Menakar Urgensi Reuni 212


REUNI 212. Sejumlah pimpinan Ormas dan pemuka agama, serta jutaan warga dari berbagai pelosok di Tanah Air, menghadiri Reuni Aksi 212, di Lapangan Monas, Jakarta, Sabtu, 02 Desember 2017. Inzet: Dahlan Lama Bawa.







-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 03 Desember 2017


Menakar Urgensi Reuni 212


Oleh: Dahlan Lama Bawa
(Dosen Unismuh Makassar dan Pengamat Sosial Masyarakat)

Masih hangat dalam ingatan kita aksi 212 yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2016, aksi yang diperkirakan diikuti sekitar tujuh juta orang merupakan sebuah aksi yang monumental dalam sejarah Indonesia.
Istimewanya, aksi 212 itu dihadiri langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo, didampingi Wapres RI Jusuf Kalla, dan Menteri Polhukam Wiranto.
Dari sisi urgensi, aksi 212 tahun 2016 memberi pesan politik tentang niscayanya mengadili oknum warga negara yang melakukan pelanggaran pidana berupa penodaan agama.
Dari sisi metodologi, aksi 212 tahun 2016 berjalan lancar, tertib, aman, terkendali, jauh dari kesan anarkis. Secara teknis, lingkungan taman-taman di Monas dan sekitarnya tetap terjaga, sampah dipungut usai acara, kemacetan ibu kota yang dikhawatirkan, ternyata tidak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia adalah umat yang cinta damai sekalipun sementara berada dalam suasana dan aroma ketegangan.

Aroma Ketegangan Aksi 212

Aroma ketegangan itu dipicu oleh kasus penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), saat melakukan kunjungan kerja terkait budi daya ikan kerapu di Pulau Pramuka Kepualuan Seribu, tanggal, 27 September 2016.
Dalam pidatonya di hadapan ribuan warga, beliau menyinggung surah al-Maidah ayat 51 dengan mengatakan bahwa “Kan dalam hati kecil Bapak Ibu, ngga pilih saya karena dibohongi (orang) pakai surah al-Maidah 51 macam-macam itu.
Pidato Ahok tersebut direkam dan disebarluaskan videonya ke media sosial oleh seorang warga Jakarta  bernama Bunyani. Tersebarnya video tersebut, menimbulkan reaksi umat Islam begitu besar.
Hal ini ditunjukkan dengan gelombang aksi besar-besaran untuk menyampaikan aspirasi, jutaan umat Islam hadir di Masjid Istiqlal dan Istana Negara tanggal, 4 November 2016, dengan tuntutan menghukum Ahok karena menista agama, yang dikenal dengan aksi 411.
Namun karena Ahok sudah dijadikan tersangka namun belum ditangkap, maka aksi jutaan umat Islam berlanjut di Monas dan jalan-jalan protokol di Jakarta pada tanggal, 2 Desember 2016, yang dikenal dengan aksi 212.
Aksi ini berlangsung super damai dan memecahkan rekor dunia karena untuk pertama kalinya terjadi di dunia di luar Kota Mekkah, shalat Jum’at dihadiri jutaan jama’ah, di antara jama’ah yang hadir adalah Presiden RI Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, Menteri Polhukam Wiranto, Ketua MUI, dan sejumlah ulama dan habaib.
Menyusul aksi yang digelar oleh ribuan umat Islam, tanggal, 13 Maret 2017, yang dikenal dengan aksi damai 313, star dari Masjid Istiqlal menuju Istana Presiden RI.
Melalui proses persidangan yang terbuka dan transparan, akhirnya hakim memutuskan Ahok bersalah karena menodai agama dan dihukum penjara 2 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal, 9 Mei 2017.  
Fenomena tersebut, menimbulkan aroma ketegangan berlatar agama, namun umat Islam yang mayoritas di negeri ini menyikapi dengan arif dan bijaksana, berjuang sesuai kehendak konstitusi tanpa kekerasan, mengutamakan kebersamaan demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI), Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama