Aktor “Buta Tuli” ala Dimas Valentino

Dari film Bebalu Tongkol (tayang Minggu, 21 September 2025), Dimas menangkap pesan yang dalam: bahwa perempuan harus tangguh, terutama dalam kekuatan mental. Cerita film mungkin berkisar pada juragan ikan, jongos, dan kehidupan keras di tepian laut. Namun inti moralnya mengarah pada keteguhan perempuan yang tak boleh rapuh menghadapi badai hidup. (ist)

 

------

PEDOMAN KARYA

Senin, 22 September 2025

 

Aktor “Buta Tuli” ala Dimas Valentino

 

Catatan Agus K Saputra

 

Kadang hidup membuka pintu-pintu kejutan yang tak pernah kita ketuk. Begitulah yang dialami Dimas Valentino ketika ia dipanggil ke rumah (almarhumah) Mami Ayoe oleh Om Ocong.

Ia datang dengan prasangka sederhana: mungkin hanya pekerjaan ringan, barangkali sekadar mengisi acara, menjadi pembawa suara. Namun, alih-alih diberi panggung MC, ia justru disodori sebuah naskah. Sebuah kertas yang bukan sekadar tulisan, melainkan jendela ke dunia lain: dunia film.

Dimas mengaku, awalnya ia mengira hanya akan menjadi narator, pengiring cerita dari balik layar. Tapi semakin ia bertanya, semakin jelas bahwa yang diinginkan bukan sekadar suara—melainkan tubuh dan jiwa. Ia diminta untuk memerankan Jumadil, sosok jongos setia yang penuh kelicikan, peminum, preman, sekaligus bayangan dari seorang juragan ikan bernama Junet.

Bagi Dimas, momen itu adalah kejutan. Sebuah “surprise” yang tak hanya datang dari luar, tapi juga mengguncang ke dalam dirinya. Seakan-akan dunia berkata: “Kamu akan masuk ke dalam cerita yang bukan milikmu, dan di sanalah kamu harus menemukan dirimu yang lain.”

Di hadapan naskah, Dimas sempat lelah mencari bayangan Jumadil. Kata-kata dalam skenario memang memberi penjelasan, tetapi karakter bukan sekadar definisi. Karakter adalah denyut, gerak, bahkan aroma yang harus dihidupkan. Ia butuh waktu, hingga akhirnya ia membawa pulang naskah itu.

Di rumah, perlahan ia membangun bayangan: bagaimana wajah culas itu berbicara, bagaimana seorang pemabuk berjalan, bagaimana arogansi tumbuh dari dalam tubuh.

Malam itu, naskah bukan lagi lembaran kertas. Ia menjelma cermin, dan Dimas mencoba melihat bayangan dirinya yang lain—bayangan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia sadar, menjadi aktor bukan tentang berpura-pura, tetapi tentang menggali bagian terdalam diri yang mungkin selama ini tersembunyi.

Hari pertama syuting, Dimas tahu ia harus mencoba. Sambil menyeruput kopi, ia mulai berakting seolah sedang mabuk. Geraknya oleng, ucapannya goyah, matanya buram. Semua orang heran—bagaimana mungkin kopi bisa memabukkan? Mereka tertawa, bingung, bahkan sedikit curiga.

Namun, justru dari kebingungan itulah lahir pengakuan. Sutradara tersenyum, menyebut aksinya sebagai “curi start” yang indah. Bagi Dimas, momen itu adalah titik balik: ternyata ia mampu menipu mata orang lain dengan imajinasi, bahkan tanpa mereka sadar. Mabuk itu bukan soal minuman, tetapi soal keyakinan yang dimainkan di tubuh.

Dan sejak saat itu, ia tahu: akting adalah keberanian untuk meyakinkan orang lain akan kebohongan yang kita ciptakan.

 

“Buta Tuli” yang Berani

 

Dimas sering menyebut dirinya “buta tuli” dalam seni peran. Istilah itu bukan cemooh, melainkan pengakuan tulus. Ia tak tahu teori, tak mengerti teknik, tak paham istilah. Ia hanya melompat ke panggung dengan bekal keberanian.

Dalam budaya Sasak, “buta tuli” adalah kata ganti untuk “awam”. Namun dalam dirinya, istilah itu berubah jadi energi: ia boleh tak tahu apa-apa, tapi ia berani mencoba segalanya.

Di titik inilah ia menemukan bahwa keawaman justru bisa menjadi ruang kebebasan. Karena ia tak terikat aturan, ia bisa berimprovisasi. Karena ia tak tahu batas, ia bisa menembusnya. Sutradara memberi kelonggaran, membiarkan dialog Jumadil lahir sesuai mood, sesuai napas. Dari situlah muncul spontanitas, sesuatu yang justru membuat karakter itu terasa hidup.

Improvisasi baginya adalah seni merdeka. Ia tak lagi sekadar mengucap kata, tapi menyulut emosi. Ia tidak membaca peran, tetapi menyalakan api kecil yang perlahan membakar ruang.

Dari film Bebalu Tongkol (tayang Minggu, 21 September 2025), Dimas menangkap pesan yang dalam: bahwa perempuan harus tangguh, terutama dalam kekuatan mental. Cerita film mungkin berkisar pada juragan ikan, jongos, dan kehidupan keras di tepian laut. Namun inti moralnya mengarah pada keteguhan perempuan yang tak boleh rapuh menghadapi badai hidup.

Pesan itu menggaung dalam dirinya. Ia merasa seperti sedang bercermin: sama seperti perempuan yang harus kuat, ia pun dituntut kuat mental menghadapi dunia yang asing baginya. Film ini, tanpa ia sadari, bukan hanya tentang memerankan Jumadil, tapi juga tentang menempa dirinya sendiri.

Dimas tahu, dunia film hanyalah satu ruang kecil dalam perjalanan hidupnya. Namun, pengalaman itu bagai sekolah yang tiba-tiba hadir tanpa rencana. Ia belajar bahwa akting adalah seni menghadirkan kebohongan yang terasa benar. Ia belajar bahwa improvisasi lebih berharga daripada sekadar menghafal. Ia belajar bahwa keberanian awam bisa mengalahkan keraguan orang yang terlalu banyak tahu.

Ia mungkin “aktor buta tuli”, tapi justru dari situlah ia menemukan panggungnya. Panggung tempat ia bebas salah, bebas mencoba, bebas menemukan wajah baru dari dirinya sendiri.

Bagi Dimas, menjadi Jumadil bukan sekadar bermain film. Itu adalah perjalanan batin: perjalanan dari ketidaktahuan menuju keyakinan, dari keawaman menuju kebebasan, dari kopi yang dimabukkan imajinasi menuju panggung yang memabukkan jiwa.

Dan kelak, ketika ia menoleh kembali ke hari itu, mungkin ia akan tersenyum dan berkata: “Aku pernah menjadi aktor. Buta tuli, tapi berani. Awam, tapi nekat. Dan di situlah aku menemukan diriku yang lain.”

 

#Akuair-Ampenan, 22-09-2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama