Karaeng Turikale Maros Kini Ada Dua


DUALISME. Karaeng Turikale Maros kini ada dua. Dualisme Karaeng Turikale tersebut terjadi setelah Brigjen Pol (P) Dr Achmad Aflus Mapparessa MM MSi dilantik sebagai Karaeng Turikale VIII, di Maros, pada 05 September 2019. Inzet: Massulangka Karaeng Situju. 





-------

Jumat, 06 September 2019


Karaeng Turikale Maros Kini Ada Dua

-          Satu Raja dan Satu Ratu
-          Brigjen Achmad Aflus Mapparessa sebagai Karaeng Turikale VIII
-          Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu  sebagai Karaeng Turikale IX


MAROS, (PEDOMAN KARYA). Karaeng Turikale Maros kini ada dua. Dualisme Karaeng Turikale tersebut terjadi setelah Brigjen Pol (P) Dr Achmad Aflus Mapparessa MM MSi dilantik sebagai Karaeng Turikale VIII, di Maros, pada 05 September 2019.

Sementara Dewan Adat Turikale Maros hanya mengakui Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu sebagai Karaeng (Ratu) Turikale IX, setelah dilantik oleh Dewan Adat Turikale pada 24 Maret 2019, dan disahkan oleh Dewan Adat Nasional pada 05 April 2019.

Pelantikan Achmad Aflus Mapparessa sebagai Karaeng Turikale VIII, di Gedung Serbaguna Pemkab Maros, Jl Asoka, Kecamatan Turikale, Maros, Kamis, 05 September 2019, dihadiri Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, Bupati Maros, Hatta Rahman, mantan Ketua DPRD Kabupaten Maros, Chaidir, Wali Kota Makassar, Iqbal Samad Suhaeb, serta sejumlah pejabat tingkat Provinsi Sulsel.

Juga hadir sejumlah bangsawan dari luar negeri seperti Meksiko, Malaysia, Australia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lainnya.

Dari dalam negeri, hadir 70 Raja dan Sultan se-Nusantara, sejumlah Karaeng yang tergabung dalam aliansi Toddolimayya ri Marusu, seluruh dewan adat, keluarga Karaeng se-nusantara, dan terkhusus keluarga Karaeng Turikale.

Sebelum memasuki acara penobatan karaeng Turikale, terlebih dahulu dilangsungkan beberapa rangkaian acara, seperti Mala Lise’ Tana Menroja, Lekka wae Loppo, Cemme Majeng, Pasitekkereng Lawolo, Ripasessu ri Menrawe, dan Ripallejja Tana Menroja.

Dewan Adat Tidak Mengakui

Beberapa waktu lalu, Ketua Dewan Adat Turikale Maros, Massulangka Karaeng Situju, memprotes rencana penobatan Karaeng Turikale VIII dari Kerajaan Adat Turikale Maros dan mengharapkan Pemerintah Kabupaten Maros dan Pemprov Sulawesi Selatan hanya mengakui sesuai mazhab yang benar dari garis keturunan yang sah.

Massulangka memprotes pelantikan tersebut terutama untuk menghindari kekisruhan adat seperti yang terjadi di beberapa kerajaan adat lain, termasuk di Sulsel (Gowa dan Luwu), karena tujuan melestarikan pewaris tahta kerajaan adat adalah untuk melestarikan adat dan budaya, serta saling bersinergi antara adat dan budaya dengan pemerintahan di daerah.

“Sebagai Ketua Dewan Adat yang sah, saya sudah diminta oleh Karaeng Marusu untuk hadir dalam penobatan (Achmad Aflus Mapparessa sebagai Karaeng Turikale VIII), namun saya menolak, karena saya berpegang teguh pada mazhab (garis keturunan), serta menghormati Karaeng Turikale IX yang sudah dilantik oleh Dewan Adat Turikale dan diakui oleh Dewan Adat Nasional,” kata Massulangka yang didampingi 11 dewan adat lainnya kepada wartawan di Makassar, beberapa waktu lalu.

Karaeng Turikale VIII, katanya, adalah Kamaruddin Sjahban Daeng Mambani yang dinobatkan Tahun 1958, dan kini sudah wafat.

Setelah itu, Dewan Adat Turikale menobatkan Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu  sebagai Karaeng (Ratu) Turikale IX pada pada 24 Maret 2019, dan disahkan oleh Ketua Dewan Adat Nasional, Prof Dr H E Irwannur Latubual MM MH PhD (Raja Pulau Buru XXI), pada 5 April 2019.

Selain itu, lanjut Massulangka, negara juga mengakui Karaeng Turikale IX dengan mengundang hadir di Istana Negara Jakarta, saat peringatan HUT ke-74 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus 2019.

Massulangka mengatakan, Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu merupakan cucu dari Karaeng  (Raja dan Permaisuri) Turikale VI, Andi Abdul Hamid Puang Nassa, serta juga keturunan langsung dari Karaeng Turikale V dan Karaeng Turikale IV.

“Jangan ada dualisme Karaeng Turikale di Maros, sebab itu akan menjadi bahan tertawaan publik, khususnya kerajaan kerajaan adat Nusantara yang selama ini harmonis,” kata Massulangka.

Kecenderungan di Sulawesi Selatan, katanya, ada perebutan kekuasaan raja adat dan diharapkan tidak terjadi di Kerajaan Adat Turikale Maros.

“Mari kita saling menjaga, saling menghormati dan menempatkan ahli waris raja adat sesuai garis keturunan atau mashab yang kita ketahui bersama,” tegas Massulangka.

Jangan Mengada-ada

Kalau ada yang protes hingga harus mengganti Raja Adat karena Karaeng Turikale IX, Hj Andi Alice Tenriawaru Karaeng Rannu, adalah wanita, maka anggapan itu dianggap salah besar, karena tidak ada dalam lontara aturan tentang itu.

Dia mengatakan, kerajaan besar di Sulsel seperti Gowa, raja pertamanya adalah wanita. Kerajaan Bone juga ada rajanya yang wanita. Bupati, walikota, gubernur, menteri, hingga presiden di Indonesia juga ada wanita.

“Sejak zaman dahulu hingga sekarang tidak ada diskriminasi terhadap wanita dalam pemerintahan dan kerajaan. Jadi janganlah mengada-ngada untuk mencapai ambisi tertentu,” kata Massulangka.

Dia mengajak semua pihak agar bersama-sama melestarikan adat dan budaya dan saling bersinergi dengan pemerintah untuk pembangunan dan kesejahteraan bersama.

“Kita tidak perlu kisruh. Kita tidak perlu saling mempermalukan untuk jabatan Karaeng (Raja Adat), tetapi mari sebagai pemegang dan pelestari adat, kita bermusyawarah untuk sesuatu yang sifatnya strategis dalam upaya pelestarian adat dan budaya, khususnya di Maros sebagai wujud partisipasi kita dalam pembangunan nasional secara utuh,” tutur Massulangka. (asnawin)

-------
Baca juga:

Sejarah dan Asal-usul Kata Bantimurung 

Tujuh Keajaiban Objek Wisata di Bantimurung

Bantimurung, Surga Bagi Para Petualang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama