Terusik Pengumuman di Koran Pedoman Rakyat


Suatu hari, di tengah keasyikannya membungkus kain di Pasar Butung, tiba-tiba mata Sahban tertarik pada tulisan yang ada di secarik potongan kertas koran. Tulisan itu adalah berisi iklan pengumuman di Harian Pedoman Rakyat (koran Harian Pedoman Rakyat terbit pertama kali pada 01 Maret 1947). Tulisan di potongan lusuh Koran Pedoman Rakyat di tangan Sahban itu berbunyi, “SEKOLAH DI SURABAYA DENGAN IKATAN DINAS.


--------

PEDOMAN KARYA
Kamis, 06 Desember 2018


Biografi Sahban Liba (7):


Terusik Pengumuman di Koran Pedoman Rakyat


Penulis: Hernita Sahban Liba


Pasar Butung dulunya dinamakan Passer Boetoeng oleh penjajah Belanda. Pasar Butung terletak sekitar dua ata tiga kilometer dari pusat kota saat itu, yaitu Koningsplein, yang belakangan menjadi Lapangan Karebosi, Makassar.

Nama Pasar Butung diambil dari nama Kampung Butung yang masuk dalam wilayah Distrik Wajo (sekarang Kecamatan Wajo). Dinamakan Kampung Butung, karena konon dulu penduduknya didominasi orang asal Buton, Sulawesi Tenggara. Nama Buton inilah yang kemudian berubah menjadi Butung.

Sejak dahulu, kampung buton atau butung menjadi kawasan segitiga emas perdagangan di Makassar, karena terletak di antara kawasan pecinan (Jl. Bali dan sekitarnya), perkantoran penjajah Belanda (Jl. Krg. Riburane dan sekitarnya), serta pintu I pelabuhan laut (Pelabuhan Soekarno Hatta sekarang).

Pada tahun 1922, Pasar Butung memiliki terminal stasiun kereta api, yang rutenya menghubungkan Pelabuhan Makassar, Sungguminasa, sampai ke kota Takalar.

Pembangunan Pasar Butung dirintis oleh calon Walikota Makassar berkebangsaan Belanda,, J. E. Dambrink, dan kemudian diresmikan oleh pemerintah penjajah Belanda pada tahun 1917. J. E. Dambrink kemudian dikukuhkan sebagai Walikota Makassar pada tahun 1918 dan menjabat hingga tahun 1927.

Pada masa itu, Pasar Butung merupakan pasar yang terbesar dan paling ramai di Makassar, dan juga tertinggi penghasilannya dibandingkan pasar tradisional yang ada. Tercatat jumlah pemasukan Pasar Butung pada tahun 1941, yaitu sebesar f3975,46.

Lahan Pasar Butung ketika itu masih cukup luas dan renggang, serta dilengkapi berbagai macam fasilitas seperti lapangan sepak takraw, serta tempat bermain bagi anak-anak. Karena itulah, para pedagang dan masyarakat yang datang berbelanja ke Pasar Butung, sering membawa anak-anak mereka agar bisa menikmati fasilitas tempat bermain, antara lain bermain lompat tali dan main dendeh.

Di Pasar Butung itulah, kakak Sahban berjualan. Sahban membantu kakaknya di tengah aktivitasnya bersekolah. Kakaknya bekerja sebagai penjual kain di pasar ini. Sahban antara lain membantu membungkus kain dengan kertas koran.

Suatu hari, di tengah keasyikannya membungkus kain di Pasar Butung, tiba-tiba mata Sahban tertarik pada tulisan yang ada di secarik potongan kertas koran. Tulisan itu adalah berisi iklan pengumuman di Harian Pedoman Rakyat (koran Harian Pedoman Rakyat terbit pertama kali pada 01 Maret 1947).

Tulisan di potongan lusuh Koran Pedoman Rakyat di tangan Sahban itu berbunyi, “SEKOLAH DI SURABAYA DENGAN IKATAN DINAS.

Sahban pun melanjutkan membaca isi berita tersebut, yang berbunyi, “Kepada para pemuda pelajar di seluruh Indonesia, di Surabaya telah dibuka sekolah PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) dan kepada yang lulus langsung mendapatkan ikatan dinas dan tinggal di asrama tanpa bayar. Mata pelajaran yang akan diujikan adalah agama, ilmu bumi, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu alam. Ujian dilaksanakan pada tanggal 1 April 1954 jam 09.00 di Sekolah PGAN Surabaya.

PGAN adalah nama sebuah sekolah baru untuk calon guru agama saat itu. PGAN baru muncul pada tahun 1952. Sebelumnya, hanya ada SGAI (Sekolah Guru Agama Islam) dan SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama).

Pemerintah menggabungkan SGAI dan SGHA menjadi PGAN. PGAN mendidik pelajar menjadi guru-guru agama. Masa pendidikan di PGAN adalah enam tahun. Sebelumnya hanya lima tahun.

Saat itu, Menteri Agama mengeluarkan Penetapan Nomor 35/1953, tanggal 21 November 1953, yang mengubah panjang pendidikan di PGAN menjadi enam tahun. Enam tahun tersebut dibagi menjadi dua jenjang, yaitu jenjang PGAPN dan PGAAN.

PGAPN (Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri) berlangsung empat tahun pertama, atau dari kelas I hingga kelas IV, sedangkan PGAAN (Pendidikan Guru Agama Atas Negeri) adalah lanjutan dari PGAPN, ditempuh dua tahun terakhir.

Setelah membaca pengumuman di Harian Pedoman Rakyat tersebut, Sahban benar-benar terusik. Ia tidak tenang. Ia gelisah. Ia kemudian berpikir bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk belajar selama enam tahun di Surabaya. Jika lulus, ia juga tidak perlu lagi khawatir dengan makan, pakaian, dan tempat tinggal.

Begitu lulus ia akan tinggal di asrama dan semua kebutuhannya dipenuhi. Kelak, lulus dari PGAN, ia akan langsung menjadi guru agama. Ia tidak perlu melamar lagi, karena ia sudah mendapatkan ikatan dinas jika lulus dari sekolah tersebut.

Berhari-hari lamanya Sahban memikirkan pengumuman tersebut. Pada malam hari, ia merenung, memandang ke langit, sambil menghitung bintang-bintang tanpa batas, tapi jawaban di hati belum juga tiba.

Dimana itu Surabaya? Bagaimana berangkat ke Surabaya? Tinggal dimana di Surabaya? Berapa uang yang disiapkan untuk pergi ke Surabaya? Akhirnya Sahban tertidur pulas dan terbangun sekitar pukul 3.30 dini hari, dan kemudian melakukan shalat lail atau shalat tahajjud. Saat itu umurnya sekitar 17 tahun.

Ia menganalisis sendiri tingkat kemungkinan kelulusan, tanpa meminta pendapat kepada siapapun. Bahkan orang tua dan saudara-saudaranya pun tidak tahu rencana mulianya. Sahban sengaja tidak memberitahukan masalah yang dihadapinya, karena takut ditolak atau diberi pilihan lain yang bertentangan dengan hati sanubarinya.

Sahban kemudian memutuskan berangkat. Sahban yakin akan lulus karena ia menguasai 100% pelajaran aljabar, pelajaran ilmu ukur, dan pelajaran ilmu alam. Dari tiga mata pelajaran itu saja, Sahban sudah akan mendapat angka 300.

Sementara itu, dua mata pelajaran lagi, yaitu tulis dan baca al-qur’an, katakanlah Sahban mendapat angka 0, maka ia masih akan lulus, karena telah mendapatkan nilai 300 dari tiga mata pelajaran eksak. Total nilai yang akan ia peroleh adalah 300, yang jika dibagi dengan lima mata pelajaran akan mendapatkan nilai rata-rata 6, dan itu berarti dirinya akan lulus.

Editor: Asnawin Aminuddin

Artikel Terkait:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama