------
PEDOMAN KARYA
Senin, 26 November 2018
Biografi Sahban Liba (4):
Dipanggil Mengaji
Setiap Ada Orang Meninggal
Penulis: Hernita Sahban Liba
Sahban bukanlah anak pertama, bukan pula
anak bungsu yang biasanya mendapat keistimewaan di tengah keluarga, termasuk
dari kedua orang tua. Ia adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara.
Anehnya–dan itulah yang membuat Sahban merasa sangat bahagia–dirinyalah yang
sering diajak oleh ayahnya, Ambe’ Suba, jika sang ayah bepergian.
Salah satu kebiasaan ayahnya yaitu pergi
ke pasar pada setiap hari Ahad. Dan saat ke pasar itulah, Ambe’ Suba sering
membawa serta Sahban, yang secara tidak langsung sekaligus dilatih menjadi
pengawal, dilatih menjadi orang dewasa, dan diajari berbagai hal tentang
kehidupan di tengah masyarakat.
Pengalaman yang diperoleh Sahban dengan
seringnya ia dibawa serta oleh ayahnya jika bepergian, tentu berbeda
dibandingkan pengalaman yang diperoleh saudara-saudaranya, karena wawasan orang
yang sering melihat dunia luar tentu berbeda dengan wawasan orang yang lebih
banyak mengurung diri atau beraktivitas di lingkungan sekitar rumah.
Pepatah mengatakan, jauh berjalan banyak
dilihat, lama hidup banyak dirasa. Karena sering diajak serta oleh ayahnya,
maka wawasan, pengetahuan, dan pengalaman Sahban, jauh lebih luas dan jauh
lebih banyak dibandingkan anak-anak lain seusianya.
Sejak kecil, Sahban sudah sering dibawa
serta oleh ayahnya apabila sang ayah bepergian. Sahban sering dibawa ke pasar
pada hari Ahad. Pasar yang sering dikunjungi yaitu pasar di kampung Kira dan
pasar di kampung Baroko.
Tentu saja mereka tidak berjalan kaki.
Ayah dan anak itu pergi ke pasar dengan berkuda. Ya, kuda kesayangan dan kuda
yang selalu diberi makan oleh Sahban, yang diberi nama Cabbo’. Bepergian dengan
berkuda kesayangannya semakin menambah kebahagian Sahban, apalagi ia berkuda
bersama ayahnya.
Saat tiba di pasar, sang ayah memberi
tugas Sahban barang dagangan, sementara ayahnya pergi berkeliling pasar untuk
mencari kopi yang akan ditukar dengan dengan kain. Tugas menjaga barang
dagangan itu juga merupakan bagian dari latihan dan pemberian pengalaman dari
sang ayah kepada Sahban, terutama berlatih menjaga amanah.
Selain sering diajak ke pasar, Sahban juga kerap diajak oleh ayahnya pergi ke tempat yang jauh, dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, termasuk menyeberang sungai dan mendaki gunung, untuk mengaji apabila ada keluarga atau orang kampung yang berduka.
Salah satu adat kebiasaan orang Kalosi dan
sekitarnya yaitu apabila ada orang yang meninggal dunia, maka sebelum jenazah
dibawa ke kuburan untuk dimakamkan, terlebih dahulu diadakan acara mengaji atau
pembacaan al-qur’an, baik oleh dewasa, maupun oleh remaja dan anak-anak.
Ambe’ Suba, ayah Sahban, adalah salah
seorang yang sering dipanggil mengaji apabila ada orang yang meninggal dunia.
Dan sang ayah lebih sering mengajak Sahban untuk ikut bersamanya dibandingkan
anak laki-lakinya yang lain.
Sahban memang sudah pandai mengaji, tetapi
belum mampu mengaji cepat sebagaimana biasanya orang yang mengaji di tempat
orang kematian. Meskipun begitu, ayahnya lebih sering membawanya ke rumah duka
apabila ada orang kematian, dibandingkan saudara-saudara laki-lakinya yang
lain.
Di rumah duka sebelum orang mati dibawa ke
kuburan, orang dewasa berbagi tugas membaca al-qur’an masing-masing satu juz,
sedangkan remaja dan anak-anak biasanya disuruh mengaji sekadar untuk
meramaikan suasana.
Jika ada anak-anak atau remaja yang salah
atau kurang tepat bacaannya, maka orang dewasa atau orang tua yang mendengarnya
biasanya langsung menegur dan membetulkan bacaanya.
Sahban yang memang belum lancar cara
membacanya, juga termasuk yang sering ditegur, bahkan tak jarang diminta
berhenti mengaji agar tidak mengganggu orang dewasa yang sedang mengaji.
Meskipun demikian, pada saat orang dewasa beristirahat mengaji, anak-anak dan
remaja tetap diberi kesemmpatan kembali mengaji, agar bacaan mereka menjadi
lebih lancar.
Kesempatan itulah yang dimanfaatkan oleh
Sahban dan anak-anak lainnya untuk memperlancar bacaannya. Lama kelamaan ia
semakin lancar mengaji dan akhirnya dianggap sudah bisa diberi kesempatan
mengaji bersama orang dewasa pada setiap ada orang yang meninggal dunia. Itu
terjadi pada saat ia telah duduk di bangku kelas VI sekolah dasar.
Maka sejak kelas VI SD, Sahban sudah
sering dipanggil mengaji setiap ada orang yang meninggal dunia di Kalosi dan
sekitarnya. Tentu saja ia sangat bersyukur dan bangga, karena latihan secara
tidak langsung dan praktek lapangan yang diberikan oleh ayahnya berhasil ia
tunaikan.
Editor: Asnawin Aminuddin
------
