Era 60-an, Sastrawan Bulukumba Merajai Sulawesi Selatan


BERSAMA ANIS KABA. Dari kiri ke kanan, M Anis Kaba, Muhammad Amir Jaya, Mahrus Andis, dan Anwar Nasyaruddin, di kediaman 
M Anis Kaba, Jl Kelinci Makassar, Selasa, 28 Juni 2022. (Foto-foto: Rahman Rumaday)
 






-----

PEDOMAN KARYA

Rabu 29 Juni 2022

 

Bersama Penyair M. Anis Kaba:

 

 

Era 60-an, Sastrawan Bulukumba Merajai Sulawesi Selatan

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)


Lebih aman naik mobil grab. Itu kesepakatan akhir ketika saya, Amir Jaya, Anwar Nasyaruddin dan Rahman Rumaday  merancang ide berkunjung ke rumah M. Anis Kaba, seorang penyair Sulsel yang pernah membungai khasanah literasi di kolom media massa.

Naik grab ke rumah Anis Kaba, tidak perlu repot. Tinggal pesan mobil, turun di mulut lorong Jalan Kelinci, menyusup ke halaman teduh dan berteriak menyebut nama di depan pintu. Rumah batu yang tampak sudah tua dan menampung aura masa silam, di situlah penyair ini hidup dalam senyap.

M. Anis Kaba lahir di Limbung, Kabupaten Gowa, 21 April 1942. Pernah kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado sampai Sarjana Muda, 1978.

Pertama kali terjun di dunia seni tahun 1959, Anis mendirikan Organisasi Seniman Muda (Orsenim) Makassar. Bersama Mochtar Pabottingi, Anis mengasuh siaran Simphoni Kesenian di RRI Nusantara Makassar yang diselenggarakan oleh Ikatan Seni-Budaya Muhammadiyah (ISBM).

Penyair yang juga aktor drama di tahun 1964 ini terbilang produktif di masanya. Sajak-sajaknya banyak dimuat di berbagai media, antara lain: Mingguan Ekspres, Mingguan Pos Makassar, Mingguan Patria, Majalah BawakaraEng, hingga Harian Pedoman Rakyat di era 1960-1970.

Kumpulan Puisi terbarunya berjudul “Nyanyian Alam”, penerbit Saji Sastra Indonesia, 2000, dengan Pengantar Apresiasi Shaifuddin Bahrum.

“Usia saya 81 tahun,” katanya, setelah menyilakan kami berempat duduk, menikmati kopi yang baru saja dibuatnya dan kue tolobang (sejenis bolu kukus) yang entah dari siapa.

“Apa yang Pak Anis ketahui tentang sastrawan di Sulsel di tahun 50-an dan tahun 60-an?,” kata saya memancing masa silamnya.


Anis mengerutkan kening, membakar sebatang rokok yang kami jadikan oleh-oleh, kemudian memulai bicaranya.

“Sastrawan pertama di Makassar yang saya ingat adalah Arsal Alhabsi. Dialah yang mengajak Rahman Arge, bergiat di dunia seni. Menyusul Husni Djamaluddin, Aspar Paturusi, dan yang lain-lain,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, “Dahulu, saya masih pemula menulis karya sastra. Kiprah saya berkreasi hanya seputar Parepare-Makassar bersama A Makmur Makka. Sedangkan Arsal, Arge, Husni dan Aspar, karyanya sudah merambah ibukota Jakarta.”

“Apa yang Pak Anis ingat tentang sastrawan Sulawesi Selatan di tahun 70-an?” seruduk saya.

Anis Kaba menghisap dalam-dalam rokoknya, lalu bagai kedatangan wahyu dia berkisah, “Nah, cerita ini sedikit ngeri. Para seniman dan budayawan saat itu serasa berkarya dalam ketakutan. Tidak boleh ada kritik. Saya pernah membawakan apresiasi sastra di acara Simphoni Kesenian RRI. Selesai itu, oleh orang yang tidak saya kenal, saya dibawa ke satu tempat yang ngeri. Saya diancam dengan pembunuhan karena dianggap mengeritik karya seorang tentara berpangkat Letkol.”

Kisah ini membuat kami terperangah. Amir terkejut, Anwar menganga, Maman menatap kosong, dan saya berupaya mengingat-ingat nama Letkol yang dia sebutkan itu.

Anis Kaba terus bercerita. Tentara itu berjiwa seni tapi wataknya keras. Dia memelihara Intel preman yang bertugas memata-matai para seniman yang dicurigai mengeritik karyanya. Dirinya dan A. Moein MG termasuk dalam perangkap mata-mata itu.

“Sudahlah. Itu masa silam yang ngeri,” kata Anis sedikit bergidik.

Kami tercenung memikirkan kisah itu. Ruang tamu yang tidak luas disesaki rak buku-buku tua dan karya seni khas daerah lain, terasa beku. Anis Kaba terus menikmati kepulan asap dari kedua bibirnya yang menua. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Satu persatu kami shalat ashar di ruang tengah, di antara kliping koran dan rak buku-buku.

“Di tahun 60-an, dinamika penulisan sastra di Sulsel didominasi oleh seniman asal daerah Bulukumba,” lanjut Anis seusai kami menunaikan shalat.

“O ya. Siapa saja mereka?” telisik saya.

“Banyak. Yang saya ingat adalah Hizbuldin Patunru, Mattulada, Tjurong KN (nama samaran T. Konin), Zain Palakka, Aspar Paturusi, Mochtar Pabottingi, dan Fahmi Syariff. Mereka menulis puisi, cerpen, novel, esai budaya dan drama. Karya-karya mereka dimuat di berbagai media mingguan yang terbit di Makassar,” Anis Kaba mengunci bicaranya.

Dia memandang saya dengan bola mata yang layu. Seakan penyair ini ingin mengatakan: “Waktu itu kamu belum siapa-siapa. Apalagi ketiga orang yang duduk di sampingmu itu!”

(Saya tertunduk, membayangkan diri ketawa sambil ta’guling-guling).

Sebelum pulang, saya sempatkan diri membacakan satu puisi M. Anis Kaba di hadapan penyairnya. Dia tampak hidup, wajah cerah menghias gurat-gurat usianya. Inilah puisi itu:

 

Air Makrifat

 

bening-bening air terjun

menyelimuti tebing, mengusik hening

mengalir dan mengalir

menyatu ke bumi

sejuk di hati

 

kabut air membasuh daun-daun hari

dari selubung debu dan murung

jadi teduh, jauh dari sendu

mengalirlah, mengalir

yang dingin dan bening

 

menyirami diri yang sepi

dari bisikan alam sunyi

mengalirlah, mengalir

bisikan hati yang bening

akan kutulis sebelum mati.

 

-Makassar, 2000-

(Dari Kumpulan Sajak "Nyanyian Alam, hal. 48)

 

Nikmat rasanya berbincang dengan Bung Anis Kaba. Menjelang magrib, kami tinggalkan rumahnya. Dia mengantar kami keluar dari “Gang Kelinci” itu. ***

-Mks, 29 Juni 2022-


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama