Sekali Lagi Mengenai Larangan Riba


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali Imran/3: 130)






---------

PEDOMAN KARYA
Rabu, 29 Januari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (15):


Sekali Lagi Mengenai Larangan Riba



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali Imran/3: 130)

Sebagaimana yang telah diuraikan ketika menjelaskan ayat 278 Surah Al-Baqarah, bahwa pengertian riba sendiri adalah tambahan pada modal atau pokok yang dipinjamkan dan harus diterima oleh orang yang memberi utang sesuai dengan jangka waktu peminjaman dan persentase yang ditetapkan.

Sampai pada kalimat ini saja sebenarnya sudah dapat dipahami bahwa transaksi riba itulah yang dilarang oleh Allah SWT, jadi bukan karena berlipat gandanya.

Menurut keterangan yang diberikan oleh Al-Faryabi yang bersumber dari Mujahid, bahwa orang-orang dulu berjual beli dengan jalan kredit. Pada masa pembayaran tiba, dan tidak mampu membayar, maka bertambah lagi bunganya dan ditambahnya pula jangka waktu pembayarannya, maka turunlah ayat ini.

Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa ta’kulurribaa adh’aafan mudharaa’afatan.

Dalam penjelasan beberapa tafsir termasuk Al-Azhar, Buya Hamka mengatakan bahwa riba semacam ini disebut riba nasi’ah atau riba memberi tempo. Jika telah jatuh tempo dan si peminjam belum dapat melunasi utangnya, maka bertambah berlipat gandalah utangnya itu, hingga pada akhirnya bukan meringankan orang yang berutang melainkan justru mencekiknya, sedang pihak yang berpiutang semakin kaya tanpa memeras keringat sendiri melainkan mengisap orang lain.

Dalam ayat 130 Surah Ali Iman ini terdapat kata adh’afan mudha’afah yang bermakna berlipat ganda. Adh’afan adalah bentuk jamak dari kata dhi’f yang berarti serupa, sehingga yang satu menjadi dua.

Jika selembar kertas dilipat maka kertas itu akan menjadi dua bidang yang dibatasi oleh garis lipatan dan jika lipatan pertama itu dilipat lagi, maka akan didapatkan empat bidang kertas yang dibatasi oleh dua garis lipatan.

Jadi, makna berlipat ganda (adh’afan mudha’afah) dalam kalimat ini adalah dari satu menjadi dua dan dari dua menjadi empat. Praktek riba yang dilakukan oleh umat di zaman sebelum Rasulullahs.a.w. hingga ayat ini diturunkan adalah dengan cara berlipat ganda itu.

Ayat yang tengah diuraikan ini menegaskan larangan memakan riba dengan cara berlipat ganda itu. Namun para ahli tafsir menjelaskan bahwa riba dilarang dalam ayat ini bukan karena berlipat gandanya, artinya riba tanpa lipat gandapun tetap haram.

Dengan demikian, berlipat ganda bukan syarat yang terpenuhi untuk menjadi haram. Ini hanya menunjukkan tabiat orang-orang pemakan riba pada saat itu dan cara mereka menggandakan hartanya.

Nah, Allah SWT menyentuh hati orang-orang yang sudah menyatakan dirinya beriman agar tidak memakan riba yang berlipat ganda itu, karena itu adalah perbuatan yang aniaya (zalim) bagi orang yang seharusnya diringankan bebannya dengan cara yang baik (adil) bahkan lebih baik lagi (ihsan) misalnya –karena yang berutang itu tidak mampu,-- dibebaskan dari utangnya.

Lalu Allah SWT melanjutkan sapaan-Nya kepada orang beriman itu dengan firman-Nya: “Bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Oleh karena orang beriman itu sudah memahami bahwa maka riba adalah sifat zalim yang jauh dari sifat adil apalagi ihsan, maka meninggalkan riba atas pemahaman dan kesadaran seperti ini adalah bukti taqwa kepada Allah SWT, dan meninggalkan riba atas dasar taqwa ini dijanjikan oleh Allah SWT mendapatkan keberuntungan, tentunya keberuntungan dunia berupa harta yang diridahi dan diberkahi, serta keuntungan akhirat berupa pahala dan ganjarannya dari Allah SWT.

Kemudian Allah SWT melanjutkan sapaan kasih saying-Nya: “Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir” (QS Ali Imran/3: 131).

Apa makna ayat ini? Ini bermakna ancaman bagi orang pelaku riba itu dengan siksa neraka, yang sejatinya neraka itu hanya disediakan untuk orang kafir, namun karena riba itu, maka pelakunya ikut bersama orang kafir ke dalam neraka.

Imam Abu Hanifah dalam membaca ayat ini berkata: “Inilah ayat yang menakutkan dalam Al-Qur’an, karena Allah mengancam orang-orang beriman terjerumus ke dalam neraka yang –sejatinya-- disediakan untuk orang-orang kafir”.

Demikian kata Imam Abu Hanifah yang dikutip oleh Quraish Shihab dari tafsir Al-Kasysyaf. Wahai orang beriman! Jangan makan riba karena rupanya tidak ada tempat yang tersedia di dalam surga bagi pemakan riba dan malah mengambil tempatnya orang kafir di neraka. (bersambung)

-----------
Artikel sebelumnya:

Bagian 15: Jangan Berteman Setia dengan Orang-orang di Luar Kalanganmu

Bagian 14: Bertakwalah kepada Allah dengan Sebenar-benarnya Takwa kepada-Nya

Bagian 13: Jangan Mengikuti Ahli Kitab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama