Hukum Pers dan Pembelaan Wartawan (1)


Rifai Manangkasi saat membawakan materi “Hukum Pers dan Pembelaan Wartawan pada “Penyegaran Jurnalistik PWI Sulsel, di Gedung PWI Sulsel, Jl AP Pettarani No 31, Makassar, Rabu, 27 Juli 2011. (ist)







-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 03 Mei 2020


KOLOM JURNALISTIK



Hukum Pers dan Pembelaan Wartawan (1)


Oleh: Rifai Manangkasi


Saya bersama tiga wartawan senior di PWI Provinsi Sulsel, mengikuti Pelatihan Khusus AHLI dari Dewan Pers. Menjadi salah satu tugas dari alumni ini adalah menghindarkan wartawan atau pers dari semua sanksi hukum, baik sanksi pidana maupun sanksi perdata.

Tentu saja yang dimaksud adalah pidanaan atau sanksi hukum yang terjadi karena akibat pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan berita dengan mempergunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 1 angka 1).

Lebih kongkrit adalah dimaksud tugas atau kegiatan jurnalistik adalah semua aktivitas yang berkaitan dengan pemberitaan melalui media yang diakui sebagai produk pers.

Menghindarkan wartawan dari delik pers harus dengan cara mematuhi kaidah hukum dan senantiasa menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Kode Etik Jurnalistik harus menjadi instrumen peniadaan sifat melawan hukum.

Perlu disadari dan diingat secara sungguh-sungguh bahwa perkara wartawan, adalah ketika sedang atau tidak sedang menjalankan tugas kewartawanan.

Perkara wartawan dapat terjadi disebabkan cara-cara menjalankan aktivitas wartawan. Tidak sedikit kesalahan dialamatkan kepada wartawan dengan sangkaan melanggar KUHP, utamanya Pasal 335, berkaitan cara-cara menjalankan aktivitas kewartawanan, karena ada unsur memaksa dengan cara-cara tidak menyenangkan.

Pun, tidak sedikit wartawan dapat diperkarakan karena “menabrak” hak privasi, juga karena cara menjalankan tugas-tugas jurnalistik.

Kekerasan Terhadap Wartawan

Hukum pers atau hukum media atau hukum-hukum lain yang dapat menyentuh dan menyeret media,  perkembangannya sangat pesat. Hal ini terjadi disebabkan karena persoalan hukum yang dihadapi media semakin kompleks. Perkara-perkara sengketa pers juga berlintas hukum dengan berbagai macam undang-undang yang memuat ketentuan pidana yang bisa dijadikan dasar dakwaan terhadap wartawan.

Selain KUHP seperti pasal 163, pasal 207, pasal 310 dan pasal 335. Ketentuan pidana terdapat juga dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang penyiaran, UU Pelayanan Publik, UU Pornografi, Undang-Undang Keamanan Negara, serta UU Rahasia Negara. Dan, dipastikan ke depan masih akan datang berbagai undang-undang yang dapat menyeret wartawan ke pusaran hukum.

Sejumlah persolan akan meningkatkan perkara wartawan di antaranya, datang dari wartawan sendiri yang acap kali lalai atau sengaja tidak mengindahkan tuntutan profesionalisme sopan santun dalam menjalankan tugas kewartawanan, seperti tidak memaksa, dan menghormati privaci seseorang.

Kewajiban memenuhi pemberitaan seimbang yang diatur KEJ, tiidak menghakimi, tidak independen atau terseret kehendak orang lain seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kepolisian, dan kejaksaan memasuki wilayah orang lain tanpa izin menyaksikan penggeledahan.

Tingkah laku melanggar tersebut, bukan semata-mata didasarkan “semangat kewartawanan” tetapi acap kali didasari untuk mematuhi kehendak pemilik perusahaan pers, baik dalam usaha persaingan maupun karena partisan.

Akibat tidak mengindahkan tuntutan etika dan hukum pers, atau penguasa semakin terganggu tidak sedikit tindak kekerasan dialami wartawan terus terjadi, bahkan ada yang meninggal dunia.

Ini terjadi sebab di antara pemicu sejumlah tindakan kekerasan berawal dari wartawan sendiri. Tapi, menjadi kekeliruan untuk secara langsung menghubungkan kekerasan terhadap wartawan sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.

Sangat  penting menyadari kemungkinan hubungan atau persoalan kekerasan terhadap wartawan dengan kemerdekaan pers. Harus tetap profesional yaitu dengan tetap mengetahui pelaku kekerasan, motif sebab kekerasan, sumber kekerasan dan lain-lain. Mengetahui duduk persoalan yang jelas, akan membantu wartawan menempatkan perkara apakah perkara pers atau bukan.

Sumber Sengketa

Sengketa pers adalah persengketaan yang timbul atau berkaitan dengan aktivitas atau pelaksanaan tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan. Sengketa yang melibatkan pers tetapi bukan dalam kaitan aktivitas kewartawanan, bukan termasuk sengketa pers.

Contohnya, wartawan yang memeras, menipu atau melakukan kebohongan dengan maksud menguntunggkan diri sendiri, bukan perbuatan berakibat terjadinya sengketa pers.

Demikian pula perbuatan melawan hukum, perbuatan wanprestasiyang dilakukan wartawan tertentu, tetapi tidak dalam kaitan pelaksanaan tugas jurnalistik juga tidak masuk dalam sengketan pers.

Perbuatan-perbuatan yang bukan perbuatan tugas-tugas kewartawanan tidak dilindungi etika jurnalistik dan hukum pers. Terhadap perbuatan di luar tugas jurnalistik berlaku ketentuan hukum umum diluar ketentuan etika pers dan hukum pers.

Suatu sengketa pers terjadi disebabkan dua hal. Pertama, pers sebagai sumber sengketa, yaitu bersumber dari pemberitaan yang dimuat dalam media pers sebagai karya jurnalistik, dengan pelaku pers adalah wartawan, redaksi atau perusahaan pers atau dapat disebut pemberitaan sebagai hasil pelaksanaan tugas jurnalistik. Sebagai sumber sengketa, pers (wartawan) adalah tergugat, terdakwa atau termohon.

Kedua, pers sebagai korban, terutama berkaitan dengan hambatan-hambatan atau halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan dalam menjalankan tugas kewartawanan. Atau lebih kongkrit adalah pers sebagai korban dari persoalan kemerdekaan pers. (bersambung)

-------
Artikel bagian 2:

Hukum Pers dan Pembelaan Wartawan (2-habis) 
-------
Keterangan:
-      Memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia tanggal 3 Mei 2020, kami menampilkan tulisan dari wartawan tentang pers, dan kami mengangkat makalah yang dibawakan oleh almarhum Rifai Manangkasi pada “Penyegaran Jurnalistik PWI Sulsel, di Gedung PWI Sulsel, Jl AP Pettarani No 31, Makassar, Rabu, 27 Juli 2011
-     Rifai Manangkasi waktu itu menjabat Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Pembelaan Wartawan dan Ahli dari Dewan Pers di Sulsel
-     Semoga tulisan ini bermanfaat, terima kasih. (red)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama