Meninggalkan Kampung Halaman, Merantau ke Makassar


Sahban ingin menjadi seseorang. Ia ingin menjadi orang yang memiliki kelebihan dan dengan kelebihan itu, ia berharap dapat memberi manfaat bagi orang lain, baik bagi keluarga dekatnya, maupun kepada orang lain. Ia tak ingin seperti ayahnya, Ambe’ Suba, dan ibunya, Indo Empa, yang hidupnya dirasakan monoton sebagai pedagang.



-----

PEDOMAN KARYA
Rabu, 28 November 2018


Biografi Sahban Liba (5):


Meninggalkan Kampung Halaman, Merantau ke Makassar



Penulis: Hernita Sahban Liba


Tempaan dari sang ayah, guru sekolah dan guru mengaji, serta tempaan lingkungan sosial membuat Sahban kecil lebih cepat dewasa dibandingkan anak-anak seusianya. Wawasannya pun menjadi lebih terbuka dan kemudian ada kegelisahan yang muncul dalam dirinya.

Ya, ia merasa galau. Galau dengan dirinya. Galau memikirkan masa depannya. Ia sudah kelas VI SD (di Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang) dan sebentar lagi akan tamat. Dalam dirinya ada godaan untuk merantau ke Makassar. Ia merasa tertantang untuk melanjutkan pendidikannya di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan itu.

Godaan dan tantangan itu semakin kuat karena banyak pemuda desa yang masuk hutan bergabung dengan Qahhar Mudzakkar yang berjuang mendirikan Negara Islam di Sulawesi Selatan. Di antara pemuda yang bergabung itu, termasuk kakak kandungnya, Tangko.

Sebenarnya kakaknya juga mengajak Sahban untuk bergabung, tetapi Sahban menolak tawaran itu. Ia tak ingin mengikuti jejak langkah kakaknya. Waktu itu, sekitar bulan April 1951, kakaknya yang bernama Tangko sudah bergabung dengan pasukan Qahhar Mudzakkar. Sahban tahu, sebagian pemuda itu bergabung dengan pasukan Qahhar Mudzakkar karena ingin mendapatkan pekerjaan.

Buktinya, ketika pemerintah menawarkan kepada para pemuda untuk menjadi anggota tentara pemerintah (Tentara Nasional Indonesia), para pemuda pun ramai-ramai menerima tawaran tersebut, termasuk pemuda yang sudah bergabung dengan pasukan Qahhar Mudzakkar. Mereka turun gunung, mereka keluar dari hutan untuk bergabung dengan tentara pemerintah.

Sahban yang sudah beranjak remaja juga sudah merasa jenuh dengan kehidupannya yang dirasakan sangat monoton. Kehidupan di desa begitu-begitu saja. Setiap hari menjalani hidup tanpa ada perubahan sama sekali. Tanpa ada kemajuan sama sekali.

Ia benar-benar galau. Ia ingin melihat daerah lain. Ia ingin mencari tantangan baru. Ia tak ingin menjalani hidup hingga hari tua di kampung yang jauh dari keramaian kota dan jauh dari berbagai macam perubahan dan tantangan.

Sahban ingin menjadi seseorang. Ia ingin menjadi orang yang memiliki kelebihan dan dengan kelebihan itu, ia berharap dapat memberi manfaat bagi orang lain, baik bagi keluarga dekatnya, maupun kepada orang lain. Ia tak ingin seperti ayahnya, Ambe’ Suba, dan ibunya, Indo Empa, yang hidupnya dirasakan monoton sebagai pedagang.

Kegalauan pun memuncak dan dengan sangat berhati-hati, serta penuh rasa hormat, ia mengungkapkan curahan hatinya kepada Ambe’ Suba dan Indo Empa. Kepada ayah dan ibunya yang dia sangat hormati itu, Sahban mengungkapkan keinginannya untuk merantau ke Makassar.

Ia menyatakan keinginannya melanjutkan pendidikannya di Kota Anging Mammiri dan meninggalkan kampung halaman beserta keluarganya demi masa depan yang lebih baik.

Ayah Marah, Ibu Menangis

Sayangnya, keinginan tulus itu tidak mendapat sambutan positif dari sang ayah. Ambe’ Suba marah dan tidak mengijinkannya, sementara ibunya hanya terdiam sambil mengelus-elus kepala Sahban.

Kemarahan sang ayah ternyata tidak menyurutkan niat dan tekad Sahban. Ia sudah bertekad pergi merantau ke Makassar demi masa depan yang lebih baik. Ia tak peduli dengan kemarahan dan larangan ayahnya.

Sahban merasa dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, terutama dari tempaaan sang ayah secara langsung maupun tidak langsung, itu sudah cukup sebagai bekal untuk menempuh perjalanan dan tantangan baru.

Bekal ilmu yang diperoleh dari guru mengaji di surau, antara lain dengan menamatkan bacaan al-qur’an 30 juz, juga menjadi bekal tambahan bagi seorang Sahban remaja. Ia pun bertekad melakukan hijrah. Ya, ia ingin berhijrah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW belasan abad yang lalu, ketika beliau dan para pengikutnya hijrah dari Mekah ke Madinah untuk berjuang meraih suskes menegakkan agama Islam.

Prinsip itulah yang terus-menerus dipegang kuat oleh Sahban remaja. Ia merasa bekal dasar ilmu agamanya dan berbagai pengalamannya selama berada di kampung, sudah cukup untuk mulai merambah kehidupan liar di luar sana.

Tangisan Indo Empa dan kemarahan Ambe’ Suba pun tidak cukup kuat untuk menghentikan langkah Sahban remaja meneruskan cita-citanya.

Ada satu pesan Indo Empa yang selalu diingatnya, “Anakku, kau sudah tamat mengaji 30 juz. Gunakanlah ayat-ayat al-qur’an sebagai pendampingmu dalam suka dan duka. Indo percaya bahwa dengan membaca al-qur’an setiap selesai shalat subuh, insya Allah kau akan selalu ditemani Allah yang maha kuasa.”

Diiringi deraian air mata sang ibu dan kegalauan hati sang ayah, serta pandangan mata penuh makna dari saudara-saudaranya, Sahban pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia pergi merantau ke Makassar, kota yang belum pernah dikunjunginya sama sekali. Ia tak ingin larut dalam kesedihan ibunya. Ia tak ingin ikut larut dalam kegalauan hari sang ayah.

Hanya satu tekad yang membara di hatinya. Ia harus pergi dan ia harus sukses dalam perantauannya. Dalam hati ia berkata, “Selamat tinggal kampungku. Selamat tinggal ibuku. Selamat tinggal ayahku. Selamat tinggal saudara-saudaraku. Doakan agar aku sukses di perantauan.” (bersambung)

Editor: Asnawin Aminuddin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama