Jangan Mengambil Orang Yahudi dan Nasara Menjadi Pemimpinmu


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasara menjadi auliya’, sebahagian mereka adalah auliya’ bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al-Maidah/5: 51)

 


-------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 24 Mei 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (34):


Jangan Mengambil Orang Yahudi dan Nasara Menjadi Pemimpinmu



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasara menjadi auliya’, sebahagian mereka adalah auliya’ bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al-Maidah/5: 51)


Dalam ayat ini Allah SWT menunjukkan kasih sayang-Nya kepada orang-orang beriman dengan mengingatkan agar tidak mengambil orang-orang Yahudi dan Nasara sebagai auliya’.

Allah menyebut secara langsung orang Yahudi dan Nasara –bukan Ahlul Kitab- guna mengingatkan sifat-sifat buruk mereka yang banyak dikisahkan dalam Al-Qur’an, antara lain dapat disebutkan bahwa mereka suka mengabaikan hukum Allah dan lebih mengutamakan hukum jahiliah.

Sikap mereka yang tidak akan pernah senang (ridha) sampai orang-orang Islam mengikuti agama (millah) mereka, sehingga mereka terus berusaha agar kaum muslimin berpaling meninggalkan agama Islam dan memilih agama mereka.

Karena itulah, maka Allah SWT mengingatkan; “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasara menjadi auliya’!”

Quraish Shihab memberi makna kata auliya’ dalam ayat ini sebagai ‘orang-orang dekat’. Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaknai auliya’sebagai ‘pemimpin-pemimpin,’ demikian juga Buya Hamka.

Makna auliya’ juga telah dibahas ketika menguraikan surah An-Nisa/4, ayat 144 pada edisi sebelumnya, yakni dengan makna “superlative” dalam arti menjadikan mereka sebagai orang dekat saja tidak boleh apatah lagi menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Sayyid Quthb memberikan uraian bahwa perintah Allah bagi orang-orang beriman pada bagian awal ayat ini memiliki kekuatan membangkitkan pemikiran logis (berdasarkan akal sehat) bagi kaum muslimin dalam menghadapi peperangan demi membela aqidahnya.

Juga untuk menyadarkan hati nurani kaum muslimin supaya melakukan pemutusan hubungan total dengan semua orang yang tidak menisbatkan diri kepada umat Islam dan tidak berlindung di bawah panji-panji Islam, namun tidak melarang sifat toleransi yang etis, sebab hal ini merupakan sifat abadi seorang muslim.

Pemutusan hubungan total ini juga termasuk melarang kaum muslimin memberikan loyalitas kecuali hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman di negeri manapun dan waktu kapan pun.

Mengapa Allah meminta orang beriman untuk tidak memilih mereka sebagai pemimpin? Oleh karena: “…Sebagian mereka adalah pemimpin atas sebagian yang lain….”

Menurut Sayyid Quthb, kalimat ini bukan sekedar jargon atau ungkapan, akan tetapi bentuk kalimat ini dipilih oleh Allah yang dimaksudkan untuk menunjukkan sifat dasar –mereka- yang abadi.

Jika orang beriman mengambil mereka sebagai pemimpin, maka mereka tidak akan pernah memimpin–memerankan fungsi pimpinan sebagai pengayom- bagi orang-orang beriman dan tidak akan pernah melindungi mereka di negrei manapun dan dalam situasi apapun.

Begitulah untaian sejarah telah membuktikan sifat-sifat mereka sepanjang zaman. Sejak zaman Rasulullah mereka saling memimpin dalam memerangi Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin di Madinah, -bahkan sejak zaman Rasul sebelum beliau-.

Mereka menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain dalam semua gelombang penyerangan terhadap kaum muslimin di muka bumi sepanjang sejarah.

Syekh As Sa’di menjelaskan bahwa mereka tidak mempedulikan penderitaan –orang-orang beriman- bahkan mereka tidak menghemat energy sedikitpun –dalam segala upaya- demi menyesatkan orang-orang beriman itu.

Buya Hamka juga menggambarkan bahwa apabila mereka telah menjadi pemimpin, maka mereka akan saling berinterksi satu sama lain dalam menyusun permufakatan yang tidak sejalan dengan garis perjuangan orang-orang beriman.

Dalam hal keyakinan, orang Yahudi dan Nasara sangatlah bermusuhan, namun dalam hal menghadapi orang Islam dimana kedua golongan ini sangat membencinya, maka sebagian mereka akan memimpin sebagian yang lain, artinya dalam hal menghadapi Islam mereka tidak akan keberatan bekerja sama.

Oleh karena itu Sayyid Quthb menegaskan bahwa jika ada seseorang dari anggota kelompok barisan Islam menjadikan mereka sebagai pemimpin berarti orang tersebut telah melepaskan diri dari barisan itu, sekaligus menanggalkan identitas atau sifat sebagai anggota barisan Islam dari dirinya.

Demikian Sayyid Quthb. Dalam keadaan demikian sadar atau tidak, orang tersebut telah masuk ke dalam golongan mereka.

Kemudian lanjutan Firman Allah SWT: “…Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”

Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengemukakan: “Karena pengakuan mereka menjadi pemimpin, secara total menuntut perpindahan kepada agama mereka, loyalitas yang sedikit akan mendorong kepada hal yang banyak lalu fase demi fase, hingga seorang hamba menjadi satu dengan mereka.”

Inilah yang dinyatakan oleh Buya Hamka bahwa: “Tidak mungkin seseorang yang mengajukan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu, meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlainan agama –yakni Yahudi atau Nasara- itu, dia belum resmi pindah ke dalam agama mereka. Kemudian beliau mengutip suatu riwayat dari Abd Humaid, bahwa sahabat Rasulullah s.a.w. yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman pernah berkata:

Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasara, sedang dia tidak merasa.

Masih dinukil dari tulisan Buya Hamka dalam tafsir al-Ahzar, bahwa bila diperhatikan bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang pernah menjajah negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka.

Dari bahasa inilah bila yang terjajah itu telah menguasainya, maka secara tidak sadar telah terjadi perpindahan (transformasi) budaya mereka. Kian lama kian hilanglah keperibadian umat yang terjajah tadi, lalu yang dipandangnya tinggi ialah -bahasa dan budaya- bangsa yang menjajahnya itu.

Akibatnya adalah orang yang budaya berpikirnya masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dia telah berpikir dari luar Islam.

Sampai-sampai, kata Buya Hamka, memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit dari pada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam, sebab rasa cemo’oh kepada agama, sinis, dan acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya.

Maka seyogyanya orang-orang beriman itu menuntun dirinya dan keluarganya, serta orang-orang terdekatnya (kerabatnya) untuk tetap menjaga marwahnya dengan tidak memasukkan diri ke dalam golongan mereka.

Kemudian Allah SWT memberikan ketegasan: “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Syekh As Sa’di memberi pemahaman, yakni dengan kezhaliman yang melekat pada orang Yahudi dan Nasara sebagai sifat, mereka akan merujuk dan berpijak kepada sifat itu dalam segala tindakannya, sehingga jika kamu (orang-orang beriman) hadir kepada mereka membawa sejumlah bukti kebenaran, mereka tidak akan mengikuti dan menaati.

Sehingga jika kalian (orang beriman) mengikuti mereka, maka kalian akan masuk ke dalam golongan zalim yang tidak diberi petunjuk itu.

Sayyid Quthb menegaskan: “Karena itu, seorang muslim yang memberikan loyalitasnya kepada Yahudi dan Nasara yang sebagian mereka menjadi pemimpin sebagian yang lain, tidak mungkin mereka melakukannya jika Islam dan imannya masih ada dan masih menjadi anggota barisan Islam.

Mengapa? Karena orang beriman hanya memberikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Maka kondisi inilah yang menjadi persimpangan jalan itu. Demikian disadurkan dari Sayyid Quthb.

Adalah hal yang tidak mungkin seorang mengaku beriman dalam satu sisi, lalu mengambil orang Yahudi dan Nasara sebagai pemimpin pada sisi yang lain lalu diharapkan dapat mengibarkan panji-panji Islam, karena itu adalah sifat kemunafikan (hipokrit).

Maka Allah SWT menjelaskan kedudukan mereka dengan firman-Nya: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (QS Al Maidah/5: 52)

Di mata Allah SWT, orang-orang seperti ini adalah orang yang ada penyakit dalam hatinya. Kiranya, orang-orang beriman hendaknya tidak tergolong ke dalam kelompok orang-orang berpenyakit hati itu.

Selanjutnya orang-orang beriman harus tetap istiqamah dalam keyakinan mereka. Segala keputusan ada di tangan Allah SWT atas segala iradah (kehendak-Nya). (bersambung)

-------
Artikel sebelumnya:



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama