Kepergian Seorang Pemimpin, Kerap Diiringi Kesedihan


Tak ada yang abadi. Sebab jika terjadi, itu sama dengan merebut atribut Allah yang paling asasi: keabadian. Suksesi dari Soekarno ke Soeharto, penuh lika-liku dan drama. Pun demikian ketika Habibie mengambil alih kepemimpinan nasional dari Soeharto. (Surya Darma)







------------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 12 April 2018


Kolom:


Kepergian Seorang Pemimpin, Kerap Diiringi Kesedihan


Oleh: Surya Darma


Tak ada yang abadi. Sebab jika terjadi, itu sama dengan merebut atribut Allah yang paling asasi: keabadian. Suksesi dari Soekarno ke Soeharto, penuh lika-liku dan drama. Pun demikian ketika Habibie mengambil alih kepemimpinan nasional dari Soeharto.
Jujur, ada keanehan yang hinggap di telingaku ketika di pertengahan tahun 1998, penyiar tv menyebut nama Habibie sebagai Presiden RI. Sudah terlalu lama telinga ini mendengar nama Pak Harto sebagai pemimpin Indonesia. 32 tahun.
Tapi ketika era reformasi masuk, nama baru silih-berganti mengisi tampuk kepemimpinan di negeri ini. Ketika menyaksikan Jokowi mendampingi SBY berjalan menuju mobil yang akan membawanya pergi meninggalkan istana, setelah berkantor di situ 10 tahun, suasana hening sempat hinggap sesaat, tapi tidak dramatis, apalagi sampai mengaduk emosi.
Kemarin (Senin, 09 April 2018, red), saya lewat depan kantor gubernur, di situ ada sambutan untuk Mendagri yang akan melantik Plt Gubernur Sulsel. Saya menghela nafas sesaat. Sebab saya sepertinya dilempar mengenang masa di mana saya berada di tengah pusaran pergumulan perebutan kemenangan 10 tahun lalu, antara dua paket peserta Pilgub (Sulsel, red), yang akhirnya berujung di meja pengadilan MA. Suasananya lumayan mencekam.
Di satu saat, kantor DPRD (Sulsel, red) di Urip Sumoharjo (Makassar, red) dikepung oleh ribuan demonstran yang riuh menuntut keadilan untuk paket tertentu. Kebetulan saat itu saya yang memimpin rapat paripurna. Di sebelah saya duduk SYL, wagub, mewakili Pak Amin Syam yang berhalangan hadir.
Di satu jeda, saat saya mendengar laporan bahwa demonstran berusaha masuk ke dalam kantor, SYL bisik kepada saya,
“Dinda, saya tidak suka dengan situasi seperti ini. Coba bayangkan, jika ada orang Bone mengamuk dan sempat mencederai seorang demonstran, akan terjadi eskalasi kekacauan. Demikian pula, jika orang Bone melakukan pembelaan, lalu ada orang Gowa menyerang rombongan mereka dan tertangkap, pasti kekacauan besar yang akan terjadi di propinsi ini.”
Saya hanya mengangguk. Setelahnya, saya hanya bisa berdoa kepada Allah semoga provinsi dan republik ini diselamatkan dari marabahaya yang akan memporak-porandakan sendi kesatuan warganya.
Tapi yang paling dramatis, tentu saja berita wafatnya Habibuna Muhammad SAW. Air mata kesedihan seketika tumpah di Tanah Madinah. Ada yang meraung, ada yang mencoba menahan genangan air di matanya, tapi di satu sudut kota, Umar disergap rasa panik hingga teriak-teriak mengancam akan menyakiti siapa saja yang berani mengatakan Rasulullah Muhammad SAW sudah wafat.
Kepergian seorang pemimpin, kerap diiringi kesedihan, tapi selalu saja diselingi kesadaran, toh penggantinya sudah terpilih. Tapi kepergian Rasulullah Muhammad SAW jelas menjejakkan perih mendalam, karena sosoknya yang tak tergantikan. Ia pergi dan tak ada lagi penggantinya. Beliau penutup barisan insan mulia, barisan Nabi dan Rasul. Mungkin alasan ini yang ada dalam benak Umar hingga menjadikannya panik hebat.
Manusia pergi dan datang. Jabatan dan pangkat sungguh sebuah situasi kesementaraan. Keabadian hanya milik Yang Maha Gagah lagi Perkasa.
Di perjalanan selanjutnya, mahkamah-Nya menanti semua, apa saja yang pernah kita perbuat, baik dalam posisi sebagai individu, maupun sebagai insan pengemban amanah publik.
Jabatan, pangkat, kekuasaan, memang membuat kita melambung ke atas. Di situ orang banyak kelihatan kecil. Tapi kadang kita luput menyadari bahwa orang banyak juga melihat kita kecil.
Keikhlasan, kasih sayang, kerja tak kenal pamrih, adalah jembatan yang bisa membuat kita mampu menerabas jarak dan sekat untuk saling memuliakan dan saling menguatkan bahu menghadapi tantangan hidup dan jaman menuju jalan keabadian. Nabi Muhammad SAW melakukan itu semuanya dengan cara yang sungguh sempurna.
Dan akhirnya, suara tangis membahana di langit Madinah di satu pagi saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Satu peristiwa suksesi tak tergantikan.
Kehilangan seseorang
Selalu membuatku sekali lagi
Menemukan Tuhan (anonim). (Senin, 09 April 2018)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama