Sri Rahmi: Kita Cenderung Tabu Mengajarkan Pendidikan Seks kepada Anak


PENDIDIKAN SEKS. Anggota DPRD Sulsel, Sri Rahmi, berbicara di hadapan sejumlah warga Jl Regge I, Kelurahan Rappojawa, Kecamatan Tallo, Makassar, Kamis, 07 Maret 2019, dalam rangka Penyebarluasan Produk Hukum Daerah, Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak.(ist)




-----

Jumat, 08 Maret 2019


Sri Rahmi: Kita Cenderung Tabu Mengajarkan Pendidikan Seks kepada Anak


MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA). Kita cenderung merasa tabu mengajarkan pendidikan seks kepada anak-anak, padahal ini penting bagi anak itu supaya tidak jadi korban kekerasan seksual.

Ucapan itu diungkapkan Anggota DPRD Sulsel, Sri Rahmi, kepada sejumlah warga Jl Regge I, Kelurahan Rappojawa, Kecamatan Tallo, Makassar, Kamis, 07 Maret 2019, dalam rangka Penyebarluasan Produk Hukum Daerah, Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang Sistem Perlindungan Anak.

“Kalau ada anak kita perempuan, maka kita ajarkan mereka pengetahuan dan pertahanan diri. Misalnya, kalau ada yang sentuh bagian yang sensitif dan terlarang, maka minta dia untuk langsung berteriak dan lari meminta tolong,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga aktivis perempuan ini.

Sri Rahmi mewanti-wanti untuk selalu berhati-hati, karena pelaku kekerasan seksual tidak menutup kemungkinan merupakan orang sekitar yang dikenal anak.

“Semoga di Rappojawa ini zero (nol, tidak ada) kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual,” katanya.

Apa yang disampaikan oleh Sri Rahmi, dibenarkan Ibu Jamilah yang merupakan ibu dari enam anak.

Menurut Ibu Jamilah, orangtua perlu peka melihat perkembangan anak, perlu antisipasi, karena ada banyak kasus di mana pelakunya justru orangtua kandung atau kerabatnya sendiri.

Sosialisasi Perda

Sosialisasi produk hukum daerah ini merupakan agenda DPRD Provinsi Sulsel yang dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan.

Menurut Sri Rahmi, semua Anggota DPRD Sulsel periode 2014-2019 kembali ke daerah pemilihan (Dapil) masing--masing untuk kegiatan penyebarluasan Perda seperti ini. Isu kekerasan mengemuka karena relevan dengan International Women's Day (IWD) tema tahun ini yakni “Bergerak Bersama, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan.”

IWD diperingati setiap tanggal 8 Maret, katanya, sehingga momen Hari Perempuan Internasional itu dimanfaatkan juga untuk memberikan kesadaran gender bagi warga. Dalam hal ini terkait dengan ketidakadilan gender berupa kekerasan terhadap perempuan.

Menurut Sri Rahmi, implementasi Perda tentang Sistem Perlindungan Anak hanya akan berhasil jika ada sinergitas antara pemerintah, masyarakat dan orangtua. Perlindungan anak itu butuh pendekatan multistakeholder, termasuk dari dunia usaha.

Beberapa Perda yang kerap jadi agenda sosialisasi perempuan yang akrab disapa Bunda itu adalah Perda tentang Air Susu Ibu (ASI), Perda tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok, dan Perda tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Kesemua Perda yang menjadi konsen Sri Rahmi ini memiliki benang merah terhadap isu hak dan perlindungan anak.

Sentuhan Kasih

Sri Rahmi menekankan agar orangtua bukan hanya memperhatikan tumbuh kembang anak dari aspek fisik tapi juga psikis. Jadi kewajiban kita bukan hanya memenuhi kebutuhan makan anak-anak tapi juga memberikan sentuhan kasih sayang. Jadi orangtua, kata Sri Rahmi, harus cerdas.

Pada berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan agar kita semua menjaga adat budaya. Katanya, ada hal sederhana yang perlu diwariskan ke anak-anak, yakni ucapan terima kasih, meminta tolong, dan meminta maaf.

“Sering kita hanya menuntut anak yang meminta maaf. Padahal orangtua juga bisa punya salah. Tapi kita tidak minta maaf. Jangan gengsi minta maaf ke anak-anak. Karena itu kita telah memberi contoh keteladanan,” tutur Sri Rahmi .

Bias Gender

Rusdin Tompo, aktivis anak yang diundang sebagai narasumber memaparkan bahwa ketidakadilan gender itu berawal dari pengenalan dan penanaman nilai--nilai yang bias gender.

Nilai-nilai gender itu dipraktikkan di rumah oleh orangtua, diajarkan di sekolah yang merupakan bagian dari pendidikan, disosialisasikan oleh media dan diperkuat oleh kebijakan negara. Dari nilai-nilai yang bias itu, lalu merembet ke peran gender yang jika salah kaprah akan berakibat pada ketidakadilan gender.

“Kita bisa lihat, dalam keluarga, misalnya anak perempuan diminta menyapu, mencuci piring, sedangkan yang anak lelaki leluasa bermain di luar rumah. Inilah internalisasi ketidakadilan gender mulai dibangun,” jelas Rusdin Tompo, yang ikut dalam kepengurusan LPA Sulsel, pada periode awal lembaga itu didirikan tahun 1998. (din)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama