Jadi Guru Tahun 1957, Gaji Pertama Rp375


JADI GURU. Tanggal 1 Agustus 1957 merupakan hari bersejarah dalam hidup Aminuddin Gudang, karena pada hari itu, ia resmi terangkat menjadi guru Pegawai Negeri Sipil. Ia ditempatkan sebagai guru sekolah dasar di Sekolah Rakyat (SR) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. (ist)







-------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 25 November 2016



Aminuddin Gudang:

 
Jadi Guru Tahun 1957, Gaji Pertama Rp375



Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan Majalah Pedoman Karya)



Tanggal 25 November 2016, banyak sekali postingan di media sosial yang mengingatkan tentang Hari Guru, baik yang mengucapkan Selamat Hari Guru, maupun mengutip berbagai macam kata-kata atau ungkapan yang intinya mengucapkan selamat dan memuji guru.

Karena itulah, kami juga ingin berpartisipasi dengan menuangkan profil guru, seorang guru di Kabupaten Bulukumba bernama lengkap Aminuddin Gudang, yang menjadi guru Sekolah Dasar (dulu Sekolah Rakyat) sejak tahun 1957 dan pensiun pada tahun 1998.

Tanggal 1 Agustus 1957 merupakan hari bersejarah dalam hidup Aminuddin Gudang, karena pada hari itu, ia resmi terangkat menjadi guru Pegawai Negeri Sipil. Ia ditempatkan sebagai guru sekolah dasar di Sekolah Rakyat (SR) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

“Sebenarnya saya merasa masih terlalu muda untuk menjadi guru ketika itu, karena usia saya baru 19 tahun (berdasarkan ijazah, Aminuddin lahir pada 1 Juli 1938),” kenangnya saat menceritakan peristiwa bersejarah dalam hidupnya kepada penulis.

Tetapi karena memang sudah panggilan jiwa, maka ia pun berangkat dari ibukota Kabupaten Bulukumba ke Kassi Buta di Kecamatan Kajang yang jaraknya kurang lebih 40 kilometer.

Di balik kegembiraan menerima SK pengangkatan sebagai guru, juga terselip rasa enggan dan rasa takut. Enggan karena ia sudah merasa sudah senang menjalani hidupnya sebagai pemuda dari keluarga yang cukup “'berada.”

Ayahnya, Gudang Daeng Bone, bekerja sebagai tukang jahit yang tergolong cukup “berada” ketika itu. Udding-panggilan akrab Aminuddin-ketika itu memiliki motor besar dan bisa dihitung jari jumlah pemuda yang memiliki sepeda motor saat itu.

Udding juga merasa takut karena Kecamatan Kajang ketika itu identik dengan “daerah berselimut magis.”

Sejak ratusan tahun silam sampai sekarang di Kecamatan Kajang, terdapat sebuah wilayah atau kawasan cukup luas yang dihuni dan “dikuasai” oleh Suku Adat Ammatoa.

Suku dengan ciri khas pakaian serba hitam dan dipimpin seorang ketua adat yang disebut Ammatoa. Ketua adat bergelar Ammatoa dan para lelaki dewasa di kawasan adat Ammatoa ketika itu, konon rata-rata memiliki ilmu kanuragan dan kekuatan magis.

“Tetapi setelah diberi keyakinan oleh orangtua, keluarga, dan teman-teman, saya dengan senang hati akhirnya berangkat ke Kajang melaksanakan tugas sebagai guru,” kata Udding.

Sambil mengajar, ia juga bekerja sambilan sebagai tukang jahit. Bakat tukang jahit menurun dari sang ayah, Gudang Daeng Bone, yang memang cukup dikenal di ibukota Kabupaten Bulukumba pada tahun 50-an hingga akhir tahun 60-an.

“Waktu itu, gaji pertama saya Rp375 (tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) per bulan. Kalau tidak salah, harga beras waktu itu Rp1 (satu rupiah) per liter,”' ujarnya.

Saat bertugas di Kajang, ia pernah dihardik oleh seorang tentara, karena dikira hanya seorang remaja (19 tahun), tetapi setelah beberapa orang menjelaskan bahwa dirinya seorang guru, sang tentara langsung meminta maaf.

“Mungkin karena ia melihat badan saya kecil dan wajah saya masih sangat muda, tetapi setelah ada yang memberitahu, ia datang minta maaf,” kata Udding.


Menikah






Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960.

Ketika masih mengajar di Kassi Buta, beberapa teman mengajarnya sempat memintanya menikah dengan wanita setempat dan kebetulan ada seorang tokoh masyarakat di desa itu yang menginginkan Aminuddin menjadi menantunya, tetapi ia menolak secara halus karena merasa masih terlalu muda untuk menikah.

Tanpa ia tahu, secara diam-diam rupanya sang ibu, Dekkalala Daeng Pute (almarhumah) telah mencarikan jodoh buat dirinya. Sang ibu rupanya tertarik melihat kepribadian seorang gadis bernama Sitti Hasnah yang bersahabat dengan adik kandung Aminuddin yang bernama Besse Daeng Jintu.

“Saya juga biasa lihat dia jalan dengan adik saya, tetapi hanya sebatas itu. Saya tidak tahu kalau ibu saya ternyata tertarik dengan gadis itu dan kemudian melamarnya untuk jadi isteri saya,” kenang Aminuddin yang oleh orangtuanya dipanggil Udding.

Mereka dinikahkan dan melangsungkan pesta perkawinan di Bulukumba pada 14 Desember 1958. Setelah menikah, sang isteri tetap tinggal di Bulukumba (sebutan untuk ibukota Kabupaten Bulukumba) dan hanya sesekali datang ke Kassi Buta. Hidup “terpisah” dengan isteri dijalani selama kurang 13 bulan.




Gedung Sekolah Roboh


Pada 1 Desember 1960, Aminuddin dipindahkan ke Sekolah Rakyat (SR) 12 Kalumeme, Kecamatan Ujungbulu. Di sekolah yang kemudian berganti nama menjadi SD Negeri 10 Ela-ela ini, ia mengajar sebagai guru biasa selama 17 tahun.

Ada beberapa peristiwa tak terlupakan selama 17 tahun mengajar di sekolah itu, antara lain ketika terjadi angin ribut, gedung sekolah SR 12 Kalumeme roboh.

“Terpaksa anak-anak belajar di kolong rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar sekolah,” paparnya.

Ketika itu, rumah penduduk umumnya masih berupa rumah panggung, yaitu rumah kayu yang tinggi dan rata-rata memiliki kolong setinggi antara satu setengah meter sampai dua setengah meter. Di kolong rumah penduduk itulah murid-murid SR 12 Kalumeme bersekolah sambil menunggu dibangunnya gedung sekolah baru.

Gedung sekolah baru yang dibangun pemerintah sebagai pengganti gedung yang roboh, hanya bersifat sementara yang berdinding papan dan berlantaikan tanah.

Waktu itu, juga masih ada sisa-sisa buku tulis yang terbuat dari batu pipih seukuran buku tulis berwarna hitam. Buku hitam itu hanya bisa ditulisi dengan kapur putih, sehingga tangan murid-murid sekolah umumnya kotor oleh kapur dan harus dicuci setiap “keluar main” (sebutan untuk jam istirahat), serta ketika usai jam pelajaran.

Saat masih mengajar di sekolah itu, SR 12 Kalumeme kemudian berubah menjadi SD Negeri 10, karena terjadi penciutan jumlah sekolah dan perubahan nama dari Sekolah Rakyat (Sekolah Rakyat) menjadi Sekolah Dasar (SD).

“Waktu itu juga sempat terjadi perpanjangan tahun ajaran, jadi anak-anak belajar selama satu setengah tahun,” ungkap Aminuddin.




Naik Sepeda Kumbang


Yang juga tidak bisa dilupakan dan sekaligus menjadi kenangan manis bagi Aminuddin ketika mengajar di SD 10 Ela-ela, yaitu selama 13 tahun lamanya ia hanya naik sepeda kumbang pergi mengajar, padahal sebelum menikah ia adalah seorang remaja dan pemuda yang cukup “berada”, serta kemana-mana naik sepeda motor HYS 500cc.

“Hanya dihitung jari ketika itu anak muda yang memiliki sepeda motor, apalagi HYS 500cc,” ungkapnya.

Ia kehilangan sepeda motornya pada tahun 1960, setelah terjadi situasi yang kurang bagus. Sebagai guru sekolah dasar, gajinya tergolong kecil, padahal ia sudah punya seorang isteri dan seorang anak.

Sepeda motor kesayangannya yang dibeli seharga Rp4.000,- (empat ribu rupiah) terpaksa dijual seharga Rp2.000,- (dua ribu rupiah), tetapi yang membeli adalah mertuanya sendiri, Malakaji Daeng Bali.

Aminuddin kemudian membeli sepeda kumbang sebagai kendaraannya sehari-hari, termasuk untuk pergi mengajar di sekolah. Sejak tahun 1960 sampai tahun 1973 atau selama 13 tahun, ia hanya naik sepeda pergi mengajar.

“Tapi saya tidak pernah terlambat ke sekolah, kecuali kalau saya sakit atau ada halangan yang tidak bisa saya hindari. Saya selalu datang paling pagi sebelum guru-guru lain datang dan pulang paling belakangan. Saya memang selalu berupaya disiplin,” tandasnya.

Tahun 1973, barulah ia bisa membeli sepeda motor, yaitu motor Suzuki 50cc seharga Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
 


Jadi Kepala Sekolah



Ketika masih sekolah di Sekolah Guru Bawah (SGB) Bulukumba, Aminuddin memiliki banyak sahabat. Dua di antara banyak sahabatnya itu bernama Aminuddin Tjinro (akrab disapa Pak Minu') dan Hasyim.

Laju karier kedua sahabatnya itu lebih cepat dibanding Aminuddin, karena mereka masing-masing telah lebih dahulu terangkat menjadi Pengawas Sekolah (dulu disebut Penilik) dan Kepala Sekolah.

Melihat Aminuddin masih berada pada posisi guru biasa selama hampir 20 tahun (tiga tahun di SD Negeri Kassi Buta Kecamatan Kajang, dan 17 tahun di SD Negeri 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu), keduanya lalu berupaya dan memperjuangkan Aminuddin agar dapat diangkat menjadi kepala sekolah.

“Saya tidak tahu apa-apa. Mereka berdualah yang mengurus berkas saya, karena kami memang bersahabat sejak masih sekolah dulu,” ungkap Aminuddin.

Atas perjuangan Pak Minu' dan Pak Hasyim yang juga masih ada hubungan keluarga sebagai sesama orang Bontotiro, Aminuddin kemudian mendapat Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Kepala Sekolah dan ditempatkan di SD Inpres 182 Seppang, Desa Dannuang, Kecamatan Ujungloe (dulu masih masuk dalam wilayah Kecamatan Ujungbulu).

SK Pengangkatan Kepala Sekolah di SD Inpres 182 Seppang, sebenarnya tertanggal 1 April 1977, tetapi SK tersebut baru sampai di tangannya pada 1978.

“SK-nya baru saya terima satu tahun kemudian, tetapi Pemerintah Daerah hanya membayar tiga bulan tunjangan kepala sekolah, padahal seharusnya dirapel satu tahun. Jadi sampai sekarang Pemerintah Daerah Bulukumba berutang sembilan bulan tunjangan kepala sekolah saya,” ujar Aminuddin sambil tertawa.



Mendatangi Tokoh Masyarakat



Setelah menerima SK Kepala Sekolah, Aminuddin kemudian berangkat ke Seppang, bertemu dengan para guru dan murid-murid, kemudian mendatangi beberapa tokoh masyarakat setempat.

Dengan diantar sepupu perempuannya yang menikah dengan pemuda setempat, Aminuddin mendatangi satu per satu tokoh masyarakat setempat dan singgah di rumah-rumah penduduk sekitar sekolah untuk “melapor”, memohon petunjuk, serta memohon agar dirinya bisa diterima dengan baik untuk melaksanakan tugas.

“Sebelum melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah baru, saya menemui tokoh masyarakat dan warga yang bermukim di sekitar sekolah. Saya meminta petunjuk kepada mereka dan saya meminta mereka bersedia menerima kehadiran saya untuk membina anak-anak mereka yang bersekolah di SD Inpres 182 Seppang. Alhamdulillah, mereka menerima dengan hangat kehadiran saya,” tuturnya.

Meskipun pindah tugas, Aminuddin tetap tinggal di ibukota Kabupaten Bulukumba. Jarak dari rumah ke sekolahnya kurang lebih 10 kilometer dan harus menempuh jalanan yang berkelok-kelok dan berbukit-bukit.

Dari jalur jalan poros Kampung Batu Karopa yang merupakan jalan provinsi, Aminuddin juga masih harus menempuh jalan berbatu-batu sekitar satu kilometer untuk sampai ke SD Inpres 182 Seppang.

Perjalanan dari rumah ke sekolah ditempuh sekitar satu jam dengan mengendarai sepeda motor yamaha bebek, tetapi sama dengan ketika masih bertugas sebagai guru biasa selama belasan tahun di SD Negeri 10 Ela-ela, Aminuddin juga tidak pernah terlambat.

“Saya selalu berupaya datang paling pagi dibanding guru-guru bantu saya dan selalu pulang belakangan,” ujarnya.

Selama memimpin sekolah itu, Aminuddin cukup rajin meluangkan waktu mendatangi dan bertemu dengan orangtua murid dan masyarakat setempat, baik karena ada masalah atau undangan, maupun sekadar bersilaturrahim.


Didemo Warga






Pernah suatu hari, ada salah seorang guru bantunya yang memukul seorang murid dengan maksud memberi pelajaran sebagai hukuman atas pelanggaran yang telah dilakukan, tetapi rupanya sang murid melapor kepada orangtuanya dan keesokan harinya banyak warga yang datang berunjukrasa.

Orangtua murid bersama beberapa warga yang membawa benda tajam dan kayu balok bermaksud membalas memukul guru bersangkutan, serta meminta Aminuddin selaku kepala sekolah agar memindahkan guru bantu tersebut ke sekolah lain.

Melihat banyak warga yang datang dengan membawa benda-benda tajam dan kayu balok, para guru bantu dan murid-murid pun banyak yang ketakutan, tetapi Aminuddin berupaya menenangkan mereka.

“Saya menerima mereka dengan tenang. Saya minta mereka mengemukakan alasan kedatangan dan apa keinginan mereka. Setelah itu, barulah saya jelaskan duduk perkara sebenarnya. Mereka kemudian bisa menerima penjelasan dan permintaan saya. Seusai jam pelajaran dan sebelum pulang ke rumah, saya berkunjung ke rumah orangtua murid yang dipukul dan kembali meminta maaf kepada mereka. Alhamdulillah mereka mau memaafkan guru bantu saya dan persoalan menjadi selesai,” kenangnya.



Perpisahan





Aminuddin menjabat kepala sekolah di SD Inpres 182 Seppang selama sepuluh tahun. Ia kemudian dipindahkan menjadi Kepala Sekolah di SD Negeri 1 Terang-terang, Kecamatan Ujungbulu.

Setelah menerima SK tersebut, ia mengumpulkan semua guru bantunya dan meminta maaf kepada mereka atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah dilakukannya selama sekitar 10 tahun menjadi kepala sekolah.

Dia juga mengucapkan salam perpisahan dan meminta maaf kepada semua murid-muridnya pada upacara penaikan bendera di halaman sekolah. Suasana haru pun tak bisa dihindari. Setelah itu, ia kembali mendatangi dan pamit kepada warga yang tinggal di sekitar sekolah dan beberapa tokoh masyarakat setempat.

Salah seorang tokoh masyarakat meminta Aminuddin bertahan dan menolak SK perpindahannya ke sekolah lain, karena masyarakat masih menginginkan dirinya tetap menjabat kepala sekolah.

“Beliau bilang dirinya bersedia membayar berapa pun asalkan saya tetap tinggal sebagai kepala sekolah di SD Inpres 182 Seppang. Saya katakan, saya juga sebenarnya berat untuk pindah, karena merasa sudah menyatu dengan masyarakat setempat, tetapi aturan mengatakan seseorang hanya bisa menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah, paling lama dua periode atau sepuluh tahun. Akhirnya beliau bisa menerima,” papar Aminuddin.

Warga setempat bersama guru dan murid-murid kemudian mengadakan acara perpisahan di sekolah, tetapi bukan suasana gembira yang tercipta melainkan suasana haru, karena banyak guru, murid, dan warga setempat yang menangis atas kepindahan Aminuddin ke sekolah lain.

Setelah itu, Aminuddin menjalankan amanah sebagai Kepala Sekolah SD Negeri 1 Terang-terang, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1988, hingga pensiun pada tahun 1998. ***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama