
Iin Farliani sebagai pembedah buku puisi
Imaji Air Api mengatakan bahwa kata imaji mempunyai sifat keserentakan. Sifat
keserentakan adalah salah satu sifat puisi. Membaca puisi yang baik membuat
kita bisa mengalami pengalaman keserentakan.
Segala imaji yang bertabur dihamparkan
dalam satu tebasan. Satu kata bisa memunculkan banyak imaji. Sebagaimana sifat
puisi yang bermain di wilayah ambigu.
“Mari kita telaah puisi berjudul Imaji,”
ujar Iin.
.....
IMAJI
imaji kerap membelit
di lingkar hidup
penuh gejolak
adakah kau tahu
ketika ia memberontak
melepas semua kesemuan
mata hatinya kelam
membungkus secawan noktah
hingga ajal menjelang
Kemaraya, 01 Mei 2019: 12.25
Bait pertama puisi Imaji, memunculkan
pertanyaan apakah puisi hanya hadir saat hidup penuh gejolak? Lalu dengan kata
membelit apakah ia hadir sebagai sesuatu yang positif atau negatif? Beberapa
kata yang dekat dengan membelit: mengikat, melibatkan. Di sini larik yang
terbaca kemudian lebih dekat pada sesuatu yang melawan. Sebab di bait
selanjutnya ada kata memberontak, lalu di bait terakhir mengesankan sesuatu
yang membelit itu sebagai hal yang kelam. Kelam yang seakan berlangsung abadi
dan hanya bisa diputus bila ajal menjelang.
Dari keterhubungan makna antar bait, di
sini tampaknya puisi memang dipandang hanya akan hadir membelit, bila sedang
berada dalam situasi hidup yang penuh gejolak. Karena itulah puisi tercipta.
“Dalam pembacaan berikutnya, saya tidak
menemukan adanya subjek yang tunggal yang bisa saling terhubung di puisi yang
satu dengan yang lain. Dalam pembacaan yang berulang lagi, saya menemukan bahwa
subjek yang bisa kita bayangkan sebagai “manusia”, ternyata telah hilang dalam
kebanyakan puisi-puisi di buku ini.” ucap Iin, alumnus Jurusan Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Mataram.
Yang lebih cenderung muncul, tambah Iin,
adalah kehadiran benda-benda yang dilekatkan dengan sifat manusia. Benda-benda
yang menyandang sifat manusia ini terutama kita temukan kehadirannya pada
puisi-puisi paruh awal di buku ini, di antaranya pada puisi Harapan Para Jelata
(Hal.17) terdapat larik gelas kosong menyendiri.
Puisi berjudul Perahu Koyak (Hal.18), bait
pembukanya langsung menghidupkan sebuah benda perahu koyak menepi/meninggalkan
gegap gempita... lalu perahu itu dikatakan nyalinya perlahan karam/berakhir
sudah daya upaya.
Benda yang me-manusia juga bisa dibaca
pada puisi Napas Kehidupan (Hal.19): sepasang sepatu teronggok/di ujung hati
paling sepi... ia tetap menunggu/ rinai hujan menjadi kawan/. Selanjutnya
sebagai “benda-benda yang me-manusia”, dalam bentuknya yang paling tajam bisa
kita baca di puisi Daun Kering (Hal.24).
Kecenderungan puisi-puisi di buku imaji
air api (2025), bagi Iin mengantarkannya pada pertanyaan berikutnya tentang
bagaimana sesuatu yang bisa disebut hidup itu? Bila kita tak merasa ada manusia
yang meng-ada dengan hidupnya, lebih tergantikan oleh kehadiran benda-benda
yang menyandang sifat manusia, di manakah kemudian batas antara yang hidup dan
yang mati itu?
“Pertanyaan serupa ini pun dihadirkan buku
ini melalui puisi Kidung Kematian (Hal. 28): bagaimana harus bercerita/padamu
merpati cantikku/manakala sayap tak ada. Apakah ia tetap sesuatu yang hidup
manakala sayapnya tak ada? Apakah sayap yang tak ada tetap menjadikannya
merpati?,” tanya Iin.
Dengan kecenderungan menyandingkan sifat
manusia pada benda-benda yang tampak dalam buku ini, justru Iin memberi
petunjuk yang menarik bahwa hal ini bisa menjadi pilihan pergulatan estetika
puisi-puisi Agus K. Saputra di masa mendatang.
”Fokus utama bisa pada pencarian kreatif
seputar puisi-puisi suasana, lebih bertumpu pada imaji nuansa ketimbang pada
subjek yang terang serupa manusia. Pada kebanyakan puisi-puisi di mana yang
benda lebih terlihat meng-ada dibandingkan yang manusianya, tersimpan tawaran
imaji yang menarik sekaligus menantang,” tandas 5 (lima) besar Daftar Pendek
Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 Kategori Kumpulan Cerpen, lewat karya Mei
Salon, ini.
Lanskap Gersang
Bagi penata letak dan desain cover Tjak S
Parlan, puisi-puisi Agus K Saputra dalam himpinan Imaji Air Api, kerap
membentangkan suasana musim kering –lanskap berwarna gersang, baik secara
terang benderang maupun bersembunyi di antara pengimajinasian larik-larik kata.
Diksi seperti ‘kering’, ‘mengering’,
‘kemarau’, ‘membatu’, ‘berguguran’, ‘dahaga’, ‘berserakan’, ‘peluh’, telah
mempertegas cintraan visual lanskap berwarna gersang tersebu, (hal. 67).
“Bagi saya, puisi Harapan Para Jelata
mencoba menghamparkan ‘musim kering’ yang bisa saja menggiring asosiasi pembaca
kepada musim paceklik –sebagai sebuah metafora dari kemiskinan yang merupakan
bagian dari krisis besar akibat pandemi, resesi ekonomi, menipisnya
ketersediaan pangan yang membuat harga kebutuhan pokok tidak terjangkau oleh
sebagian kalangan masyarakat kelas bawah (baca: rakyat jelata) dan kita tahu
penyakit kronis yang bernama krisis ini (bisa saja) terjadi karena perubahan
iklim. Sawah dan ladang yang gagal panen, hutan dan sungai yang kering akibat
ulah manusia yang tidak bertanggungjawab dalam memperlakukan lingkungan,” tulis
Tjak Parlan (hal. 69).
Lanskap Gersang, tambah Tjak Parlan, juga
bisa dirasakan pada beberapa puisi lainnya. Puisi “Pulang Membawa Rezeki”
merupakan tanggapan sosial terhadap masyarakat “kalangan bawah”, dengan latar
suasana yang benar-benar kering kerontang.
Bau pengap tumpukan sampah yang tepanggang
matahari, peluh yang bercucuran mempertajam suasana tersebut. Namun demikian,
puisi ini tidak menyerahkan dirinya pada puncak kesedihan. Agus K Saputra
justru memberikan cercah harapan –bahkan kebahagian—lewat senyum serorang
perempuan (ibu) (hal. 78).
Simbol Tokoh Buruh
Agus K Saputra dalam kesempatan ini
mengatakan bahwa proses kreatif “Imaji Air Api” adalah berawal dari Peringatan
May Day, 1 Mei 2019, yang dikenal juga sebagai Hari Buruh Internasional.
“Hari itu Rabu, 01-05-2019 pukul 12.25
saya berusaha mewujudkan imaji tentang sosok buruh Indonesia hingga keesokan
harinya Kamis, 02-05-2019 pukul 13.05. Ini bisa dilihat di titik mangsa waktu
yang tertera, tak satu pun saya berhasil mewujudkan nama itu,” ujar Agus.
Menanggapi hal ini, Dimas Valentino dalam
tanggapannya menyebut nama almahumah Marsinah.
“Clue-nya adalah pertama, diksi air
sebagai kaum marginal dan diksi api sebagai para penguasa. Kedua, di halaman
persembahan dengan nyata tertulis ‘teruntuk kawan-kawan buruh di mana pun
berada, dengan nyala peluhnya’,” kata Dimas disambut riuh peserta diskusi
lainnya.
Pagelaran dan diskusi ini menampilkan Sak
Sak Dance Production dengan mengaliwahanakan puisi Air Api, sedangkan Pantjoro
Sumarso memusikalisasi puisi Mayapada, Mau Jadi Apa Kamu Kelak, dan Pusara
Ibu.***
