Obrolan Ayah dan Anak tentang Kopi dan Gula


Sepulang shalat subuh berjamaah di masjid, sang ayah meminta anaknya untuk membuatkan kopi dua cangkir. (int)






-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 10 Juli 2019


Obrolan Ayah dan Anak tentang Kopi dan Gula



Suatu hari, sang ayah yang tinggal di kampung kedatangan anaknya yang tinggal di kota. Sang ayah tetap hidup sederhana di kampung sebagai seorang petani dan sekaligus guru mengaji, sedangkan anaknya hidup mapan di kota adalah seorang profesional.

Sepulang shalat subuh berjamaah di masjid, sang ayah meminta anaknya untuk membuatkan kopi dua cangkir.

“Anakku, meskipun kamu sudah berkeluarga dan ibumu juga masih ada, aku ingin sekali kamu membuatkan kopi panas untuk ayah,” kata sang ayah.

“Baik ayah,” kata anaknya

“Tolong buatkan dua cangkir kopi untuk kita berdua nak,” kata sang ayah

“Baik ayah,” kata anaknya.

“Tolong gulanya jangan engkau tuang dulu. Bawa saja ke mari beserta wadahnya,” kata sang ayah.

“Baik ayah,” kata anaknya.

Anaknya kemudian membuat kopi sesuai permintaan sang ayah. Ia membawa dari dapur dua cangkir kopi panas yang dialasi piring kecil dan masing-masing dengan sendok kecil, serta toples kecil berisi gula pasir.

Setelah ngobrol beberapa saat, sang ayah meminta anaknya untuk menyeruput kopinya.

“Cobalah kamu rasakan kopimu nak, bagaimana rasa kopimu tanpa gula,” kata sang ayah.


Setelah mencoba, anaknya kemudian berkata, “Rasanya pahit sekali ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang ayah.

Sang anak kemudian melakukan sesuai permintaan ayahnya dan kemudian berkata, “Rasa pahitnya sudah mulai berkurang ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang ayah.

Sang anak kembali melakukan sesuai permintaan ayahnya dan kemudian berkata, “Rasa pahitnya sudah banyak berkurang ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” sang ayah kembali mengucapkan kalimat yang sama.

Sang anak kembali melakukan sesuai permintaan ayahnya dan berkata, “Rasa manis mulai terasa, tapi rasa pahit juga masih sedikit terasa ayah.’

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang ayah.

Sang anak kembali melakukan sesuai permintaan ayahnya dan berkata, “Rasa pahit kopi sudah tidak terasa, yang ada rasa manis ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang ayah.

Sang anak dengan sabar melakukan sesuai permintaan ayahnya dan berkata, “Rasanya sudah sangat manis ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang ayah.

Sang anak dengan sabar melakukan sesuai permintaan ayahnya dan berkata, “Rasanya terlalu manis, malah tidak enak ayah.”

“Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya,” kata sang dengan kalimat yang sama

Sang anak lagi-lagi dengan sabar melakukan sesuai permintaan ayahnya dan berkata, “Rasa kopinya jadi tidak enak. Lebih enak saat ada rasa pahit kopi dan manis gulanya sama-sama terasa ayah.”


Kemiskinan dan Kekayaan

Sang ayah tersenyum dan kemudian berkata, “Jika rasa pahit kopi ibarat kemiskinan hidup kita, dan rasa manis gula ibarat kekayaan harta, lalu menurutmu kenikmatan hidup itu sebaiknya seperti apa nak?”

Sejenak sang anak termenung, lalu menjawab, “Sekarang saya mulai mengerti, bahwa kenikmatan hidup dapat kita rasakan, jika kita dapat merasakan hidup secukupnya, tidak melampaui batas. Terimakasih atas pelajaran ini, ayah.”


Sang ayah kembali tersenyum dan berkata, “Anakku, kopi yang sudah kamu beri gula tadi, coba campurkan dengan kopi yang belum kamu beri gula, aduklah, lalu tuangkan dalam kedua cangkir ini, lalu kita nikmati masing-masing secangkir kopi.”

Sang anak melakukan sesuai permintaan ayahnya. Sambil tersenyum ayahnya kemudian meminta dirinya mencoba kopi yang sudah dicampur dan diaduk tersebut

“Bagaimana rasanya?” tanya sang ayah

“Rasanya nikmat ayah,” kata anaknya.

“Pelajaran apa yang dapat kamu petik dari uji coba ini?” tanya sang ayah sambil tersenyum.

“Artinya kita harus sering berbagi ayah,” kata anaknya.

“Begitulah anakku. Jika kita memiliki kelebihan uang dan harta, akan terasa nikmat bila kita mau membaginya dengan orang-orang yang kekurangan,” kata sang ayah lagi-lagi sambil tersenyum dan kemudian menyeruput kopinya. (Asnawin Aminuddin, diformulasi ulang dari kisah yang banyak menyebar di media sosial)


------
Baca juga:

Ular dan Gergaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama