Masuklah Islam Secara Kaffah


Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqarah/2: 208)





----------

PEDOMAN KARYA
Jumat, 10 Januari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-Orang Beriman (06):


Masuklah Islam Secara Kaffah


Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh Makassar / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqarah/2: 208).

Dapat dirasakan betapa Allah SWT mengajak orang-orang beriman menggunakan lubuk hatinya yang jernih dalam melihat sisi kehiduan untuk menetapkan keteguhan hatinya berada dalam batasan (koridor) yang senatiasa dalam bingkai jalan lurus, jalan keselamatan.

Ada dua pilihan bersamaan dalam seruan ini, yakni masuk Islam secara keseluruhan (totalitas) sekaligus tidak mengikuti langkah syaithan, atau jika tidak ber-Islam secara totalitas, artinya orang beriman itu sedang mengarah ke jalan mengikuti syaithan.

Allah SWT menegaskan dalam hal ini bahwa tidak ada pilihan transisi antara keduanya. Begitu pula yang Allah SWT sampaikan dalam firman-Nya terkait perlindungan-Nya, bahwa jika orang-orang itu beriman, maka pelindungnya adalah Allah SWT, tetapi bagi orang-orang yang kafir pelindungnya adalah thagut (syaithan dan kroninya).

Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut (syaithan), yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah/2: 257).

Sayyid Quthb memberi uraian dalam tafsir Fie Zhilalil Qur’annya bahwa;”Tidak ada posisi antara, tidak ada manhaj (metode ber-Islam atau pilihan jalan) pertengahan antara manhaj Islam dan manhaj syaithan, tidak ada langkah yang separuhnya Islam dan separuhnya syaithan. Yang ada hanya haq atau bathil, petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliah, manhaj Allah atau penyimpangan syaithan.

Begitulah sapaan Allah SWT memanggil orang-orang beriman untuk masuk Islam secara keseluruhan dan tidak mengikuti langkah-langkah syaithan karena syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah, kata khuthuwat asy-syaithan (langkah-langkah syaithan) mengandung isyarat bahwa syaithan dalam menjerumuskan manusia menempuh jalan bertahap, langkah demi langkah, menyebabkan yang dirayu tidak sadar bahwa dirinya telah terjerumus ke jurang kebinasaan.

Dari latar belakang turunnya ayat ini, salah satu keterangan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bahwasanya Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini, mengenai orang-orang ahlul kitab yang telah beriman kepada Rasulullah s.a.w. yang berkata:

“Ya Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang sangat kami muliakan. Bolehkah kiranya kami tetap memuliakan hari itu? Dan kitab Tauratpun kitab Allah juga, sebab itu biarkanlah kami kalau malam-malam tetap sembahyang secara Taurat.

Pada kondisi seperti ini turun ayat yang mengatakan bahwa kalau masuk Islam, hendaklah masuk secara keseluruhannya.

Menurut Buya Hamka, jika kata “keseluruhannya” ini disandarkan kepada “as-silmi”, maka ayat ini merupakan seruan secara keseluruhan orang-orang yang beriman kepada Allah, supaya kalau masuk Islam hendaknya jangan masuk sebagian-sebagian, tetapi masuklah secara keseluruhannya.

Melihat konteks ayat tersebut yang terlebih dahulu menyeru; “wahai orang-orang yang beriman!”, maka penafsiran dari Buya Hamka tersebut agaknya akan lebih mudah dipahami.

Bahwasanya “kaffatan” disandarkan kepada “as-silmi”, al-Islam. Tegasnya jika seseorang telah mangaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaklah seluruh isi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi diakui dan berupaya sekuat mungkin mengikutinya.

Islam haruslah menjadi pedoman hidup dalam segala kondisi dan jangan pernah dikondisikan. Jangan memilih aturan Islam hanya ketika dirasakan bahwa dengan Islam seseorang akan mendapat kedudukan, atau berbagai janji kebutuhan kehidupan yang sarat dengan materi --lalu mengesampingkan nilai hakiki-- sehingga yang terkejar hanya kebutuhan keduniaan saja.

Adalah hal yang harus diyakini bahwa; karena Allah adalah Tuhan (Rabb) yang menciptakan manusia, maka Allah pula yang lebih tahu tentang akan bagaimana dan harus diapakan manusia itu agar hidup dalam keteraturan.

Agar manusia hidup dalam kemaslahatan, maka Allah menurunkan aturan-aturan hidup yang telah diuraikan secara jelas dan lengkap di dalam al-Qur’an, dan mengutus seorang “sosok Qur’ani” Muhammad Rasulullah s.a.w, sebagai “penafsir sekaligus penafsiran”– dalam ucapan, sikap dan perilaku; aqidah, ibadah, syariah, mu’amalah duniawiyah–dari kandungan al-Qur'an tersebut.

Hukum-hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an hendaknya jangan pernah diubah, yakinilah bahwa aturan Allah-lah yang paling benar, jangan sekali-kali dibantah!

Bahwa orang-orang yang beriman belum mampu menjalankan semua perintah itu, itulah kelemahannya dan cukup katakan ‘belum mampu’, tetapi jangan pernah diakui bahwa ada suatu peraturan lain yang lebih baik dari Islam (Al-Qur’an dan Sunnah).

Ketahuilah bahwa hanya dengan menyiapkan diri dibimbing oleh Allah SWT maka manusia dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya, dan dengan membiarkan diri terjerumus ke dalam bimbingan thaghut (syaithan dan kroninya), maka manusia akan dikeluarkannya dari cahaya ke dalam kegelapan sebagaimana telah dinyatakan dalam ayat 257, Surah Al-Baqarah yang telah disebutkan pada uraian sebelumnya.

Karena itu:“Janganlah kamu mengikuti langkah syaithan, sungguh syaithan itu bagi kamu adalah musuh yang nyata.

Marilah senantiasa membina diri, agar sampai kapan pun, hingga akhir hayat, kita tetap berpegang teguh kepada Al-Islam; “walaa tamuutunna illa wa antum muslimumuu”, jangan kamu mati kecuali kamu betul-betul dalam keadaan berserah diri kepada-Nya. (bersambung)

--------
Artikel sebelumnya:

Bagian 6 : Perintah Berpuasa



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama