Reposisi Basis Otonomi Daerah, Dari Kabupaten ke Provinsi

Saatnya Indonesia meninjau ulang fondasi otonomi daerah yang terlalu berfokus pada kabupaten / kota. Pengalaman hampir tiga dekade menunjukkan bahwa fragmentasi kekuasaan justru menyuburkan korupsi, melemahkan kapasitas fiskal, dan memperlebar kesenjangan wilayah. - Usman Lonta -

 

------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 31 Oktober 2025

 

Reposisi Basis Otonomi Daerah, Dari Kabupaten ke Provinsi


- Refleksi Atas Pelaksanaan Otonomi Daerah 


Oleh: Usman Lonta

 

Tulisan ini melengkapi argumentasi tulisan sebelumnya “Evaluasi Tiga Generasi UU Otonomi Daerah”. Tulisan kedua ini berangkat dari siklus kebijakan publik yang sering digunakan dalam melakukan analisis kebijakan publik.

Dalam kajian kebijakan publik, siklus kebijakannya diawali dengan identifikasi masalah, formulasi kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, dan terakhir reformulasi kebijakan.

Sejatinya siklus UU otonomi Daerah yang sudah berjalan selama hampir tiga dekade, dilakukan evaluasi secara menyeleluruh dan mendalam. Dari hasil evaluasi tersebut melahirkan reformulasi kebijakan, opsi kebijakan yang dapat mengarahkan kebijakan tersebut sesuai ide dasar Otonomi Daerah.

Ide dasar Otonomi Daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, namun dalam implementasinya melahirkan berbagai distorsi dalam tata kelola pemerintahan, di antaranya fragmentasi kebijakan, duplikasi anggaran / birokrasi, dan maraknya praktik korupsi di daerah.

Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan reposisi basis otonomi dengan menempatkan pemerintah provinsi sebagai pusat koordinasi, perencanaan, dan pengawasan pembangunan daerah.

Melalui pendekatan konseptual dan analisis kebijakan, menurut saya bahwa model otonomi yang berbasis pada provinsi lebih menjanjikan dalam memperkuat integrasi kebijakan dan mitigasi kebocoran anggaran, dengan catatan reformasi akuntabilitas publik dan transparansi fiskal.

Desentralisasi pascareformasi dianggap sebagai tonggak demokratisasi pemerintahan di Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Indonesia menempuh pola desentralisasi yang berbasis kabupaten / kota, bukan provinsi. Tujuannya agar pelayanan publik semakin dekat dengan masyarakat dan keputusan pembangunan lebih sesuai dengan kebutuhan lokal.

Namun setelah hampir tiga puluh tahun, hasilnya menunjukkan paradoks. Alih-alih memperkuat demokrasi lokal, model ini justru melahirkan “raja-raja kecil” di berbagai daerah, memecah konsistensi kebijakan nasional, dan memperluas ruang korupsi di tingkat lokal. Ketimpangan antarwilayah juga tidak menyempit, bahkan semakin menganga lebar akibat perbedaan kapasitas fiskal dan sumber daya manusia antar-daerah.

Berangkat dari pemikiran tersebut, muncul gagasan untuk merelokasi basis otonomi dari kabupaten / kota ke tingkat provinsi. Gagasan ini dalam rangka melakukan penataan ulang agar desentralisasi tetap efisien, akuntabel, dan mampu menjawab kebutuhan pembangunan secara menyeluruh.

Jika kita merenung sejenak dan melakukan refleksi terdapat beberapa kelemahan fundamental dalam otonomi berbasis kabupaten / kota.

Pertama, Fragmentasi Kebijakan. Setiap daerah memiliki otonomi penuh menentukan prioritas, menyebabkan duplikasi program dan kurang sinerginya kebijakan antarwilayah. Misalnya, pembangunan infrastruktur antar-daerah sering terhenti pada perbatasan administratif.

Kedua, Desentralisasi Korupsi. Kewenangan luas tanpa pengawasan kuat melahirkan pola korupsi baru di tingkat lokal. Kepala daerah memiliki kekuasaan politik dan fiskal besar, sementara lembaga pengawas internal lemah dan sering tumpul karena intervensi politik.

Ketiga, Beban Fiskal Pusat. Ketergantungan kabupaten / kota terhadap dana transfer pusat (DAU dan DAK) justru meningkat, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagian besar stagnan. Artinya, otonomi tidak memperkuat kemandirian daerah, melainkan memperluas ketergantungan.

Keempat, Rendahnya Kesejahteraan Publik. Dalam banyak kasus, otonomi hanya menyejahterakan elite birokrasi dan politik lokal. Indeks pembangunan manusia (IPM) di sejumlah daerah otonom baru bahkan lebih rendah dibanding sebelum pemekaran.

Dari berbagai kelemahan tersebut di atas, saatnya mempertimbangkan reposisi otonomi daerah dengan menjadikan provinsi sebagai pusat desentralisasi. Pandangan ini memiliki dasar rasional, baik secara politik, administratif, maupun fiskal. Kenapa demikian?

Pertama, Kapasitas Administratif yang Lebih Stabil. Pemerintah provinsi memiliki aparatur yang lebih berpengalaman dan sistem tata kelola yang lebih mapan dibanding sebagian besar kabupaten/kota, sehingga mampu menjamin kesinambungan kebijakan lintas wilayah.

Kedua, Koordinasi dan Efisiensi. Dengan menempatkan provinsi sebagai pengendali utama kebijakan pembangunan, duplikasi program dapat diminimalkan. Provinsi juga dapat menjadi penghubung antara kebijakan nasional dan implementasinya ditingkat lokal.

Ketiga, Keadilan Regional. Otonomi berbasis provinsi memungkinkan redistribusi pembangunan antarwilayah di bawah satu koordinasi. Hal ini penting untuk menekan kesenjangan antar-kabupaten/kota dalam satu provinsi.

Keempat, Mitigasi Kebocoran Anggaran. Dengan pengawasan fiskal yang lebih terpusat di provinsi, peluang penyimpangan di level bawah dapat ditekan. Sistem e-budgeting dan e-audit bisa diintegrasikan di tingkat provinsi agar transparansi fiskal terjamin.

Supaya lebih mendalam analisisnya bahwa reposisi basis otonomi tentu bukan tanpa risiko. Jika tidak hati-hati, pergeseran kekuasaan dari kabupaten ke provinsi bisa melahirkan “raja besar” menggantikan “raja kecil”. Karena itu, reformasi kelembagaan harus diikuti oleh tiga prasyarat utama.

Pertama, Penguatan Akuntabilitas Publik. Diperlukan mekanisme partisipasi masyarakat lintas kabupaten dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan provinsi.

Kedua, Reformasi Perimbangan Keuangan. Transfer dana pusat harus diarahkan langsung ke provinsi dengan skema berbasis kinerja, bukan hanya jumlah penduduk atau luas wilayah.

Ketiga, Integrasi Data dan Teknologi. Sistem informasi keuangan, perencanaan, dan pengawasan harus satu pintu di tingkat provinsi untuk menghindari duplikasi dan manipulasi laporan.

Sebagai kata penutup, saatnya Indonesia meninjau ulang fondasi otonomi daerah yang terlalu berfokus pada kabupaten / kota. Pengalaman hampir tiga dekade menunjukkan bahwa fragmentasi kekuasaan justru menyuburkan korupsi, melemahkan kapasitas fiskal, dan memperlebar kesenjangan wilayah.

Reposisi basis otonomi ke tingkat provinsi dapat menjadi jalan tengah antara sentralisasi dan desentralisasi ekstrem. Namun, keberhasilan model ini sangat bergantung pada keberanian politik untuk melakukan reformasi kelembagaan dan memperkuat mekanisme pengawasan publik.

Dengan kata lain, mengubah basis otonomi bukan sekadar memindahkan kewenangan, tetapi membangun ulang fondasi kepercayaan antara negara, daerah, dan rakyat. Wallahu a’lam bishshawab.

 

Sungguminasa, 29 Otober 2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama