Berlari-lari dan Main Bola di Lapangan Sekolah SD Negeri 10 Ela-ela Bulukumba


PINTU GERBANG SD Negeri 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, diabadikan pada Sabtu, 08 Juni 2019. (Foto-foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





-----
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 08 Juni 2019


Berlari-lari dan Main Bola di Lapangan Sekolah SD Negeri 10 Ela-ela Bulukumba


Oleh: Asnawin Aminuddin
(Siswa SD Negeri 10 Ela-ela, 1974-1980)

Berlari-lari dan saling kejar-kejaran dari kelas ke kelas, bermain bola di halaman depan sekolah, berkejar-kejaran di halaman belakang sekolah yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar dan ilalang.

Kami bermain dan berkejar-kejaran setiap hari tanpa beban. Kami bahkan kerap bergerombol pergi ke pantai yang jaraknya hanya sekitar tiga ratus meter dari sekolah kami.

Begitulah kami saat masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri 10 Ela-ela, Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, antara tahun 1974 hingga 1980.


Sekolah ini berjarak kurang lebih satu kilometer dari Kantor Bupati Bulukumba arah ke wilayah timur Kabupaten Bulukumba.

Ela-ela dulu hanya sebuah kampung, tapi sekarang menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Ujungbulu.

Kami yang terdaftar sebagai murid baru antara lain saya sendiri (Asnawin Aminuddin), Suryanama (yang akrab disapa Riri’), Daud Kahal (kami memanggilnya Kahal), Obeth (sekarang perwira tentara), Jemis (anak dari Komandan Kodim 1411 Bulukumba waktu itu).

Juga ada Baharuddin (Bahar, pindahan dari Kabupaten Selayar), Ermawati, Rano, Najmiati (Naje), Rahbiah (Bia), Ambo Masse, Ambo Rappe, Baso, Nurdin, Abdul Razak, dan Jamaluddin.

Tentu masih ada sejumlah nama lainnya, tapi untuk mengingat nama-nama teman seangkatan kami tahun 1974-1980, tentu tidak mudah.

Selain karena jarak waktunya yang sudah cukup lama yakni 39 tahun (saat tulisan ini kami buat pada Sabtu, 08 Juni 2019) terhitung sejak kami tamat SD, kami juga sudah jarang bertemu.

Waktu itu, beberapa ruangan kelas sekolah kami masih berdinding papan dan berlantai tanah. Pagar depan dihiasi dengan pohon ''kayu cina'' yang daunnya sering dijadikan makanan untuk kambing peliharaan.

Halaman depan selalu dijadikan tempat bermain sepakbola setiap jam istirahat (dulu istilahnya ''keluar-main'').

Halaman belakang sekolah kami penuh dengan ilalang, tumbuh-tumbuhan, dan pohon-pohon besar. Di sana kami selalu bermain, berkejar-kejaran, dan kadang-kadang berkelahi.

Kami bersekolah di SD Negeri 10 Ela-ela selama enam setengah tahun, karena kebetulan waktu itu pemerintah memperpanjang satu semester waktu belajar sekitar tahun 1978.

Ayah saya (Aminuddin Gudang Dg Taba) kebetulan salah seorang guru di sekolah tersebut. Entah ada hubungannya atau tidak, saya kebetulan selalu menempati rangking tiga besar setiap pembagian raport.

Dampaknya, saya sering mewakili sekolah pada setiap ada lomba mata pelajaran dan lomba cerdas-cermat antar-sekolah.

Saya juga aktif mengikuti latihan pramuka dan senang berkemah, serta beberapa kali mengikuti lomba seni, khususnya lomba baca puisi.

Selain itu, saya juga senang menulis sajak dan cerita pendek, tetapi hanya jadi koleksi pribadi.

Kepala Sekolah dan Guru

Kepala sekolah waktu itu dijabat Muhammad Saleh BA, tetapi saat kami tamat beliau sudah dipindahkan ke sekolah lain, sehingga ijazah kami ditandatangani oleh penilik (sekarang disebut pengawas sekolah) Drs Ambo Rasyid.

Guru kami waktu itu antara lain, ibu Illang (maaf saya lupa nama aslinya, beliau adalah isteri dari Muhammad Saleh BA), Ibu Nur'aeni (almarhumah) Ibu Nurwahidah, Ibu Fatmah, Pak Paremma, Ibu Kamsina, Ibu Hamsina, dan Ibu Mariyama.

Rp1 per biji

Salah satu kebiasaan kami dulu dan kebiasaan anak-anak pada umumnya yaitu jajan pada jam istirahat atau pada saat keluar main.

Yang saya ingat dan mudah-mudahan tidak salah, harga kue-kue pada saat itu hanya Rp1 (satu rupiah) per biji.

Kue yang jadi andalan (banyak disukai) ketika itu ialah ubi goreng dan ketto' (getuk), tapi ketto' saat itu di kampung kami berbeda dengan getuk yang dijual sekarang.

Ketto' khas kami ketika itu dibuat dari ubi kayu (singkong) yang dimasak lalu ditumbuk dan kemudian dibentuk bulat-bulat dengan ukuran kurang lebih seperti bola pingpong. Lalu dimakan dengan sambel yang juga dicampur dengan singkong rebus yang sudah ditumbuk (sekarang diblender).

Jalan Tembus dari Kodim

Sekolah kami dulu juga menjadi jalan alternatif dan jalan pintas bagi para pejalan kaki, karena ada jalan tembus dari Kantor Kodim 1411 Bulukumba menuju kampung Ela-ela.

Jalan tembus itu mungkin sekarang sudah tidak ada lagi sehingga harus memutar di SPBU dekat SMA Negeri 1 Bulukumba.***

------
Baca juga:

Jadi Guru Tahun 1957, Gaji Pertama Rp375 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama