Jangan Mewarisi Wanita dengan Jalan Paksa


Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksa, dan jangan kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang baik. (QS An-Nisa/4 : 19)




-------

PEDOMAN KARYA
Sabtu, 08 Februari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (19):


Jangan Mewarisi Wanita dengan Jalan Paksa



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksa, dan jangan kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang baik. (QS An-Nisa/4 : 19)

Ayat ini disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. dan tentunya juga untuk orang-orang beriman dalam rangka menegaskan betapa ajaran Allah SWT, ingin memelihara status kehormatan perempuan, yang mana di zaman jahiliah perempuan diperlakukan sebagai barang warisan.

Bagi orang-orang beriman yang hidup di zaman kekinian, tantangan hidup berkeluarga, godaan-godaan keterbukaan hidup sering menjadi pemicu pertengkaran keluarga.

Maka sangat baik bila masing-masing orang beriman itu, memelihara diri dengan menaati aturan Allah SWT, sebagaimana telah diyakini bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai aturan-aturan dalam rangka memenuhi Maha Kasih dan sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Agar pembahasannya sedikit lebih rinci, berikut akan diuraikan tahap demi tahap.

Pertama;Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan jalan paksa”, dan jangan kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata”.

Buya Hamka dalam tafsir Al-Ahzar menggaris-bawahi dua kebiasaan buruk zaman jahiliyah yang sangat dicela oleh Al-Qur’an, yakni kebiasaan pertama adalah memandang perempuan sebagai harta pusaka, sebagai warisan dari orang yang telah mati.

Kebiasaan kedua adalah melakukan ‘adhal, yakni sengaja membuat agar hati perempuan itu sakit, membuat pikirannya jadi sempit sehingga dia tidak berdaya lagi, menyerah saja kepada laki-laki yang memperdaya itu, apapun yang diperlakukannya terhadap hak miliknya.

Kebiasaan ini dilakukan karena berlatar-belakang selain ingin menikmati kesenangan, juga karena ingin menguasai harta warisan yang diterimanya atas sepeninggal suaminya.

Kedua kebiasaan ini, oleh Islam yang dibawa Rasulullah s.a.w, wajib diberantas, karena itu tindakan aniaya (zalim).

Kondisi umat pada periode turunnya ayat 19 Surah An-Nisa ini masih terpengaruh oleh kebiasaan jahiliyah, dimana menurut suatu keterangan yang disampaikan oleh Al-Bukhari, Abu Daud, dan An-Nasa’i yang bersumber dari Ibni Abbas, dikatakan bahwa pada zaman jahiliyah dahulu, bila ada seorang laki-laki meninggal dunia para walinya lebih berhak dari pada isteri yang ditinggal mati suaminya itu, maka turunlah ayat ini.

Suatu keterangan yang diperoleh dari Abi Umamah bin Salbin Hanif yang dikemukakan oleh Ibnr Jarir dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan (baik).

Ketika itu Abu Qais bin Al-Aslat meninggal dunia, anak laki-laki dari Abu Qais bin Aslat ini ingin mengawini isteri yang ditinggalkan ayahnya dimana isterinya itu adalah ibu tiri dari anak laki-laki tersebut.

Hal ini merupakan kebiasaan orang-orang jahiliyah di masa lalu mereka, yang menganggap wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah merupakan warisan. Dengan kondisi ini pun turun ayat: “Tidak dihalalkan bagi kamu mewarisi wanita secara paksa”, dan seterusnya.

Hadits ini diperkuat dengan riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah. Amat tegas bahwa wanita bukanlah warisan, bahkan firman Allah SWT; “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan.(QS An-Nisa/4: 22)

Jadi kebiasaan mewarisi dan ‘adhal tegas dilarang oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an.

Khusus untuk perlakuan ‘adhal (mempersempit ruang hidup mereka) diberikan pengecualian oleh Allah SWT, yakni: “terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata”.

Buya Hamka merujuk pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan Adh-Dhahhak bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang istri dikategorikan kekejian yang nyata bila perempuan itu durhaka kepada suaminya (nusyuz) atau pun perangainya buruk, kasar, dan tidak sopan.

Sedangkan menurut Al-Hassan yang dimaksud kekejian yang nyata ialah jika dia berzina dan termasuk juga dengan perilaku menyimpang dalam masyarakat seperti lesbian. Namun harus benar-benar dipahami bahwa dalam nash ini, kalimatnya tegas, yaitu “kekejian yang nyata.

Dengan demikian, jika hanya fitnah, atau tuduhan karena benci atau mencari-cari hal agar dapat mempersempit ruang / kesempatan mereka (adhal), maka hal ini tidak dapat dibenarkan.

Hanyalah dengan alasan kekejian yang nyata tersebut yang membolehkan mempersempit kehidupan mereka, jangan gampang cari-cari alasan lain, atau ceraikan saja mereka dengan baik-baik, sebagaimana petunjuk Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 231.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…, (QS Al-Baqarah/2: 231).

Kedua,Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. Begitulah perintah Allah SWT kepada para suami yang beriman, yakni perlakukanlah mereka (para istrimu) dengan cara yang patut, berupa perbuatan yang baik, kata-kata yang baik dan lembut, bermuka riang dan gaya yang menarik.

Perlakukanlah mereka (para istri) demikian, sebagaimana para suami juga ingin diperlakukan demikian. Allah SWT mengingatkan lewat firmanNya:“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS Al-Baqarah/2: 228).

Penggalan ayat ini menunjukkan persamaan hak bagi wanita yang seimbang dengan kewajibannya. Adapun suami dikatakan mempunyai satu tingkat kelebihan dibanding istri, karena suami itu diberi kewajiban memimpin keluarganya (imam) dan juga berkewajiban menafkahinya. (QS An-Nisa/4: 34)

Dalam hal perlakuan suami terhadap istri, Rasulullah s.a.w mengajarkan dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan juga Ibnu Majah, beliau bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang baik terhadap ahlinya (istrinya). Dan aku adalah seorang yang baik terhadap ahliku.

Untuk membina keluarga yang baik, Allah SWT mengajarkan do’a kepada hamba-Nya yang digelar Ibadur Rahman, dengan FirmanNya:


“Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (bagi kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS Al-Furqan/25: 74).

Di sini sengaja dituliskan naskah ayatnya untuk dapat dihapalkan bagi para suami yang belum hafal atau untuk mengingatkan bagi mereka yang sudah menghafalnya, agar senantiasa diamalkan dalam do’a dan munajatnya kepada Ilahy Rabbi. 

Ayat ini berisi dua kandungan pokok do’a, yakni; (1) memohon kepada Allah SWT agar dianugerahi istri dan anak yang menyejukkan mata, yang menyenangkan hati, dan (2) memohon agar para suami dapat menjadi imamnya orang-orang yang bertaqwa.

Sekaligus untuk dipahamkan bahwa sejatinya istri dan anak harus mampu memainkan peran mereka sebagai penyejuk mata dan penenang hati, sedangkan para suami (dari para istri) atau ayah (dari anak-anak) harus mampu menjadi imamnya orang-orang bertaqwa.

Dengan demikian kalau suami adalah imam keluarga, maka haruslah dipastikan bahwa seluruh anggota keluarganya yang menjadi makmumnya itu terdiri dari orang yang –terdidik menjadi orang—bertaqwa.

Ketiga, Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Ibrah atau nasehat dalam ayat ini sepatutnya diperhatikan oleh pasangan suami istri. Sebagai penutup, berikut ini dikutipkan penjelasan Quraish Shihab: Jika kamu masih cinta kepadanya, asah dan asuhlah cinta itu, tetapi jika kamu tidak lagi menyukai mereka, maka bersabarlah dan jangan gegabah bertindak (bercerai), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, termasuk tidak menyukai pasanganmu dalam beberapa sifat, padahal Allah menjadikan padanya, yakni pada apa yang kamu tidak sukai itu atau pada diri pasanganmu itu sesuatu yang mengandung kebaikan yang banyak.

Alangkah indahnya kehidupan rumah tangga sepasang suami istri sekiranya suami istri itu sama-sama mau menata hidup mereka dengan tuntunan Al-Qur’an. (bersambung)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama