------
PEDOMAN KARYA
Senin, 22 September 2025
Aktor “Buta Tuli” ala
Dimas Valentino
Catatan Agus K
Saputra
Kadang hidup
membuka pintu-pintu kejutan yang tak pernah kita ketuk. Begitulah yang dialami
Dimas Valentino ketika ia dipanggil ke rumah (almarhumah) Mami Ayoe oleh Om
Ocong.
Ia datang dengan
prasangka sederhana: mungkin hanya pekerjaan ringan, barangkali sekadar mengisi
acara, menjadi pembawa suara. Namun, alih-alih diberi panggung MC, ia justru
disodori sebuah naskah. Sebuah kertas yang bukan sekadar tulisan, melainkan
jendela ke dunia lain: dunia film.
Dimas mengaku,
awalnya ia mengira hanya akan menjadi narator, pengiring cerita dari balik
layar. Tapi semakin ia bertanya, semakin jelas bahwa yang diinginkan bukan
sekadar suara—melainkan tubuh dan jiwa. Ia diminta untuk memerankan Jumadil,
sosok jongos setia yang penuh kelicikan, peminum, preman, sekaligus bayangan
dari seorang juragan ikan bernama Junet.
Bagi Dimas, momen
itu adalah kejutan. Sebuah “surprise” yang tak hanya datang dari luar, tapi
juga mengguncang ke dalam dirinya. Seakan-akan dunia berkata: “Kamu akan masuk
ke dalam cerita yang bukan milikmu, dan di sanalah kamu harus menemukan dirimu
yang lain.”
Di hadapan naskah,
Dimas sempat lelah mencari bayangan Jumadil. Kata-kata dalam skenario memang
memberi penjelasan, tetapi karakter bukan sekadar definisi. Karakter adalah
denyut, gerak, bahkan aroma yang harus dihidupkan. Ia butuh waktu, hingga
akhirnya ia membawa pulang naskah itu.
Di rumah, perlahan
ia membangun bayangan: bagaimana wajah culas itu berbicara, bagaimana seorang
pemabuk berjalan, bagaimana arogansi tumbuh dari dalam tubuh.
Malam itu, naskah
bukan lagi lembaran kertas. Ia menjelma cermin, dan Dimas mencoba melihat
bayangan dirinya yang lain—bayangan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia
sadar, menjadi aktor bukan tentang berpura-pura, tetapi tentang menggali bagian
terdalam diri yang mungkin selama ini tersembunyi.
Hari pertama
syuting, Dimas tahu ia harus mencoba. Sambil menyeruput kopi, ia mulai
berakting seolah sedang mabuk. Geraknya oleng, ucapannya goyah, matanya buram.
Semua orang heran—bagaimana mungkin kopi bisa memabukkan? Mereka tertawa,
bingung, bahkan sedikit curiga.
Namun, justru dari
kebingungan itulah lahir pengakuan. Sutradara tersenyum, menyebut aksinya
sebagai “curi start” yang indah. Bagi Dimas, momen itu adalah titik balik:
ternyata ia mampu menipu mata orang lain dengan imajinasi, bahkan tanpa mereka
sadar. Mabuk itu bukan soal minuman, tetapi soal keyakinan yang dimainkan di
tubuh.
Dan sejak saat
itu, ia tahu: akting adalah keberanian untuk meyakinkan orang lain akan
kebohongan yang kita ciptakan.
“Buta Tuli” yang
Berani
Dimas sering
menyebut dirinya “buta tuli” dalam seni peran. Istilah itu bukan cemooh,
melainkan pengakuan tulus. Ia tak tahu teori, tak mengerti teknik, tak paham
istilah. Ia hanya melompat ke panggung dengan bekal keberanian.
Dalam budaya
Sasak, “buta tuli” adalah kata ganti untuk “awam”. Namun dalam dirinya, istilah
itu berubah jadi energi: ia boleh tak tahu apa-apa, tapi ia berani mencoba
segalanya.
Di titik inilah ia
menemukan bahwa keawaman justru bisa menjadi ruang kebebasan. Karena ia tak
terikat aturan, ia bisa berimprovisasi. Karena ia tak tahu batas, ia bisa
menembusnya. Sutradara memberi kelonggaran, membiarkan dialog Jumadil lahir
sesuai mood, sesuai napas. Dari situlah muncul spontanitas, sesuatu yang justru
membuat karakter itu terasa hidup.
Improvisasi
baginya adalah seni merdeka. Ia tak lagi sekadar mengucap kata, tapi menyulut
emosi. Ia tidak membaca peran, tetapi menyalakan api kecil yang perlahan
membakar ruang.
Dari film Bebalu
Tongkol (tayang Minggu, 21 September
2025), Dimas menangkap pesan yang dalam: bahwa perempuan harus tangguh,
terutama dalam kekuatan mental. Cerita film mungkin berkisar pada juragan ikan,
jongos, dan kehidupan keras di tepian laut. Namun inti moralnya mengarah pada
keteguhan perempuan yang tak boleh rapuh menghadapi badai hidup.
Pesan itu
menggaung dalam dirinya. Ia merasa seperti sedang bercermin: sama seperti
perempuan yang harus kuat, ia pun dituntut kuat mental menghadapi dunia yang
asing baginya. Film ini, tanpa ia sadari, bukan hanya tentang memerankan
Jumadil, tapi juga tentang menempa dirinya sendiri.
Dimas tahu, dunia
film hanyalah satu ruang kecil dalam perjalanan hidupnya. Namun, pengalaman itu
bagai sekolah yang tiba-tiba hadir tanpa rencana. Ia belajar bahwa akting
adalah seni menghadirkan kebohongan yang terasa benar. Ia belajar bahwa
improvisasi lebih berharga daripada sekadar menghafal. Ia belajar bahwa
keberanian awam bisa mengalahkan keraguan orang yang terlalu banyak tahu.
Ia mungkin “aktor
buta tuli”, tapi justru dari situlah ia menemukan panggungnya. Panggung tempat
ia bebas salah, bebas mencoba, bebas menemukan wajah baru dari dirinya sendiri.
Bagi Dimas,
menjadi Jumadil bukan sekadar bermain film. Itu adalah perjalanan batin:
perjalanan dari ketidaktahuan menuju keyakinan, dari keawaman menuju kebebasan,
dari kopi yang dimabukkan imajinasi menuju panggung yang memabukkan jiwa.
Dan kelak, ketika
ia menoleh kembali ke hari itu, mungkin ia akan tersenyum dan berkata: “Aku
pernah menjadi aktor. Buta tuli, tapi berani. Awam, tapi nekat. Dan di situlah
aku menemukan diriku yang lain.”
#Akuair-Ampenan, 22-09-2025
