Tantangan PWI Sulsel dan Wartawan Indonesia


UJI KOMPETENSI. Beberapa wartawan tampak serius mengikuti Uji Kompetensi Wartawan di Hotel The One, Jl Latimojong, Makassar, Senin, 25 Oktober 2015. Wartawan Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam menjalani profesinya. (Foto: Asnawin Aminuddin)




---------
  

Tantangan PWI Sulsel dan Wartawan Indonesia


Oleh: Asnawin Aminuddin
(Direktur Perpustakaan Pers PWI Sulsel)

Ada tiga hal pokok yang menjadi tujuan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yaitu peningkatan kualitas anggota, pembelaan atau advokasi wartawan, serta upaya peningkatan kesejahteraan wartawan.
Kalau tugas pokok ini tidak bisa dilaksanakan dengan baik oleh PWI Sulsel, maka para anggota pasti tidak akan merasakan lagi manfaat berhimpun di organisasi ini dan cepat atau lambat mereka akan pergi. Selanjutnya bisa dipastikan PWI Sulsel akan menjadi organisasi profesi yang tidak berkualitas dan tidak direken oleh wartawan, masyarakat, serta lembaga pemerintah dan swasta.
Organisasi wartawan memang tidak dilarang melakukan banyak kegiatan, seperti kegiatan di bidang usaha, lomba atau pertandingan olahraga, dan lain-lain, tetapi program-program atau kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah sesuatu yang menjadi prioritas, karena kegiatan-kegiatan itu tidak berkaitan langsung dengan kegiatan jurnalistik.
Tulisan ini hanya difokuskan pada tugas utama organisasi wartawan yakni meningkatkan kualitas para anggotanya. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ternyata banyak media massa yang tidak mempersyaratkan sertifikat atau ijazah pendidikan jurnalistik bagi para calon reporternya. Juga tidak banyak media yang melakukan pendidikan dan latihan (Diklat) Jurnalistik bagi reporter baru yang telah direkrutnya.
Maka dapat dibayangkan bagaimana kualitas berita yang dibuat oleh seorang wartawan yang hanya mengantongi ijazah SMA dan tidak pernah mengikuti pendidikan jurnalistik. Sudah rendah kualifikasi pendidikannya, mereka juga tidak punya bekal yang cukup untuk menjadi wartawan. Mereka tidak pernah belajar teknik meliput dan menulis berita, serta tidak pernah membaca apalagi memahami Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, Marah Sakti Siregar (2006) pernah mengidentifikasi kelemahan umum wartawan atau jurnalis Indonesia, antara lain pengetahuan umum rata-rata kurang. Ini mungkin mempresentasikan kekurangan mereka dalam membaca atau menyerap informasi yang bersifat umum yang biasanya bisa diperoleh dari surat kabar atau media informasi lainnya.
Berita-berita yang dibuat umumnya kurang mendalam bahkan sangat dangkal, sehingga pembaca tidak mendapatkan pencerahan atau pemahaman yang mendetail tentang sebuah peristiwa atau wacana. Dari sisi bahasa, berita-berita yang dimuat media cetak juga lemah tata bahasanya, baik bahasa Indonesia terlebih lagi bahasa asing. Termasuk ketidak-akuratan dalam menuliskan nama, gelar, jabatan, dan sebagainya.
Kelemahan lain yaitu banyak wartawan yang bekerja pas-pasan dan kurang gigih. Mereka sudah puas jika dapat memenuhi satu target penugasan. Mereka kurang ide dan kurang inisiatif. Mereka merasa cepat mapan dan agak enggan melakukan eksplorasi, seperti investigasi dan membuat laporan pendalaman lainnya (in depth reporting).
Secara spesifik, wartawan juga memiliki kelemahan dalam hal antara lain tidak memiliki basis yang kuat dalam penulisan. Baik penulisan berita biasa (straight news), maupun artikel khas (feature news, analisis, dan semacamnya). Bahkan standar elementer saja, misalnya, masih banyak wartawan yang kadang-kadang tidak lengkap dalam memenuhi unsur 5W + 1 H suatu berita.
Selain itu, wartawan umumnya kurang atau tidak menguasai hal-hal yang berkaitan dengan aturan etika profesi kewartawanan dan hukum, tidak memahami persoalan dan tidak menguasai masalah. Mereka enggan merumuskan masalah yang hendak ditanyakan dan ditulis. Ini menyebabkan narasumber sering kesal, karena berhadapan dengan wartawan yang pertanyaannya tidak jelas. Yang terjadi kemudian, narasumber terpaksa harus mengajari atau menginformasikan sesuatu masalah dari A sampai Z kepada wartawan.
Banyak wartawan yang tidak menguasai teknik wawancara yang baik dan bekal pemahaman atas jurnalistik secara komprehensif masih kurang, sehingga yang muncul ke permukaan adalah wartawan instan (cepat jadi dan cepat habis) dengan produk berita yang revdah kualitasnya.
Kalau diteliti lebih jauh, bisa disimpulkan bahwa niat untuk menjadi wartawan tidak mereka miliki. Kebutuhan pasar dan kondisi ekonomi (lapangan kerja di industri media) menyebabkan banyak wartawan lahir karena ‘’kecelakaan’’ (terpaksa menjadi wartawan). Artinya, mereka tidak bercita-cita menjadi wartawan, tetapi terpaksa menjadi wartawan karena membutuhkan pekerjaan.

Peran Organisasi Wartawan

Bagaimana menghadapi wartawan yang lahir karena ‘’kecelakaan’’ dan bagaimana meningkatkan kualitas para wartawan, itulah bagian dari tanggungjawab organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan lain-lain.
Peran yang harus dimainkan oleh PWI Sulsel dan organisasi wartawan lainnya di daerah ini antara lain melakukan pembinaan terhadap para wartawan, terutama untuk meningkatkan kualitas dan menambah wawasan mereka.
Peran ini secara tidak langsung telah turut membantu media massa dalam melakukan pembinaan kepada wartawan mereka. Bentuk pembinaan yang dilakukan bisa bermacam-macam, mulai dari diskusi, seminar, pendidikan dan latihan (Diklat), lokakarya, penataran, dan lomba karya tulis atau karya foto jurnalistik.
Selain itu, PWI Sulsel harus mampu membuka mata para wartawan bahwa mereka kini berada di era komunikasi dan informasi yang sudah sangat maju, sehingga mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada agar tidak terlindas oleh perubahan itu.
PWI Sulsel juga harus terus-menerus memacu semangat para anggotanya agar membuat berita atau karya jurnalistik yang berkualitas, apalagi sekarang ini kita berada di era ‘’the end of news paper’’, di mana media online dan blog serta jejaring sosial dunia maya menemukan konvergensi teknologi dan senyawa sosial yang menggusur media konvensional seperti media cetak.
Kalau wartawan tak mampu mengikuti perkembangan, tak mau belajar dan meningkatkan kualitasnya, tidak memiliki karakter yang kuat, serta tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, maka cepat atau lambat mereka akan tersisih dalam persaingan, begitu pun dengan media tempatnya bekerja.
Wartawan harus mampu menunjukkan eksistensinya dan mempertajam keberadaannya di tengah menjamurnya media cetak, media elektronik, media online, blog, dan jejaring sosial. Wartawan yang professional harus mampu memperlihatkan perbedaan antara wartawan yang benar-benar wartawan dengan orang yang mengaku sebagai atau merasa seperti wartawan.
Inilah tantangan PWI Sulsel dan tantangan wartawan Indonesia pada umumnya. Semoga PWI Sulsel dan wartawan Indonesia mampu menjawab tantangan itu untuk memberi andil dalam pembangunan pers nasional dan pembangunan secara umum.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama