Larangan Mengambil Pemimpin yang Menjadikan Islam sebagai Bahan Ejekan


Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil jadi auliyâ’, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al Maidah/5: 57)



-----------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 27 Mei 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (36):


Larangan Mengambil Pemimpin yang Menjadikan Islam sebagai Bahan Ejekan



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil jadi auliyâ’, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Al Maidah/5: 57)

Sebelum membahas ayat ini, terlebih dulu ditegaskan kembali makna auliyâ’ sebagaimana telah dijelaskan oleh beberapa ahli tafsir dan dikutipkan ketika menguraikan ayat 114 dari Surah An-Nisa, dimana oleh Quraish Shihab, kata auliya’ dimaknai; ‘teman-teman akrab tempat menyimpan rahasia, pembela, dan pelindung’.

Ibnu Katsir memaknai kata auliya’ dengan; ‘kawan dekat dan penasehat, serta tempat menyimpan rahasia’. Sayyid Quthb  memaknai auliya’ sebagai; ‘wali, pelindung, kekasih dan kawan setia’ dan Buya Hamka memaknai kata auliya’ dengan ‘pemimpin’.

Sehingga kalau makna-makna ini dirangkai ke dalam ayat tersebut, dapatlah dibangun suatu kalimat pernyataan bertingkat (superlatif) berikut ini: “Jangan kamu mengambil orang kafir sebagai teman-teman akrab tempat menyimpan rahasia, jangan pula jadikan mereka sebagai kawan setia, sebagai kekasih, sebagai pembela, sebagai pelindung, sebagai wali, apalagi sebagai pemimpin.

Kali ini Allah SWT kembali menggugah pengakuan keimanan sesorang hamba yakni dengan mengajak mereka untuk tidak menjadikan orang-orang yang membuat agama –Islam- jadi buah ejekan, yaitu di antara orang-orang yang telah diberi Kitab (ahlul kitab) sebelum Rasulullah s.a.w, dan orang-orang yang kafir  atau orang-orang musyrik, sebagai auliyâ’, sebagaimana pengertian auliyâ tersebut.

Sayyid Quthb dalam fî Zhilâlil Qur’an menggambarkan bahwa: “Inilah perasaan yang meliputi setiap orang yang memiliki harga diri sebagai mukmin, yakni orang yang tidak melihat dirinya mulia apabila agamanya dihina orang, ibadahnya dihina orang, shalatnya dihina orang, dan keberadaannya ketika menghadap Tuhannya dijadikan bahan ejekan dan permainan.

Agama Islam menyuruh pemeluknya agar melakukan toleransi dan melakukan pergaulan yang baik dengan Ahli Kitab, khususnya mereka yang mengatakan; “sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasara.” (QS Al-Maidah/5: 82, pen.)

Akan tetapi, Al-Qur’an melarang orang-orang beriman memberikan kesetiaan dan loyalitas kepada mereka semua. Mengapa?

Karena toleransi dan bergaul dengan baik itu adalah masalah akhlaq dan perilaku, sedangkan masalah wala’ ‘loyalitas’ adalah masalah aqidah dan masalah penataan ummat, sungguh ini merupakan persoalan yang tegas dan pasti, serta tidak bisa dilunturkan.

Allah tidak menerima kecuali keseriusan dan kesungguhan yang layak bagi seorang muslim dalam urusan agamanya.” Demikian disadurkan dari Sayyid Quthb.

Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan menuturkan: “Jika kamu mengetahui –wahai orang-orang yang beriman- keadaan orang-orang kafir dan kerasnya permusuhan mereka kepadamu dan kepada agamamu.

Maka barang siapa tidak memusuhi mereka –yang memusuhi kamu- itu menunjukka bahwa Islam baginya murah. Dia tidak peduli terhadap orang yang menghina atau melecehkannya dengan kekufuran dan kesesatan, -maka orang-orang beriman itu dianggap- tidak sedikitpun memiliki harga diri dan kemanusiaan.

Bagaimana kamu mengklaim agama yang lurus pada dirimu, dan –kamu berkata- bahwa -Islam- adalah agama yang benar dan selainnya adalah batil, sementara kamu rela mengangkat orang yang menadikan agama sebagai bahan ejekan dan cemoohan, sebagai pemimpin.” Demikian Syekh As-Sa’di.

Quraish Sihab dalam tafsir Al-Misbah memberikan uraian tentang alasan larangan menjadikan mereka menjadi auliyâ:

“Wahai orang yang beriman, jangan kamu memaksakan diri menjadikan auliyâ’, orang-orang yang membuat agama kamu bahan ejekan dan permainan.”

Sementara Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar menuliskan: “Soal pemimpin memang soal penting. Sebab itu, peringatan Tuhan tidak cukup satu kali saja, bahkan diperingat dan diperingatkan lagi. Maka janganlah kamu ambil mereka: Akan jadi pemimpin-pemimpin.

Artinya, bolehlah kamu bergaul baik dengan mereka, berniaga, berjual-beli, tetapi urusan kepercayaan, urusan agama, jangan sekalikali diminta pendapat mereka, karena mereka sudah nyata tidak percaya, bahkan mengejek dan mempermain-mainkan.

Demikianlah uraian dari beberapa ahli tafsir perihal larangan menjadikan orang-orang yang menjadikan agama –Islam- sebagai bahan ejekan yang secara eksplisit disebut oleh Allah SWT dalam firmanNya yakni: “Di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik).”

Quraish Shihab mengatakan bahwa mereka itu ialah: (1) orang-orang yang telah diberi kitab Taurat dan Injil (ahlul kitab) sebelum generasi Rasulullah s.a.w, (2) orang-orang yang kafir, yaitu orang-orang yang musyrik, dan (3) siapapun yang memperolok-olokkan atan melecehkan agama.

Kemudian ayat ini ditutup dengan perintah bertaqwa: “Dan bertaqwalah kepada Allah, jika kamu betul-betul orang yang beriman.”

Makna bertaqwa dalam ayat ini kata Qurais Shihab adalah hindari amarah-Nya dan perhatikan larangan-Nya ini –yakni menjadikan orang-orang kafir sebagai auliyâ- dan juga larangan selain ini, sebagai bukti bahwa orang-orang beriman itu telah mantap imannya.

Demikian juga dengan Buya Hamka memberi makna taqwa dengan pesannya: “jagalah taqwa, jangan mengambil mereka jadi pemimpin, walaupun dalam urusan kecil saja, asal berkenaan dengan keagamaan.” Demikian…! (bersambung)

 -------
Artikel sebelumnya:



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama