Ekosufisme Rinjani: Antara Spiritualitas, Alam, dan Kearifan Sasak

Rinjani bukanlah sekadar objek wisata atau lanskap geologis, melainkan medan spiritual, pusat kosmos, dan jantung kebudayaan Sasak yang berdenyut dengan nilai-nilai sufistik.

 

------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 06 November 2025

 

Ekosufisme Rinjani: Antara Spiritualitas, Alam, dan Kearifan Sasak

 

Catatan Agus K Saputra

 

Gunung Rinjani bagi banyak orang mungkin hanya dipandang sebagai destinasi wisata alam yang menakjubkan, dengan Danau Segara Anak yang memesona dan puncaknya yang menjadi incaran para pendaki.

Namun, dalam pandangan HL Agus Fathurrahman, Rinjani bukanlah sekadar objek wisata atau lanskap geologis, melainkan medan spiritual, pusat kosmos, dan jantung kebudayaan Sasak yang berdenyut dengan nilai-nilai sufistik.

Buku Rinjani Perspektif Ekosufisme: Informasi-Informasi yang Tak Akan Anda Peroleh dari Pariwisata (Mera Book, 2025) menjadi upaya monumental untuk mengungkap sisi terdalam Gunung Rinjani dari perspektif ekosufisme, yakni pandangan yang memadukan antara ekologi dan sufisme, antara kesadaran ekologis dan ketundukan spiritual.

Buku ini setebal xvi + 170 halaman, berukuran 13 x 19 cm, disertai pengantar ahli oleh Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip, S.S., M.Hum., dan pengantar editor oleh AS Rosyid. Kedua pengantar tersebut memperkuat fondasi teoretis buku ini, yang menempatkan Rinjani bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga fenomena spiritual dan kebudayaan.

Melalui pendekatan “from macro to micro”, Miq Agus Fathurrahman membawa pembaca dari pemahaman universal menuju partikular: dari dimensi spiritual Islam menuju praktik ekosufisme masyarakat Sasak.

Istilah ekosufisme sendiri, sebagaimana dijelaskan Prof. Nuriadi Sayip dalam pengantar buku ini, berangkat dari dua kata dasar: ekologi dan sufisme.

Dalam tradisi Islam, sufisme merupakan jalan penyucian diri untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui pengalaman batin yang halus dan kesadaran ilahiah. Sedangkan ekologi adalah kesadaran akan keterhubungan antara manusia dan lingkungan.

Maka, ekosufisme adalah pertemuan antara spiritualitas Islam dan kesadaran ekologis, antara dzikir dan etika lingkungan.

Dalam konteks Rinjani, ekosufisme tidak berhenti sebagai teori abstrak, tetapi hidup dalam tradisi, ritus, dan pandangan dunia masyarakat Sasak. Melalui alam—gunung, lembah, air, dan tanah—manusia menemukan tanda-tanda (ayat) Tuhan.

Maka, pendakian Rinjani bukan sekadar pendakian fisik, tetapi juga pendakian spiritual menuju kesadaran tertinggi tentang Tuhan, alam, dan diri. Setiap langkah di lereng Rinjani sejatinya adalah perjalanan menuju tauhid, menuju kesatuan wujud bahwa “semua berasal dari Yang Esa”.

Dalam kosmologi Sasak, Gunung Rinjani memiliki posisi sentral sebagai puser gumi—pusat bumi. Rinjani bukan hanya gunung tertinggi di Lombok, tetapi juga pusat energi spiritual tempat berkumpulnya ruh para waliyullah.

Miq Agus menulis, bahwa secara supranatural, Rinjani merupakan “sentra pertemuan para waliyullah di seluruh Nusantara, bahkan dunia” pada waktu-waktu tertentu. Pandangan ini memperlihatkan bahwa alam dan spiritualitas dihayati masyarakat Sasak secara integral, di mana alam bukan benda mati, tetapi makhluk yang hidup dan menyimpan ruh ilahiah.

Rinjani juga merupakan tempat bersemayamnya Dewi Anjani, figur mitologis sekaligus spiritual yang diyakini sebagai nenek moyang orang Sasak. Ia dipandang bukan sekadar legenda, tetapi simbol kesucian dan penjaga keseimbangan alam.

Dalam pandangan sebagian masyarakat Sasak, Dewi Anjani bahkan dianggap sebagai wali qutub, sosok wali tertinggi yang menjaga keberlangsungan kosmos. Ritual-ritual seperti ngaji makem, sembeq, dan bukaq jebak dilakukan untuk menjaga komunikasi spiritual antara manusia dan penguasa alam tersebut.

Buku ini dengan jernih menjelaskan bahwa konsep kemaliq—yakni situs-situs suci seperti mata air, makam leluhur, atau tanda-tanda alam tertentu—merupakan ruang-ruang sakral yang menegaskan etika ekologis masyarakat Sasak.

Di area kemaliq, terdapat larangan keras untuk berkata kotor, mencemari air, atau memotong tumbuhan tanpa izin. Di sini, spiritualitas menjadi benteng moral bagi kelestarian alam.

Dari Idup Sopoq hingga Lauq-Daya: Nilai-Nilai Ekosufistik Orang Sasak

AS Rosyid dalam pengantarnya, sebagai dielaborasi Miq Agus Fn,  merumuskan tiga konsep inti yang membentuk ekosufisme Rinjani, yaitu idup sopoq (hidup tunggal), lauq-daya (dari laut menuju puncak), dan lima nilai dasar (tindih, maliq, merang, pemole, semaiq).

Pertama, idup sopoq menegaskan keyakinan bahwa seluruh kehidupan berasal dari satu sumber yang sama. Dalam pandangan ini, tanah, manusia, hewan, dan tumbuhan adalah satu kesatuan eksistensial—semuanya bersaudara karena berasal dari zat yang sama. Ini merupakan refleksi ekologis dari doktrin tauhid: kesatuan Tuhan tercermin dalam kesatuan ciptaan.

Kedua, lauq-daya menggambarkan perjalanan eksistensial manusia dari laut yang tak terbatas menuju puncak gunung, simbol kesempurnaan iman. Secara simbolik, laut mewakili kelahiran dan potensi, sedangkan gunung melambangkan pencapaian spiritual tertinggi. Maka, hidup adalah perjalanan dari lautan kemungkinan menuju puncak kesadaran ilahi.

Dalam kehidupan sehari-hari, konsep ini diwujudkan dalam arsitektur dan tata ruang rumah: rumah tidak boleh dibangun menghadap barat-timur, karena arah tersebut melintasi uwat gumi (urat bumi). Ini bukan sekadar aturan teknis, tetapi refleksi dari kesadaran kosmologis bahwa manusia harus hidup sejalan dengan “urat bumi”.

Ketiga, lima nilai dasar merupakan inti moral kebudayaan Sasak. Tindih (pengetahuan dan kepekaan terhadap kebenaran, kebaikan, keindahan), maliq (ketaatan terhadap nilai-nilai tindih), merang (keberanian menegakkan kebenaran), pemole (memuliakan nilai-nilai sakral), dan semaiq (menjalankan segalanya dengan kesederhanaan).

Nilai-nilai ini membentuk etika ekologis sekaligus etika sosial yang menegaskan bahwa menjadi Sasak sejati bukan sekadar berbicara bahasa Sasak, tetapi menghidupi nilai-nilai spiritual yang mengakar.

Isi buku ini dibangun atas empat pilar besar: ekologi, kosmologi, budaya, dan adab terhadap Rinjani.

Pertama, Ekologi Rinjani menggambarkan keseluruhan bentang alam Pulau Lombok sebagai sistem kehidupan yang kompleks dan saling menopang. Miq Agus menekankan pentingnya kesadaran ekologis untuk menjaga keseimbangan Rinjani sebagai sumber kehidupan.

Kedua, Kosmologi Rinjani memaparkan pandangan masyarakat Sasak tentang alam sebagai satu kesatuan kosmos yang saling menghidupi. Di sini Rinjani dipandang sebagai pasak bumi dan pusat dunia, tempat semua kehidupan berporos.

Ketiga, Budaya Rinjani mencakup sistem nilai, norma, sosial, dan teknis yang lahir dari keyakinan kosmologis tersebut. Melalui ritual, sastra lisan, arsitektur, dan pakaian adat, masyarakat Sasak mengekspresikan penghormatan terhadap Rinjani.

Keempat, Adab terhadap Rinjani menjadi pedoman moral bagi siapa pun yang berinteraksi dengan gunung. Pendaki tradisi, misalnya, wajib menjalankan tata krama spiritual, seperti membuka jebak sebelum mendaki—sebagai tanda bahwa mereka telah memasuki wilayah sakral.

Melalui empat pilar ini, Miq Agus Fathurrahman tidak hanya menulis buku etnografis, tetapi juga membangun filsafat kebudayaan Sasak, di mana spiritualitas, etika, dan ekologi berpadu menjadi satu harmoni.

Salah satu keistimewaan buku ini adalah kemampuannya menjembatani antara mitologi dan teologi. Kisah Dewi Anjani, ritual kemaliq, dan konsep puser gumi dibaca bukan sekadar sebagai mitos, melainkan simbol teologis yang memuat nilai tauhid.

Masyarakat Sasak, menurut Miq Agus, sejak awal telah mengenal konsep ketuhanan tunggal. Mereka memahami Tuhan bukan melalui teks-teks kitab, tetapi melalui teks-teks alam: angin, air, tanah, dan gunung.

Ungkapan “Tanaq Sasak ngidupin tau Sasak, tau Sasak ngidupin tanaq Sasak” (Tanah Sasak menghidupi orang Sasak, dan orang Sasak menghidupi tanah Sasak) merupakan puncak kesadaran ekologis yang sekaligus sufistik.

Di dalamnya terdapat relasi timbal balik antara manusia dan alam, antara makhluk dan Khalik, yang berlandaskan kasih sayang (rahmah). Dengan demikian, buku ini bukan sekadar karya antropologis, tetapi juga manifestasi dari teologi ekologis Islam yang tumbuh di tanah Lombok.

 

Rinjani sebagai Cermin Diri dan Jalan Pulang

 

Melalui buku ini, H. L. Agus Fathurrahman mengajak pembaca untuk “mendaki” Rinjani bukan dengan kaki, tetapi dengan hati. Ia menyingkap lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di balik panorama alam: tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan leluhurnya, dan dengan bumi tempatnya berpijak.

Buku ini membuktikan bahwa pengetahuan lokal (local wisdom) masyarakat Sasak bukan pengetahuan pinggiran, melainkan pengetahuan spiritual yang berakar dalam tradisi Islam dan relevan dengan isu ekologis kontemporer.

Sebagaimana ditulis Prof. Nuriadi Sayip dalam pengantarnya, “Buku ini berisi separuh kebudayaan Sasak.” Sebuah pernyataan yang bukan hiperbola, sebab melalui halaman-halamannya, kita dapat menyelami bagaimana Gunung Rinjani menjadi metafora kehidupan, tempat manusia belajar tentang keseimbangan, keikhlasan, dan ketundukan kepada Sang Pencipta.

Buku ini layak dibaca bukan hanya oleh akademisi dan pemerhati budaya, tetapi juga oleh siapa pun yang mencari makna spiritual di tengah krisis ekologis dunia modern. Rinjani Perspektif Ekosufisme bukan hanya membicarakan gunung, tetapi juga berbicara tentang kita—manusia yang sedang mencari jalan pulang menuju sumbernya: Tuhan.

 

#Akuair-Ampenan, 06-11-2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama