CHAIRIL ANWAR DAN HAPSAH. Di antara sekian banyak gadis yang pernah singgah dalam kehidupan Chairil Anwar, cuma Hapsah Wiriaredja yang menjadi istri dan memberinya seorang putri. Anak itu mereka beri nama Evawani Alissa. (int)
---------
PEDOMAN KARYA
Rabu, 29 April 2020
Chairil
Anwar dan Hari Puisi (3):
Mati
Muda dan Punya Satu Anak
Oleh:
Asnawin Aminuddin
(Wartawan / Pengajar)
Di
antara sekian banyak gadis yang pernah singgah dalam kehidupan Chairil Anwar,
cuma Hapsah Wiriaredja yang menjadi istri dan memberinya seorang putri. Anak
itu mereka beri nama Evawani Alissa.
Chairil
Anwar menikah dengan Hapsah (anak seorang pegawai pengadilan), menikah di
Karawang, Jawa Barat, pada 6 September 1946. Dibanding deretan gadis lain yang
pernah singgah dalam kehidupan sang penyair, Hapsah tergolong biasa saja. Namun
di mata Chairil, gadis kelahiran Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1922,
itu seperti memiliki aura dan pesona tersendiri.
Dalam
rentang kehidupan rumah tangga yang tergolong singkat, sekitar dua tahun, “si
Binatang Jalang” punya panggilan sayang kepada sang istri, yakni Gajah. Sebutan
itu merujuk pada tubuh Hapsah yang gendut.
“Chairil
memanggil Mamah itu ‘Gajah’, karena memang tinggi-besar, gendut kayak saya
sekarang ini, sementara Chairil kan kecil-kurus. Mungkin, kalau dia masih
hidup, saya pun akan dipanggilnya Gajah,” tutur Evawani Alissa seraya tertawa.
Menurut
Eva, sebelum resmi dipersunting Chairil, ibunya sebetulnya telah menjalin tali
kasih dengan seorang dokter. Tapi Chairil, yang datang ke Karawang untuk
mengungsi, begitu gencar mendekati Hapsah.
Hampir
setiap hari dibombardir dengan kalimat-kalimat puitis, akhirnya Hapsah luluh.
Hapsah juga terpikat oleh kegigihan Chairil tersebut. Setahun setelah menikah,
lahir bayi perempuan yang diberi nama Evawane. Karena Hapsah merajuk, akhirnya
disepakati namanya menjadi Evawani, Eva si Pemberani.
Saat
di rumah, menurut Eva, ayahnya biasa membacakan sajak-sajak yang dibuatnya di
hadapan sang istri. Ada kalanya pembacaan sajak ditingkahi dengan aksi
teatrikal dengan naik ke kursi dan meja.
“Kadang-kadang
dia memaksa Mamah yang sedang masak mendengarkannya membaca sajak. Suatu hari,
menurut cerita Mamah, dia kesal dan memukul Chairil dengan centong sayur,” ujar
Eva lagi-lagi sambil tertawa.
Bahtera
rumah tangga Chairil-Hapsah ternyata lebih banyak diisi dengan pertengkaran.
Gaya hidup Chairil yang urakan tanpa penghasilan tetap menjadi sumber utama
percekcokan.
Pada
awal-awal pernikahan, menurut penuturan Hapsah kepada sastrawan Rachmat Ali,
Chairil sempat bekerja sebagai editor di percetakan Noor Komala dengan gaji
lumayan. Tapi hal itu tak lama dilakoninya. Dia tak kerasan pada pola kerja
yang terikat, harus berkantor tiga kali dalam sepekan. Juga tak suka menghadapi
kenyataan harus diperintah-perintah oleh orang lain.
“Dia
bilang kepada saya, tidak bisa terikat, tidak bisa bekerja diperintah orang
lain. Dia ingin bebas bergerak semaunya,” tutur Hapsah seperti disiarkan
Intisari pada 1971.
Hari-hari
Chairil kemudian lebih banyak diisi dengan membaca dan keluyuran ke banyak
tempat yang disukainya. Ia berbincang dengan siapa saja yang ditemuinya di
jalan atau warung kopi, mulai tukang becak, kaum intelektual, hingga kalangan
menteri.
Saat
Chairil di rumah, waktunya dihabiskan dengan membuat sajak-sajak.
“Ada
kalanya di tengah malam dia membangunkan saya, minta disiapkan pensil dan
kertas, lalu menuliskan sajak saat itu juga,” kata Hapsah.
Dia
mengatakan, “Hidup kami repot dan serba kekurangan, tapi Chairil cuma meminta
bersabar. Bila ada usia panjang, dirinya yakin pada usia 30 tahun bakal menjadi
Menteri Kebudayaan.”
Kehidupan
keluarga praktis cuma ditopang oleh gaji Hapsah seorang sebagai pegawai di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab, honor satu sajak yang dibuat
Chairil bila dimuat cuma Rp50. Itu pun biasanya lebih banyak dia gunakan
sendiri untuk membeli buku-buku.
Dalam
kondisi ekonomi yang morat-marit, si Gajah tak sanggup lagi merawat rasa cinta
dan sabarnya. Dia menceraikan Chairil. Rumah tangga itu pun karam. Tinggal
Chairil luntang-lantung tak keruan. Sebatang kara.
Pada
suatu malam, dia mengetuk pintu Tasrif SM, yang kala itu memimpin surat kabar Berita Indonesia. Tak cuma satu-dua
malam dia menginap di kamarnya seperti diucapkan pada awal kedatangan, tapi
hingga berbulan-bulan.
Dalam
“Chairil Anwar yang Saya Kenal” seperti disiarkan Intisari, Juni 1966, Tasrif
menggambarkan sosok Chairil pascaperceraian dalam kondisi amat menderita
lahir-batin.
“Matanya
cekung dan kemerahan. Badannya kurus-kering dan penuh kudis,” tulisnya.
Chairil
benar-benar dibuat patah hati karena tidak boleh menemui putri semata wayangnya,
Evawani. Terhadap Hapsah pun, cintanya masih tetap terjaga walau dengan
sembunyi-sembunyi.
Tasrif
bersaksi, “Hampir tiap hari dia bangun pagi untuk buru-buru pergi ke Jalan
Cilacap (kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) untuk sekadar melihatnya
(Hapsah) selintas.”
Pascaperceraian
itu, Tasrif melanjutkan, daya cipta Chairil sebagai penyair hampir habis dan
tidak ada lagi karya yang luar biasa. Kesehatannya pun terus memburuk.
Dia
gagal mendapatkan kembali cinta Hapsah. Gagal memeluk dan membesarkan buah
cintanya, Evawani. Juga tak berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi Menteri
Kebudayaan.
Puisi Buat Istri
Meski
hanya Hapsah yang memberinya seorang buah hati, tapi hampir tak ada sebiji pun
sajak buat dirinya. Hasan Aspahani yang menulis biografi Chairil berhasil
menemukan sebaris sajak buat Hapsah, ditulis tangan tanpa mesin tik dan memakai
pensil, berjudul “Buat H.”
“Aku
berada kembali di kamar/bersama buku/seperti sebelum bersamamu dulu,” tulis
Chairil dalam puisinya itu.
Hasan
Aspahani mengatakan, puisi itu tidak terbit, tapi terdapat di dalam buku kerja
Chairil dan termasuk karya-karya yang belum selesai menjelang kematiannya. Ia
menduga sajak tersebut adalah kerinduan yang mendalam terhadap sosok istrinya.
“Dia
kangen sama istrinya di hari-hari terakhir jelang kematiannya. Dia kangen pada
istri dan rumahnya dulu. Dan ‘Buat H’ menurut HB Jassin memang buat Hapsah,”
tambah Hasan.
Burton
Raffel, guru besar sastra di University of Louisiana at Lafayette, Amerika
Serikat, menerjemahkan puisi “Buat H” karya Chairil Anwar itu dari catatan yang
berserak milik HB Jassin.
“I’m
all alone in my room, I feel alone / With my books, again, as before I married
you.”
Raffel
kemudian mencantumkannya dalam buku karyanya, The Complete Poetry and Prose of
Chairil Anwar terbitan Paperback, Juni 1970.
Damhuri
Muhammad dalam pengantar Chairl Anwar (2016) menulis bahwa menjelang
kematiannya, Chairil bersemangat untuk mengumpulkan dan menerbitkan
sajak-sajaknya. Ia berniat menikahi Hapsah kembali dan ingin membesarkan
anaknya.
“Ia
rindu ketan srikaya bikinan Hapsah. Royalti dari buku itu ia niatkan untuk
menebus kembali perkawinannya yang berantakan. Namun, saat itu pula penyakit
parah menyerangnya. Hanya dalam hitungan hari, meriang yang melanda, membuat
sekujur tubuhnya hampir membeku. Muntah darah tak sudah-sudah...” tulis
Damhuri.
Mati Muda
Fisik
Chairil Anwar ternyata sangat lemah dan ia akhirnya mati muda, yaitu pada usia 26
tahun, 9 bulan, dan 2 hari. Tepatnya, ia lahir pada 26 Juli 1922, dan meninggal
dunia pada 28 April 1949.
Konon,
menjelang akhir hayatnya ia mengigau karena panas badannya sangat tinggi, dengan
mengucapkan kata, “Tuhanku, Tuhanku...”
Kritikus
sastra Indonesia asal Belanda, A Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah
menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi
berjudul “Jang Terampas dan Jang Putus.” (bersambung)
--------
Artikel sebelumnya:
--------
Sumber
referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Chairil_Anwar,
“Chairil
Anwar”,
Chairil Anwar
(1922—1949), dikutip pada Selasa, 28 April 2020, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Chairil_Anwar
Kabupaten Lima
Puluh Kota, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lima_Puluh_Kota, dikutip
pada 28 April 2020
Kota Payakumbuh,
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Payakumbuh, dikutip pada 28 April 2020
Mappapa, Pasti
Liberti, “Baca Puisi, Chairil Dipukul Istri”, https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20160815/Ketika-sang-Gajah-Memukul-si-Binatang-Jalang/,
diposting pada 15 Agustus 2016, dikutip pada 29 April 2020
Pringadi, “Sejarah
Hari Puisi Indonesia”, diposting pada 21 Maret 2019, dikutip pada 28 April
2020, https://catatanpringadi.com/sejarah-hari-puisi-indonesia/
Rengat,
Indragiri Hulu, https://id.wikipedia.org/wiki/Rengat,_Indragiri_Hulu, dikutip
pada 28 April 2020
Sekilas Tentang
Sejarah Kabupaten Limapuluh Kota, https://sumbar.antaranews.com/berita/201954/sekilas-tentang-sejarah-kabupaten-limapuluh-kota,
diposting pada Kamis, 13 April 2017 20:13 WIB, dikutip pada 28 April 2020