Chairil Anwar dan Hari Puisi (2)


Seperti pada perempuan-perempuan yang lain, Mirat pun tak lepas dari sajak Chairil. Sajak pertama buat Mirat ditulis pada 18 Januari 1944: “Sajak Putih”, di bawahnya tertulis “buat tunanganku Mirat.”

September 1946, Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja dan punya anak, sementara Mirat telah dipersunting seorang dokter tentara. Namun, kenangan akan Mirat rupanya masih melekat dalam benak Chairil. 



----------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 28 April 2020


Chairil Anwar dan Hari Puisi (2):


Jadi Wartawan dan Mudah Jatuh Hati


Oleh: Asnawin Aminuddin
(Wartawan / Pengajar)


Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul “Nisan” pada tahun 1942. Saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.

Saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Chairil Anwar hanya seorang penyair dan hidup dengan menyair. Dia mendapat uang dari hasil menulis sajak.

Pada bulan Januari hingga Maret 1948, ia bekerja menjadi wartawan dengan jabatan redaktur majalah Gema Suasana. Namun, karena merasa tidak puas, ia mengundurkan diri dari pekerjaan itu.

Dia kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan Gelanggang bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin.

Ia merencanakan untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama Air Pasang dan Arena, namun rencana itu belum juga terwujud hingga Chairil Anwar meninggal dunia.

Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945. Chairil juga pernah menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta.

Jago Memikat Perempuan

Chairil jago memikat dan mudah dipikat perempuan. Gelombang cinta dan berahi mengalir deras, dan pada akhirnya tak dapat ia genggam. Sejumlah nama perempuan ia tulis dalam sajak-sajaknya, yaitu Karinah Moordjono, Ida Nasution, Sri Ajati, Gadis Rasjid, Sumirat, Dien Tamaela, Tuti, Ina Mia. Ada pula yang sekadar inisial: H, K, dan Nyonya N.

Dalam pandangan Sjamsulridwan, kawannya sewaktu kecil, Chairil adalah bocah yang cepat matang. Kisah-kisah cabul dalam buku-buku yang didapat dari penyewaan dan film-film yang ditonton di bioskop membuat hasrat Chairil dan kawan-kawannya menggelegak.

“Tetapi pada Chairil penyaluran ini agak kasar kelihatannya,” ujar Sjamsulridwan seperti dikutip Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016).

Karinah Moordjono

Meski nama perempuan pertama yang ditulis dalam sajaknya adalah Ida Nasoetion, tapi sesungguhnya yang mula-mula hadir dalam hidupnya adalah Karinah Moordjono. Gadis itu ia kenal saat masih tinggal di Medan. Karinah anak seorang dokter.

Dan Chairil, dengan daya pikat yang dimilikinya, yang kerap melahirkan rasa iri kawan-kawannya karena selalu mampu mendapatkan perhatian gadis tercantik di kelas dan kampung lain, terpikat pada Karinah.

Sekali waktu ia teringat pada gadis itu, lalu menulis sajak berjudul “Kenangan”. Chairil menulisnya pada 19 April 1943, saat usianya menginjak 21 tahun, dan sudah tak lagi tinggal di Medan. Tak lagi berdekat-dekatan dengan Karinah.

“Ini mungkin cinta yang terlambat untuk sebuah cinta monyet, tapi terlalu lekas untuk sebuah hubungan yang serius. Tapi dari sajaknya kita bisa melihat betapa seriusnya Chairil menjalin hubungan,” tulis Hasan Aspahani.

Cinta awal itu bagi Chairil membangkitkan kenangan, meski “halus rapuh” dan akhirnya “hancur hilang”. Kegagalan hubungan dengan Karinah di usianya yang masih belia, entah berlangsung lama atau sebaliknya, kiranya tetap menyisakan sesal. Sajak itu dipungkas dengan kalimat: “Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia.”

Ida Nasoetion

Ida Nasoetion adalah mahasiswi sastra Universitas Indonesia. HB Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana memujinya sebagai penulis esai dan kritik sastra yang gemilang. Ia pernah bekerja di kantor bahasa bentukan Jepang. Di tempat itu para sastrawan berkumpul, termasuk Chairil.

Dan mudah ditebak, ia jauh hati pada Ida, tapi Ida rupanya tak menyambut cinta Chairil. Ida yang juga seorang esais kepada HB Jassin pernah berkata, “Chairil itu memang binatang jalang yang sesungguhnya, namun apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak keruan itu?”

Gadis Rasjid

“Chairil Anwar itu adalah hippie pertama di Indonesia,” ujar Gadis Rasjid.

Perempuan ini adalah wartawan surat kabar Pedoman dan majalah mingguan Siasat. Ia sempat meliput operasi militer penumpasan PKI Madiun 1948.

Gadis Rasjid juga pernah secara mendalam mewawancarai Sutan Takdir Alisjahbana. Sebanyak 10 wawancara yang dilakukan Gadis Rasjid dengan tokoh kebudayaan tersebut diterbitkan menjadi buku bertajuk Di Tengah-tengah Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1949).

Gadis Rasjid adalah salah seorang perempuan yang namanya diabadikan oleh Chairil Anwat dalam sebuah sajak berjudul “Buat Gadis Rasjid” yang ia tulis tahun 1948. Sajak ini sengaja dipesan Gadis karena mereka memang dekat.

Sri Ajati

Sri Ajati kuliah di jurusan bahasa Belanda, Universitas Indonesia, dari tahun 1940 sampai 1942. Saat Jepang masuk, sekolah dan kampus ditutup. Anak-anak muda kemudian sering berkumpul di gedung Pusat Kebudayaan, termasuk Sri Ajati dan Chairil Anwar.

Tahun 1946, bersama suaminya Sri Ajati pindah ke Serang, Banten. Di sanalah ia kedatangan salah seorang anak angkat Bung Sjahrir, dan mengabarkan bahwa Chairil telah membuat sajak untuk dirinya.

Sajak pertama bertitimangsa Maret 1943, berjudul “Hampa”. Di bawah judul tertulis, “untuk Sri yang selalu sangsi”.

Sajak kedua berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil”. Di bawah judulnya lagi-lagi tertulis, “buat Sri Ajati”.

Sri kaget, karena ia benar-benar baru mengetahui kalau Chairil membuat sajak untuknya. Setelah pindah lagi ke Jakarta, ia melihat lagi sajak tersebut di surat kabar Pedoman yang dipimpin oleh Rosihan Anwar.

“Saya tidak tahu. Saya baca di Pedoman, di situ saya baca bahwa Chairil itu cinta sama saya, tapi dia tak pernah mengatakan bahwa dia cinta sama saya,” ujarnya saat diwawancara oleh Alwi Shahab.

Sementara Hasan Aspahani dalam Chairil Anwar (2016) menulis kalau pertemuan Sri Ajati dengan Chairil adalah di sebuah studio radio di Universitas Indonesia. Selain Chairil, Sri Ajati juga mengenal Rosihan Anwar, Usmar Ismail, Gadis Rasjid, HB Jassin, dan lain-lain.

Menurut HB Jassin, seperti dikutip Hasan Aspahani, Sri Ajati adalah perempuan dengan tubuh tinggi semampai, kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam.

“Kiranya, pada tahun 40-an, tak ada pemuda yang sehat jiwa raganya yang tidak jatuh hati pada Sri Ajati,” tambah HB Jassin.

Menilik tampilan Sri Ajati seperti yang dituturkan H.B. Jassin, tak heran jika Chairil menyukainya. Namun yang mengherankan, berdasarkan pengakuan Sri Ajati, Chairil tak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Tuti

Dalam beberapa catatan tentang Chairil, tak diketahui pasti siapa sebetulnya Tuti. Nama yang hampir mendekati Tuti hanya Titi, seperti yang disampaikan Sri Ajati dalam wawancaranya dengan Alwi Shahab.

Dalam Derai-derai Cemara (1999), yang diterbitkan oleh majalah Horison, Asrul Sani menyebutkan bahwa Chairil kerap pergi ke pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul, salah satunya Toko Artic yang menjual es krim di Jalan Kramat Raya.

Entah siapa Tuti, yang jelas hasrat Chairil tumbuh juga di toko itu. Tahun 1947, ia menulis “Tuti Artic”. Es, susu, coca cola hadir dalam sajaknya. Lebih dari itu, ia tak segan mengutarakan gairahnya:

“Kau pintar benar bercium/ada goresan tinggal terasa/--ketika kita bersepeda/kuantar kau pulang--/Panas darahmu/sungguh lekas kau jadi dara/Mimpi tua bangka/ke langit/lagi menjulang…”

Sumirat

Sumirat atau biasa dipanggil Mirat belajar melukis kepada S Sudjojono dan Affandi. Sekali waktu ia dan keluarganya vakansi ke pantai di Cilingcing. Di sana, ia melihat Chairil. Pemuda itu tengah duduk bersandar di sebatang pohon sambil membaca buku tebal.

“Mula-mula tiada menjadi perhatianku, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatku heran. Aneh, pikirku, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya,” ujar Mirat kepada Purnawan Tjondronagoro.

Sikap Chairil yang tak peduli ternyata memikat hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan Chairil. Terutama membayangkan apa yang tengah bermain dalam angan pemuda itu. Saat ia melukis, wajah Chairil kembali muncul di benaknya.

Karena pengangguran, kisah cinta mereka merepotkan keluarga Mirat. Chairil nekad dengan mengikuti kekasihnya itu sampai tinggal berhari-hari di rumah orangtuanya di Jawa Tengah.

Orang rumah tidak menyukai Chairil, tapi mereka tak dapat mengusirnya, sehingga mereka meminta bantuan Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan untuk membujuk Chairil meninggalkan rumah dan menjauhi Mirat.

Seperti pada perempuan-perempuan yang lain, Mirat pun tak lepas dari sajak Chairil. Sajak pertama buat Mirat ditulis pada 18 Januari 1944: “Sajak Putih”, di bawahnya tertulis “buat tunanganku Mirat.”

September 1946, Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja dan punya anak, sementara Mirat telah dipersunting seorang dokter tentara. Namun, kenangan akan Mirat rupanya masih melekat dalam benak Chairil.

Di tahun yang sama dengan kematiannya, Chairil masih mengingat Mirat, mengenang saat-saat mereka ketika masih dilumuri waktu luang untuk saling suka. Maka ia pun menulis “Mirat Muda, Chairil Muda”.

Dien Tamaela

“Beta Pattiradjawane/Yang dijaga datu-datu/Cuma satu…”

Kutipan itu adalah awal dari sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang ditulis tahun 1946. Menurut Sjumandjaja dalam Aku (1987), Chairil mengenal Dien Tamaela di studio lukis Sudjojono. Perempuan itu adalah putri dari pasangan dokter Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane.

Ibu Dien Tamaela tak setuju Chairil mendekati anaknya. Perempuan pujaan Chairil itu pun tak berumur panjang, Dien Tamaela meninggal pada tahun 1948. Dua tahun sebelumnya, Chairil menulis “Cintaku Jauh di Pulau.” (bersambung)

---------
Artikel sebelumnya:

Chairil Anwar dan Hari Puisi (1)

--------
Sumber referensi:

Chairil Anwar (1922—1949), dikutip pada Selasa, 28 April 2020, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar
Kabupaten Lima Puluh Kota, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lima_Puluh_Kota, dikutip pada 28 April 2020
Kota Payakumbuh, https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Payakumbuh, dikutip pada 28 April 2020
Mappapa, Pasti Liberti, “Baca Puisi, Chairil Dipukul Istri”, https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20160815/Ketika-sang-Gajah-Memukul-si-Binatang-Jalang/, diposting pada 15 Agustus 2016, dikutip pada 29 April 2020
Pringadi, “Sejarah Hari Puisi Indonesia”, diposting pada 21 Maret 2019, dikutip pada 28 April 2020, https://catatanpringadi.com/sejarah-hari-puisi-indonesia/
Rengat, Indragiri Hulu, https://id.wikipedia.org/wiki/Rengat,_Indragiri_Hulu, dikutip pada 28 April 2020
Sekilas Tentang Sejarah Kabupaten Limapuluh Kota, https://sumbar.antaranews.com/berita/201954/sekilas-tentang-sejarah-kabupaten-limapuluh-kota, diposting pada Kamis, 13 April 2017 20:13 WIB, dikutip pada 28 April 2020

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama