Maipa Depati Sembuh, Maggauka Berterima-kasih kepada Datu Museng

“Jadi akan pergi jugakah kanda meninggalkan daku tanpa menyimpan sepatah kata pengobat hati yang sedang dirundung malang ini? Jangan, tidak kuizinkan kanda pergi sebelum memberikan aku kata putus. Ketauhilah, aku…aku relakan hidup ini untukmu. Bawalah aku di mana kanda pergi, bawalah…”
 




------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 17 Mei 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (11):

 

 

Maipa Depati Sembuh, Maggauka Berterima-kasih kepada Datu Museng

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Di saa-saat ia sedang digoda oleh perasaannya, mendadak timbul rasa harga dirinya. Tidak! Ia bukan manusia serendah itu. Diperkuatnya hatinya menahan gelora yang mendesak, agar jangan menampakkan diri keluar. Ditahannya sekuat mungkin. Kemudian ia mulai menggerakkan tangannya mengeluarkan bola raga dari tubuh Maipa dengan mempergunakan kekuatan ilmunya.

Setelah bola raga berada di tangannya, ia pun bersiap meninggalkan bilik. Tapi ketika ia hendak mengayunkan langkah, Maipa sudah bangun dan cepat-cepat menarik sarung Datu Museng seraya berbisik.

“Ah, kakanda Datu Museng, betapa kejammu sekarang padaku yang selama ini setia menunggu dalam derita batin yang tak terbanding. Kanda rupanya tak acuh lagi padaku kini, tidak sedikit pun menaruh belas-kasihan. Hendak pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan. Mengapa kanda demikian berubah? Duduklah dahulu, duduklah. Kasihanilah aku yang malang ini,” kata Maipa.

Tanpa ragu lagi Datu Museng membalik dan menjatuhkan diri berlutut di sisi pembaringan kekasihnya sambil meraih tangan yang halus itu, kemudian berkata: “Aku tidak kejam padamu sayang, beribu kali tidak. Bahkan dalam setiap detak jantungku, namamu selalu kuseru. Aku selalu mendo’a mengharapkan dinda menjadi bulan purnamaku di malam hari dan matahariku di kala siang. Kau adalah harapanku satu-satunya.”

“Tapi mengapa kanda hendak meninggalkanku begitu saja?”

“Itu adalah perbuatan bertentangan dengan kata hatiku sendiri. Keadaan yang memaksaku berbuat demikian, dinda sayang!”

“Keadaan? Adakah kanda dipengaruhi oleh keadaan itu sekarang?”

“Ya, keadaan itu tidak mengizinkan aku tinggal disini berlama-lama. Takut hatiku bertambah hangus oleh sentuhan api yang kini sedang menyala berkobar-kobar di sekitar kita.”  

“Dapatkah api itu padam jika kanda meninggalkan bilik ini?”

“Padam? Ah, belum dapat kuramal adinda. Aku hanya khawatir jangan sampai terbakar bilik ini dan turut memusnahkan istana.”

“Jadi akan pergi jugakah kanda meninggalkan daku tanpa menyimpan sepatah kata pengobat hati yang sedang dirundung malang ini? Jangan, tidak kuizinkan kanda pergi sebelum memberikan aku kata putus. Ketauhilah, aku…aku relakan hidup ini untukmu. Bawalah aku di mana kanda pergi, bawalah…”

Maipa menangis dan tangan Datu Museng kian erat dipegangnya, seakan-akan takut lepas dari genggaman.

“Sabarlah adinda, kuatkan hatimu. Kupegang teguh katamu. Ketahuilah, aku tak akan tenang hidup di dunia ini jika tidak bersamamu. Aku lebih baik menjadi mayat berkalang tanah, dari pada harus melihat kau di sisi orang lain. Ya, peganglah kataku yang merupakan sumpahku juga,” kata Datu Museng.

Datu Museng kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga kekasihnya dan membisikkan sesuatu yang menggirangkan benar hati putri itu tampaknya. Wajahnya yang pucat, kini menyemu merah. Menggambarkan rasa malu bercampur girang.

Setelah pesan itu disampaikan, Datu Museng kemudian pamit.

Maipa melepaskannya dengan gembira tak terkatakan, dan tak lupa membisikkan dua patah-kata: “Jangan lupa.”

Alangkah girang hati Manggauka ketika mengetahui putrinya telah sembuh dari sakit. Ia sangat berterima-kasih kepada Datu Museng. Dipuji-pujinya anak muda ini dengan kata-kata yang indah. Disinggungnya lagi hajatnya yang ia suruh sampaikan melalui Gelarang.

“Anakku Datu Museng, pilih di antara gadis-gadis penghuni istana ini selain adikmu Maipa, untuk menjadi pasanganmu. Banyak kawan Maipa, anak karaeng, anak daeng, anak gelarang yang cantik-cantik. Tunjuk saja mana berkenan di hatimu dan kami akan menjodohkannya denganmu. Jika saja tak ada yang berkenan di hatimu, carilah di luar istana, di sekeliling pulau kita.”

“Terima kasih atas anugrah tuanku. Hamba masih berpikir-pikir dan belum dapat memutuskan sekarang. Baiklah hamba minta diri dahulu, untuk memikirkan tawaran tuanku,” jawab Datu Museng.

Kemudian dengan penuh hormat ditinggalkannya istana dan pulang ke rumahnya, diantar oleh Maggauka hingga ke anak tanah terbawah. Di sana Maggauka berhenti, dan ketika Datu Museng minta diri sekali lagi, beliau berkata pula; “Ingat pesanku anakku. Seboleh-bolehnya jangan diabaikan.”

Datu Museng mengiyakan saja dengan merendahkan diri dan memberi hormat sebelum mengucapkan salam perpisahan kepada Maggauka, yang tetap berdiri mengawasi kepergiannya hingga hilang dari pandangan.

Adapun Maipa Deapati ketika ditinggalkan oleh Datu Museng, langsung memanggil ibu susunya yang sangat dipercainya, dan sebaliknya sangat kasih pula padanya. Setelah berada di dekatnya, Maipa berbisik.

“Kupanggil ibu kemari karena yakin telah mengetahui hubunganku dengan Datu Museng. Apa yang telah kubicarakan tadi dengannya tentu ibu dapat menerkanya bukan,” tanya Maipa.

“Kira-kira demikian anakku Deapati. Tetapi….” sang ibu susu berhenti berkata dan menatap wajah Maipa, hendak mengetahui dari wajah itu sendiri tentang baik-buruknya apa yang akan ia ucapkan nanti. Matanya seakan minta izin agar dibiakan melanjutkan bicaranya

Sadar akan hal itu, Maipa kemudian berkata; Tetapi apa ibu? Lanjutkan bicaramu.”

“Aku kuatir tidak akan kesampaian segala cita-citamu, anakku.”

“Ah, telah putus kata hatiku untuk ikut Datu Museng, meninggalkan istana ini melayari nasib kemana saja aku dibawanya. Janji sudah kupadu, akan sehidup semati dengannya. Janji harus ditepati bukan?”

Maipa berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Begini saja ibu, jika ibu masih belas kasihan padaku, sampaikan pada bunda permaisuri bahwa malam ini aku akan turun mandi di tempat permandianku membersihkan diri. Sampaikan bahwa aku telah meniatkan sebelumnya, apabila sembuh dari sakit, aku akan turun di tengah malam ke tempat permandianku itu. Katakan supaya rakyat mengantarku nanti. Sebelum itu, aku akan ingin menyampaikan pula harapanku pada ibu, sekiranya tidak keberatan dan bersedia membantuku malam ini melarikan diri. Antarkan aku ke rumah Datu Museng. Sesudah itu kembalilah ke istana dan jangan sekali-kali memberitahu siapa pun di istana ini.

Dibisikkannya ke telinga inang pengasuh yang setia itu kata-kata yang terakhir ini. Sesudah itu disuruhnya pergi mendapatkan ibundanya untuk menyampaikan berita yang dipesankan tadi. Sang inang pengasuh yang sangat sayang dan hormat kepada putri sultan asuhannya ini, berangkat saat itu menemui permaisuri. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya: 

Datu Museng dan Maipa Deapati (10): Maggauka dan Permaisuri Undang Datu Museng ke Istana

Datu Museng dan Maipa Deapati (9): Sultan Sumbawa Kirim Utusan ke Rumah Datu Museng

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama