Tas Berisi Uang Ketinggalan di Masjid


Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke sebuah tas kulit warna hitam di dekat salah satu tiang masjid. Saya segera mengambilnya dan langsung berpikir bahwa pasti ada jamaah yang lupa membawa pulang tasnya.






-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 27 Mei 2018


CERPEN:


Tas Berisi Uang Ketinggalan di Masjid


Karya: Asnawin Aminuddin

Tadi siang, saya singgah shalat lohor pada salah satu masjid di Malengkeri. Karena petugas / pengurus masjid terlambat datang, maka saya yang adzan. Sesudah adzan saya shalat sunat rawatif dua rakaat. Selesai shalat sudah banyak jamaah yang datang, termasuk petugas masjid.
Petugas masjid kemudian mendekati saya dan meminta saya jadi imam. Saya pun mengiyakan dan ia langsung iqamat. Selesai shalat dan berdoa, saya kembali shalat sunat rawatif dua rakaat.
Selesai shalat sunat dan melihat ke belakang, eh ternyata sudah tidak ada lagi jamaah. Maka saya pun berdiri dan melangkah keluar dari masjid.
Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke sebuah tas kulit warna hitam di dekat salah satu tiang masjid. Saya segera mengambilnya dan langsung berpikir bahwa pasti ada jamaah yang lupa membawa pulang tasnya.
Dengan maksud ingin mengembalikan tas tersebut kepada punyanya, maka saya terpaksa membukanya, siapa tau ada KTP atau surat-surat yang berisi data si pemilik tas.
Setelah saya buka, ternyata betul ada KTP. Juga ada semacam buku diary yang di dalamnya ada nama, alamat, dan nomor telpon. Namanya Pak Haji Ali, tinggal di Minasa Upa.
Saya langsung menelpon dan menanyakan alamat lengkapnya. Ternyata dia baru saja sampai di rumahnya dan tidak tahu kalau tasnya ketinggalan di masjid.
Saya bilang, tunggu saja nanti saya antarkan karena rumah saya di Gowa. Saat tiba di rumahnya, saya sempat kaget karena rumahnya ternyata besar, di garasi rumahnya ada tiga mobil terparkir.
Saya pencet bell di pintu pagar, dan tak lama kemudian keluar seorang bapak-bapak bertubuh besar dan kulit agak hitam, pakai songkok haji dan langsung tersenyum ke arah saya.
“Assalamu alaikum aji,” kata saya saat bapak tersebut sudah dekat dan hendak membuka pintu pagar.
“Wa'alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuhu. Daeng Nappa’ ya, masukki pak, aduh terima kasih banyak pak,” katanya dan langsung memeluk saya.
Dia kemudian memegang bahu saya dengan tangan kanannya dan membawa saya ke dalam rumahnya yang besar dan mewah.
“Silakan duduk pak. Daeng Nappa’ sekali lagi terima kasih banyak. Bapak baik sekali, jujur, dan sudah merepotkan mau mengantar tas saya yang ketinggalan di masjid. Di dalam tas saya ini, ada uang dua ratus juta dan sebenarnya Daeng Nappa’ bisa mengambilnya, tapi ternyata Daeng Nappa’ malah mencari saya dan mengembalikan uang saya,” kata Haji Ali.
“Ah, haram itu kalau saya lakukan, apalagi ini bulan Ramadhan aji,” kata saya.
“Terima kasih banyak Daeng Nappa’. Ummi, ummi, kesiniki’, ini adami Daeng Nappa’ kembalikan uangta’,” katanya dan tak lama kemudian keluarlah seorang ibu separuh baya memakai pakaian shalat warna hijau.
“Aduh Daeng Nappa’ terima kasih. Daeng Nappa’ baik sekali,” kata ibu aji, isteri Haji Ali.
Haji Ali kemudian mengeluarkan semua uang yang ada di tasnya dan ternyata berjumlah 20 ikat. Haji Ali kemudian memberikan satu ikat yang tentu saja berjumlah sepuluh juta rupiah kepada saya, tapi saya langsung menolaknya.
“Terima kasih banyak aji, saya ikhlas mengembalikan uang Pak Aji dan tolong jangan rusak keikhlasan saya,” kata saya tegas dan dengan wajah serius.
Haji Ali tampak kecewa, dan isterinya pun tampak keheranan.
“Tapi kami juga ikhlas Daeng Nappa’, tolong jangan kecewakan kami,” pinta Haji Ali.
“Mohon maaf aji, saya tidak bisa terima pemberianta’, saya pamit dulu, kebetulan masih ada urusanku. Sekali lagi minta maafka’ aji, terima kasih banyak atas sambutanta’ berdua,” kata saya dan langsung berdiri lalu menyalami keduanya.
“Terus-terang saya sangat kecewa, ternyata Daeng Nappa’ ini egois, hanya mau beramal sendiri dan tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain untuk beramal,” kata Haji Ali.
Mendengar ucapan tersebut, saya langsung duduk kembali karena kaget dan seperti tidak percaya mendengar ucapan Haji Ali.
“Bukan begitu maksudku’ aji, tolong kita’ mengerti kodong,” kata saya sambil memegang tangan Haji Ali.
“Daeng Nappa’ juga harus mengerti, Daeng Nappa’ tidak boleh egois,” kata Haji Ali.
Ibu aji yang sedari tadi diam, juga tampak gelisah. Suasana pun menjadi tidak nyaman. Kami bertiga terdiam. Tidak ada yang tau bagaimana mau melanjutkan pembicaraan.
Haji Ali kemudian masuk ke bagian dalam rumahnya, tidak tahu ke kamarnya atau ke mana. Maka tinggallah saya berdua dengan ibu aji, isteri Haji Ali.
“Pak Aji memang begitu orangnya Daeng Nappa’. Dia bisa tiba-tiba marah dan kasar bicaranya kalau sudah marah, tapi janganki’ ambil hati pak, biarkanmi dulu begitu,” kata ibu aji.
“Jadi bagaimana mi ini ibu aji, karena saya juga mau pulang, ada urusanku dulu mau kuselesaikan. Mama’nya di rumah juga menunggu, karena mau kuantar ke pasar,” kata saya.
Tiba-tiba Haji Ali muncul dari luar dan langsung duduk di samping saya.
“Jadi Daeng Nappa’ benar-benar tidak mau ambil uang saya?” tanya Haji Ali.
“Minta maafka’ aji, janganki’ kodong persulit keadaan,” kata saya.
“Siapa yang persulit keadaan? Daeng Nappa’ kan sudah menolong saya dan itu amalnya besar. Kami sangat berterima-kasih. Sekarang tolong kasi juga kami kesempatan untuk beramal, itu pun pasti nilai amalnya kecil dibandingkan amal Daeng Nappa’, tapi ternyata Daeng Nappa’ tidak mau memberi kesempatan itu,” kata Haji Ali.
“Iye’ Daeng Nappa, terimamaki’ itu uang terima kasih kami, tidak seberapa itu dibandingkan kebaikanta’ mengembalikan uang kami yang dua ratus juta,” timpal ibu aji.
“Bagi pak aji dan ibu aji memang tidak seberapa, tapi bagi saya uang sepuluh juta itu besar. Besar sekali malah. Saya tidak pernah punya uang sebanyak itu...,”
Belum selesai saya bicara, Haji Ali sudah memotong dengan mengatakan, “Jadi kenapa Daeng Nappa’ begitu sombong tidak mau menerima uang saya?”
“Justru itumi yang kukhawatirkan aji. Takut sekalika’ terimaki uangta’ karena khawatirka jangan sampai hilangki keikhlasanku, jangan sampai ada niat lain yang membuat saya mau mengembalikan uangta’ yang tertinggal di mesjid tadi,” kata saya.
“Tadi saya keluar dan memperhatikan, ternyata Daeng Nappa’ datang ke sini naik motor tua,” kata Haji Ali.
“Iye’ aji, motorku itu seumurki usia perkawinanku’. Dua puluh dua tahunmi umurna,” ungkap saya.
“Begini saja. Saya mau beli itu motor tuata’ dan kali ini janganki menolak,” kata Haji Ali.
“Memaksata’ ini kurasa aji. Mauki’ apaki itu motor tuaku’, kan tidak mungkinji kita’ pake,” kata saya.
“Tidak usah Daeng Nappa tanya. Yang penting, Daeng Nappa’ setuju saya beli itu motor tuata’,” kata Haji Ali.
“Begini saja aji, pulangma’ dulu. Saya diskusikan dulu sama isteri saya di rumah, nantipi saya telponki’ lagi. Ini juga sudah hampirmi ashar,” kata saya dan kembali berdiri menyamali Haji dan isterinya.
Keduanya kemudian mengantar saya sampai di garasi rumahnya, di tempat motor tua saya terparkir.

***

“Jadi bagaimana ini abah, mauki’ jualki motorta’ ke Haji Ali atau tidak? Jualmi tawwa, karena bukanji sebenarna motorta’ itu mau nabeli, maunaji berterima-kasih karena kita’ selamatkangi uangna,” kata isteri saya sesudah buka puasa.
Saya hanya diam. Isteri saya penasaran dan kembali bertanya.
“Cepatmaki’ tawwa putuskangi, karena pasti natunggu itu jawabanta’,” kata isteri saya.
Saya masih diam. Isteri saya jengkel dan langsung masuk kamar. Saya biarkan saja. Saya kemudian masuk kamar mandi untuk selanjutnya bersiap-siap pergi ke masjid shalat isya dan shalat tarwih.
Isteri saya masih di kamar ketika saya ke masjid. Setelah pulang shalat tarwih, isteri saya sudah menunggu dengan wajah ceria. Ia tampak begitu gembira dan memberikan senyuman yang mungkin salah satu senyuman terindahnya yang pernah kulihat.
Bukan hanya tersenyum, ia malah langsung memeluk saya setelah menjawab salamku kemudian memegang bahuku dengan tangan kanannya dan membawaku masuk ke kamar tidur kami.
Persis seperti gaya Haji Ali tadi siang ketika saya ke rumahnya dan ia memegang bahuku dengan tangan kanannya kemudian membawa saya ke dalam rumahnya yang besar dan mewah.
“Abah, tadi ada telponna isterina Haji Ali. Dia carikki’, saya bilang pergi tarwih. Terus naceritami pertemuanta’ tadi siang di rumahna. Terakhir dia minta nomor rekeningta’, karena Haji Ali mau transfer uang untuk harga motorta’, jadi saya kasiki nomor rekeningta’,” tutur isteri saya sambil tersenyum dan memijat-mijat bahuku.
Saya tetap diam dan kemudian membaringkan tubuh di tempat tidur, karena tiba-tiba kepala saya terasa berat.

Gowa, 25 Mei 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama