Haedar Nashir: Kita Harus Bisa Mengeliminasi Ego

MENGELIMINASI EGO. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengisi hikmah Syawalan Idul Fitri 1443 H Keluarga Besar Muhammadiyah Sulsel, di Balai Sidang Muktamar 47 Muhammadiyah Kampus Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Senin, 16 Mei 2022. (Foto: Herul / Humas Unismuh Makassar)

 



-------

Selasa, 17 Mei 2022

 

 

Haedar Nashir: Kita Harus Bisa Mengeliminasi Ego

 

 

Hadiri Syawalan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel di Makassar

 

 

MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Upaya menyambung silaturahim organisasi harus selalu diperjuangkan. Dalam hadits Rasulullah SAW ditegaskan bahwa silaturrahim sejati bukan menghubungkan persaudaraan yang sudah tersambung baik, melainkan menyambung yang persaudaraan yang terputus.

“Itulah silaturrahim yang hakiki. Kenapa hakiki? Karena kita harus bisa mengeliminasi ego-ego kita, baik personal, lebih-lebih yang terkait banyak orang, yang terkadang itu tidak mudah untuk kita rajut kembali di saat sudah retak dan putus,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir.

Hal tersebut ia sampaikan saat mengisi hikmah Syawalan Idul Fitri 1443 H Keluarga Besar Muhammadiyah Sulsel, di Balai Sidang Muktamar 47 Muhammadiyah Kampus Unismuh, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Senin, 16 Mei 2022.

Silaturahim ini dihadiri Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Prof Ambo Asse, serta seribuan peserta yang berasal dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Sulawesi Selatan, pimpinan Organisasi Otonom (Ortom), kader dan simpatisan Muhammadiyah.

Haedar Nashir mengatakan, silaturrahim yang bersifat personal akan dengan mudah untuk terus dibina. Jika hubungan personal merenggang, bisa untuk segera dibina atau disambung kembali.

“Tetapi yang sering tidak mudah dan butuh perjuangan terus-menerus adalah membangun ukhuwah jam’iyyah kita,” ungkap Haedar yang Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Di satu pihak, katanya, hubungan itu harus selalu semakin baik, tetapi di pihak lain juga ada masalah (musykilah) yang menuntut untuk harus selalu mencari solusi dan penyelesaian yang juga maslahah.

Merekat silaturahim yang bersifat ijtimaiyyah (keorganisasian) dan yang bersifat jam’iyyah atau yang berkaitan dengan orang banyak, memerlukan kesabaran dan kesungguhan karena silaturrahimnya melibatkan orang banyak.

“Inilah yang harus kita hidupkan. Bagaimana bisa silaturrahim semakin baik, hubungan wilayah, daerah, cabang, dan ranting, kemudian juga hubungan antarpersonal kita dalam konteks sistem,” tutur Haedar.

Dia mengingatkan, seringkali penyebab masalah adalah persepsi yang sebenarnya bisa diubah bersama tetapi dibuat tidak mudah.

“Karena persepsinya tetap diawetkan untuk menjadi persepsi sendiri-sendiri. Misalnya masa Covid-19, ada warga dan tokoh yang menolak tarjih karena keyakinan tertentu. Nah, mengubah persepsi seperti ini yang tidak mudah, padahal ini demi kepentingan orang banyak,” kata Haedar.

Di saat seperti itulah, katanya, kita harus mengingat hadits Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, bahwa jika kita ingin merekat hubungan yang terputus karena masalah-maslaah, kuncinya ada di jiwa dan ruhani yang rif’ah.

“Rif’ah itu rohani tingkat tinggi. Kata Nabi, carilah rif’ah. Cirinya tiga, menyambung hubungan yang terputus, baik antar-ego, yang pasti masing-masing punya ego. Kata Rumi kan, ego itu ibu dari semua masalah,” kata Haedar.

Ciri rif’ah kedua, jika ada sesuatu yang diharamkan, dalam arti orang tidak boleh menjamahnya atau mengambilnya lalu dijadikan halal atau dibolehkan.

“Hal yang tadinya tidak boleh diambil lalu kita jadikan boleh, benar, dan kita jadikan baik. Itu yang tidak gampang apalagi kalau barang itu sangat berharga,” jelas Haedar.

Ciri rif’ah ketiga adalah lemah lembut, yakni bermaklum pada orang yang berbuat kasar, buruk, jelek, dan nista kepada kita.

“Karena memang ada yang merasa berhak untuk marah ke kita. Marah menjadi karakter mereka, merasa tidak menjadi dirinya jika tidak marah. Mengubah menjadi rif’ah, itu yang tidak gampang,” kata Haedar.

Dia juga menegaskan, nilai-nilai ihsan ini harus dihidupkan dalam kehidupan, termasuk di organisasi Muhammadiyah. Seringkali, lanjut Haedar, kerikil-kerikil itu kecil saja, tapi membuat kita jatuh.

“Misalnya, hubungan amal usaha dengan PWM, PDM, dengan PCM, coba cari solusi. Syaratnya, saling belajar untuk memberi, jangan menuntut. Itu intinya kita silaturrahim,” tutup Haedar. (has)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama