Serombongan Wanita Quraisy Melarikan Diri ke Madinah

Tidak lama setelah mereka tiba kembali di Madinah datanglah serombongan wanita mukmin yang melarikan diri dari Quraisy. Kemudian menyusullah para wali mereka yang menuntut agar wanita-wanita itu dikembalikan sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah. Akan tetapi Rasulullah ﷺ menolaknya, karena dalam perjanjian disebutkan bahwa kaum wanita tidak termasuk mereka yang harus dikembalikan.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 28 Mei 2022

 

Kisah Nabi Muhammad SAW (122):

 

 

Serombongan Wanita Quraisy Melarikan Diri ke Madinah

 

 

Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi

 

 

Nasehat Ummu Salamah

 

Rasulullah ﷺ kemudian bersabda, “Bangkitlah dan sembelihlah hewan qurban!”

Para sahabat Saling pandang. Apa? Jadi Rasulullah ﷺ menganggap bahwa mereka telah selesai berhaji? Bukankah mereka sama sekali belum berthawaf? Bahkan sama sekali belum melihat Ka'bah? Namun Rasulullah ﷺ mengulangi perintahnya sampai tiga kali.

Tidak ada satu pun sahabat yang beranjak. Semua diam termangu atau menunduk. Rasulullah ﷺ memperhatikan wajah mereka. Bahkan Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab juga menolak.

Dengan perasaan gundah, Rasulullah ﷺ masuk ke dalam tenda Ummu Salamah, diceritakannya semua kelakuan para sahabat kepada istrinya itu. Ummu Salamah mengerti betul betapa kecewanya Rasulullah ﷺ.

Kemudian Ummu Salamah mengajukan sebuah saran yang menunjukkan kecerdasan dan kebijaksanaannya, persis seperti yang dulu dilakukan oleh Khadijah untuk membangkitkan Rasulullah ﷺ dalam masa-masa sulit penuh kegelapan.

“Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin mereka melaksanakan perintah itu?” tanya Ummu Salamah.

Dia melanjutkan, “Keluarlah tetapi jangan berbicara sepatah kata pun kepada salah seorang dari mereka. Sembelihlah ternak kurban Anda sendiri, Lalu panggilan tukang cukur dan bercukurlah.”

Rasulullah ﷺ kemudian keluar tanpa bicara sepatah kata pun dia melaksanakan saran dari Ummu Salamah. Setelah Rasulullah ﷺ menyembelih kurban dan bercukur segera saja para sahabat melakukan hal yang sama.

Suasana yang tadinya murung penuh kebingungan, kini berubah menjadi ceria. Suara gembira para sahabat terdengar saat menyembelih kurban dan saling bergantian mencukur rambut. Sebagian ada yang mencukur rambut dan sebagian lain hanya memangkas rambut.

Rasulullah ﷺ tersenyum dan bersyukur kepada Allah karena telah memberinya seorang istri yang begitu cerdas dan bijak.

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut,” doa Rasulullah ﷺ.

Sebagian orang yang mendengarnya jadi gelisah. Mereka pun bertanya, “Dan mereka yang berpangkas rambut Ya Rasulullah?”

 

Para Wanita Mukminah

 

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang bercukur rambut,” doa Rasulullah ﷺ lagi.

Para sahabat masih gelisah, mereka bertanya lagi, “Dan mereka yang berpangkas rambut, Ya Rasulullah?”

“Dan  mereka yang berpangkas rambut,” jawab Rasulullah ﷺ akhirnya.

“Rasulullah, mengapa doa buat yang bercukur saja yang dinyatakan, bukan buat yang berpangkas rambut?” tanya sahabat.

“Karena mereka sudah tidak ragu-ragu,” demikian jawab Rasulullah ﷺ.

Umar bin Khattab sangat menyesal karena sempat menyangsikan keputusan Rasulullah ﷺ dalam perjanjian Hudaibiyah. Apalagi setelah itu Rasulullah ﷺ membacakan Surat Al-Ffath yang menegaskan bahwa dalam perjanjian itu Allah telah memberi kemenangan yang nyata. Legalah hati Umar mendengar firman Allah ini.

 

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

 

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, (Surah Al-Fath 48:1)

 

Umar berkata, “Setelah itu, aku terus-menerus melakukan berbagai amal, sedekah, shaum, shalat dan berupaya membebaskan diri dari apa yang telah kulakukan saat itu. Aku selalu dibayangi kelakuan itu. Aku selalu berharap semoga semua itu merupakan kebaikan.”

Tidak lama setelah mereka tiba kembali di Madinah datanglah serombongan wanita mukmin yang melarikan diri dari Quraisy.

Kemudian menyusullah para wali mereka yang menuntut agar wanita-wanita itu dikembalikan sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah. Akan tetapi Rasulullah ﷺ menolaknya, karena dalam perjanjian disebutkan bahwa kaum wanita tidak termasuk mereka yang harus dikembalikan.

Dalam Alquran surat Al Mumtahanah membenarkan tindakan Rasulullah ﷺ ini. 

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Surah Al-Mumtahanah 60:10)

Dalam surah yang sama pula, Allah memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk mengatakan janji setia kepada para mukminah itu. Mereka harus berjanji tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak berzina, tidak membunuh anak-anaknya, tidak berbuat dusta, dan tidak akan mendurhakai Rasulullah ﷺ. Para mukminah itu pun menerimanya.

 

Abu Bashir

 

Ada satu orang lagi yang mempunyai nasib seperti Abu Jandal namanya Abu Bashir. Ia datang ke Madinah dan minta agar Rasulullah ﷺ mau menerimanya, Namun, belum lama ia menikmati hidup sebagai muslim yang merdeka di Madinah, datanglah surat dari Azhar bin Auf dan Akhnas bin Syariq yang ditujukan kepada Rasulullah ﷺ, yakni meminta agar Abu Bashir dikembalikan. Surat itu dibawa oleh seorang laki-laki dari Bani Amir yang disertai seorang budak.

“Abu Bashir,” sabda Rasulullah ﷺ, “Kita telah membuat perjanjian dengan pihak mereka seperti yang sudah kau ketahui. Penghianatan menurut agama kita tidak dibenarkan. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersamamu memperoleh kelapangan dan jalan keluar. Pulanglah engkau kembali ke dalam lingkungan masyarakatmu.”

“Rasulullah,” kata Abu Bashir, “Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini.”

Namun, Rasulullah ﷺ mengulangi kata-kata beliau tadi. Akhirnya, Abu Bashir pun dibawa oleh kedua orang tadi.

Di Dzulhulaifah, belum jauh dari Madinah, mereka beristirahat dan makan kurma. Abu Bashir berkata kepada orang dari Bani Amir, “Demi Allah, aku ingin sekali melihat pedangmu yang bagus itu, hai Fulan.”

Tanpa curiga utusan Quraisy itu menghunuskan pedang dan memperlihatkannya kepada Abu Bashir sambil berkata, “Boleh, demi Allah memang ini adalah benda yang bagus. Ia sudah cukup kenyang malang melintang bersamaku.”

“Tolong perlihatkan kepadaku, aku ingin melihat dan memeriksanya,” kata Abu Basir.

Begitu pedang itu ada di tangannya, Abu Bashir menusukkannya ke utusan Quraisy itu sampai meninggal dunia. Seketika itu juga budak yang menyertai mereka berlari ke Madinah sambil berteriak-teriak.

Budak itu terus berlari memasuki masjid. Melihat kehadirannya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sepertinya orang itu sedang ketakutan.”

Budak itu berlari ke hadapan Rasulullah ﷺ sambil berkata, “Teman Tuan membunuh teman saya, saya pun agaknya akan dibunuhnya pula.” (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Kisah Nabi Muhammad SAW (121): Umar bin Khattab Tidak Puas dengan Isi Perjanjian Hudaibiyah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama