-----
PEDOMAN KARYA
Senin, 20 Oktober 2025
Indonesia Butuh
Raja Bijaksana Bak Nabi Sulaiman
Oleh: Usman Lonta
Tulisan ini saya awali dengan kisah Nabi
Sulaiman muda. Dalam beberapa riwayat diceritakan bahwa Nabi Sulaiman, yang
usianya masih remaja, pernah mengadili perkara yang sangat rumit diselesaikan
oleh ayahnya, Nabi Daud.
Perkara tersebut adalah dua orang ibu yang
masing-masing mengklaim seorang bayi mungil sebagai anaknya. Ketika itu belum
ada tes DNA yang bisa menjadi argumentasi ilmiah untuk menentukan siapa pemilik
bayi yang sesungguhnya.
Dalam situasi yang sangat rumit itulah,
Nabi Sulaiman menawarkan satu keputusan yang sangat mengejutkan. Bahkan, jika
hari ini pendekatan tersebut dilaksanakan, maka KOMNAS HAM akan menetapkannya
sebagai pelanggaran HAM berat.
Keputusan tersebut adalah membagi dua bayi
itu dengan cara dipotong dua. Maka Nabi Sulaiman pun bersiap dengan pedangnya
untuk membagi bayi tersebut kepada dua ibu yang mengklaim sebagai anaknya.
Namun sebelum pedang Nabi Sulaiman tiba pada tubuh si bayi, salah seorang di
antara ibu itu menahannya dan berkata, “Bayi itu bukan anakku. Bayi itu adalah
anak ibu itu,” sambil menunjuk ibu yang menjadi lawan perkaranya.
Mendengar pengakuan itu, apakah Nabi
Sulaiman menyerahkan bayi tersebut kepada ibu yang setuju bila bayi itu dibelah
dua supaya adil?
Rupanya tidak. Nabi Sulaiman menggunakan
instingnya bahwa tidak mungkin ada seorang ibu kandung yang melahirkan seorang
bayi, lantas bayi tersebut dibiarkan meninggal di depan matanya.
Dengan insting dan kecerdasan Nabi
Sulaiman inilah lahir keputusan yang adil dengan proses pengambilan keputusan
yang sangat bijaksana, yaitu memberikan bayi tersebut kepada ibu
kandungnya—yang berbohong mengatakan bayi itu bukan anaknya—demi menyelamatkan
sang bayi dari kematian.
Dalam banyak peristiwa kehidupan yang
dijalani umat manusia, kisah Nabi Sulaiman patut menjadi pelajaran.
Kebijaksanaan, keadilan, dan kecerdasan berpadu memandu jalan hidup sehingga
keputusannya menjadi kisah suci sebagai pelajaran hingga akhir zaman.
Jika lahirnya bangsa Indonesia ini
diibaratkan sebagai bayi yang diperebutkan oleh berbagai kalangan, maka kita
tidak bisa melihat secara sempit kondisi hari ini saja. Kita harus melihat
secara bijaksana bahwa Indonesia bukanlah hasil ciptaan satu golongan, satu
ideologi, atau satu kelompok sosial.
Indonesia lahir dari perjumpaan
nilai-nilai besar yang dipertemukan oleh takdir sejarah—yakni semangat
keislaman para ulama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, kebijaksanaan para raja
dan bangsawan Nusantara, serta cita-cita kemerdekaan yang menyala di dada kaum
cendekiawan dan pejuang rakyat.
Oleh karena itu, ketika hari ini muncul
pihak-pihak yang merasa diri paling nasionalis, bahkan seolah memiliki hak
moral untuk menentukan siapa yang “paling Indonesia”, yang “paling Pancasilais”
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita patut merenung: apakah
mereka benar-benar memahami sejarah kelahiran bangsa ini?
Bila kita menengok kembali ke era
pergerakan awal abad ke-20, wajah nasionalisme Indonesia tidak tunggal. Di situ
ada Muhammadiyah dengan semangat pembaruan dan pendidikan yang rasional, yang
menanamkan kesadaran beragama sekaligus berbangsa.
Ada pula Nahdlatul Ulama (NU), yang
mengakar kuat di pesantren, menumbuhkan nasionalisme berbasis kearifan lokal,
dan menegaskan bahwa cinta Tanah Air (hubbul wathan) adalah bagian dari iman.
Di sisi lain, terdapat pula para raja dan
bangsawan Nusantara yang dengan arif rela menanggalkan kedaulatan mereka demi
terbentuknya negara kesatuan.
Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan
Surakarta, Kesultanan Aceh, Kesultanan Gowa, Kesultanan Ternate, Kesultanan
Bima, dan lain-lain menyerahkan kekuasaan demi cita-cita bersama bernama
“Indonesia Merdeka”. Dari mereka kita belajar bahwa nasionalisme sejati
bukanlah tentang siapa yang paling lantang bersuara, tetapi siapa yang paling
rela berkorban.
Dengan kata lain, Indonesia lahir dari
sintesis nilai-nilai Islam, kebudayaan lokal, dan semangat universal
kemanusiaan. Maka nasionalisme Indonesia bersifat inklusif, religius, dan
beradab. Ia bukan nasionalisme yang meniadakan iman, tetapi yang memuliakan
iman; bukan nasionalisme yang menindas perbedaan, tetapi yang merangkul
keragaman.
Sayangnya, semangat luhur itu kini sering
kabur dalam percaturan politik modern. Nasionalisme yang dulu menjadi energi
pemersatu, kini sering berubah menjadi alat politik eksklusif.
Ada kelompok yang merasa paling berjasa
dalam menjaga keutuhan bangsa, sehingga seolah berhak memonopoli makna
nasionalisme. Mereka berbicara seolah bangsa ini berdiri tanpa keringat para
ulama dan tanpa kebijaksanaan para raja.
Padahal, banyak di antara kelompok yang
hari ini paling vokal mengklaim diri nasionalis justru tidak pernah hadir dalam
perdebatan ideologis saat bangsa ini dirancang, termasuk ketika bangsa ini
mengalami krisis dan turbulensi.
Mereka baru muncul setelah republik ini
berdiri tegak, setelah adanya reformasi yang melahirkan kebebasan dan
kesetaraan warga dalam mengakses kekuasaan melalui demokrasi elektoral—bahkan
kadang hanya menikmati hasil dari perjuangan yang tidak mereka pahami.
Fenomena inilah yang membuat penulis
mengibaratkan Indonesia sebagai negeri yang lahir dari semangat Islam dan
kebijaksanaan para raja Nusantara. Bayi Indonesia lahir dari rahim perjuangan
bangsa, tetapi kini seolah diurus oleh pihak-pihak yang merasa paling berhak
merawatnya.
Mereka ingin menentukan bagaimana bayi itu
tumbuh, ke mana ia berjalan, bahkan siapa yang boleh mendekatinya. Padahal,
hakikat kebangsaan tidak bisa diwariskan berdasarkan klaim, melainkan dijaga
melalui keikhlasan, pengorbanan, dan kebijaksanaan.
Dalam situasi semacam ini, Indonesia
membutuhkan hikmah seperti hikmah Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman adalah raja yang
berkuasa atas manusia, jin, dan alam, tetapi kekuasaannya tidak pernah
menafikan keadilan dan kasih sayang.
Ia mampu menilai kebenaran bukan dari
siapa yang paling keras bersuara, melainkan dari siapa yang paling tulus dalam
mencari kebenaran—seperti ibu yang tidak ingin anaknya meninggal di depan
matanya.
Kebijaksanaan seperti Nabi Sulaiman adalah
cermin bagi kepemimpinan yang adil di tengah keragaman. Indonesia yang plural,
majemuk, dan sering kali rawan disalahpahami hanya dapat tumbuh dewasa jika
dipimpin oleh orang-orang surplus hikmah—bukan sekadar yang pandai beretorika,
pencitraan, dan sekadar memelihara tukang nujum (baca: lembaga survei) untuk
memaparkan data statistik sambil mengabaikan kenyataan kesejahteraan nyata di
tengah masyarakat. Hikmah itulah yang menuntun kekuasaan menuju keadilan, bukan
kezaliman.
Belajar dari Nabi Sulaiman, kepemimpinan
sejati tidak meniadakan suara minoritas. Dalam konteks Indonesia, artinya
pemimpin sejati tidak akan menyingkirkan peran kelompok keagamaan, adat, dan
budaya lokal yang telah membentuk karakter bangsa sejak awal. Sebab, tanpa
nilai-nilai Islam dan kearifan Nusantara, nasionalisme Indonesia akan
kehilangan rohnya.
Kini saatnya bangsa ini kembali menengok
akar sejarahnya. Nasionalisme Indonesia harus dikembalikan kepada ruh
awalnya—yakni nasionalisme beradab, berketuhanan, dan berbasis kebijaksanaan.
Nasionalisme yang lahir dari Muhammadiyah dan NU bukanlah nasionalisme sempit,
melainkan nasionalisme yang mendorong kemajuan melalui pendidikan, moral, dan
keadilan sosial.
Sementara para raja dan bangsawan
Nusantara telah menunjukkan bentuk nasionalisme yang luhur—nasionalisme yang
tidak memaksa, melainkan merelakan; tidak menuntut imbalan, melainkan
menyerahkan martabat demi persatuan.
Jika nilai-nilai itu dihidupkan kembali,
maka bangsa ini akan menemukan kedewasaannya. Indonesia tidak lagi akan menjadi
“bayi” yang diperebutkan, tetapi akan tumbuh menjadi bangsa yang matang, yang
memimpin dengan akal, hati, dan nurani.
Bangsa ini tidak membutuhkan lagi mereka
yang mengaku paling nasionalis. Yang dibutuhkan adalah mereka yang paling
berhikmah, paling adil, dan paling tulus menjaga Indonesia sebagai rumah
bersama.
Seperti Nabi Sulaiman yang menimbang
perkara dengan kebijaksanaan, kita berharap agar para pemimpin dan warga negara
menimbang segala perbedaan dengan akal sehat dan cinta Tanah Air yang sejati,
termasuk dalam menimbang perbedaan pilihan saat pemilihan umum dilaksanakan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Sungguminasa, 20 Oktober 2025
