Mengenang “Jenderal Puisi” Udhin Palisuri


Penyair Sulsel, Haji Udhin Palisuri, meninggal dunia pada 2 Juni 2014. Ia dikenal sebagai penyair yang memiliki persahabatan luas dengan berbagai kalangan baik birokrat, politisi, dan petinggi militer, maupun masyarakat bawah. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





--------
PEDOMAN KARYA
Selasa, 02 Juni 2020


Mengenang “Jenderal Puisi” Udhin Palisuri


Oleh: Badaruddin Amir
(Pendidik/guru, seniman, budayawan, menetap di Barru)


Hari ini (02 Juni 2020) 6 tahun yang lalu. Penyair Sulsel, Haji Udhin Palisuri, meninggal dunia pada 2 Juni 2014. Ia dikenal sebagai penyair yang memiliki persahabatan luas dengan berbagai kalangan baik birokrat, politisi, dan petinggi militer, maupun masyarakat bawah.

Di kalangan seniman Sulsel, ia kerap disapa “kakanda” lantaran akrabnya Udin Palisuri dengan seniman-seniman yang lebih muda darinya. Ketika bertemu dengan lelaki jangkung, bermata tajam, berambut ikal model rambut panjang pria ini, jika sudah mengenalmu, jangan kaget jika ia langsung memelukmu kemudian cipika-cipiki.

Itulah kebiasaan Udhin Palisuri (1948-2014), jika bertemu dengan sahabatnya, baik dari kalangan atas maupun dari kalangan bawah.

Saya adalah salah seorang sahabat muda Udhin Palisuri waktu itu. Ia kelahiran 1948 dan saya 1962. Jadi selisih 14 tahun. Tapi bagi Udhin Palisuri pertemanan bukan diatur oleh usia, jabatan, strata sosial, dan gender. Dalam pergaulan yang nyata, ia menyamakan semua orang.

Saya punya cerita mengenai hal ini. Yaitu pada suatu waktu ada Festa Budaya di Kabupaten Barru—tepatnya di Pancana. Saya sudah lupa apakah waktu itu Festival Internasional La Galigo atau Sastra Kepulauan.

Udin Palisuri berdiri di depan panggung sedang berbincang dengan Bupati Barru, Andi Muhammad Rum, dan para petinggi daerah lainnya. Saya sebagai seorang guru SMP, tentunya tidak merasa selevel dan segan untuk menemui beliau di sana. Tapi apa boleh buat, Udhin Palisuri kadung melihat saya dengan ekor mata yang sedang mencari posisi di tempat lain. Begitu melihat saya Udin Palisuri melambaikan tangannya dengan serius memanggil saya. Maka sayapun tak bisa menghindar. Saya menemuinya.

Di depan para pada petinggi daerah dia memeluk saya dan cipika-cipiki. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan kecuali pasrah.Untunglah saya berkalung ID Card panitia.

Saya pamit pada Udhin Palisuri sambil pura-pura sibuk dengan berisyarat memegangi ID Card, sedangkan para petinggi daerah saya lihat bungkuk-bungkuk permisi. Udhin pun melambai dalam gaya sahabat kental. Dan saya lega dapat menjauh dari tempat itu.

Dari situ saya mengenal bahwa Udhin Palisuri adalah seorang yang supel dalam pergaulan. Pantaslah kalau ia banyak teman dari berbagai kalangan. Ia tidak nevrous seperti saya. Ia santai saja ceplas-ceplos kepada semua orang dan ia sangat dihormati oleh para pejabat, entah karena posisinya sebagai seniman dan budayawan yang berwibawa atau karena ia adalah wartawan senior.

Saya sudah lupa bagaimana saya bisa “nyelonong” berkenalan untuk pertama kalinya dengan orang hebat ini. Ketika itu Udhin Palisuri sudah terkenal sebagai penyair, budayawan, wartawan senior Angkatan Bersenjata, dan memiliki banyak teman “petinggi”, baik di kalangan Angkatan Bersenjata (ABRI), Kepolisian, maupun pejabat sipil, termasuk pengusaha-pengusaha mapan.

Di sisi lain, saya hanya seorang guru SMP di sebuah daerah terpencil (Ralla, Tanete Riaja, tempat saya mengajar waktu itu masih disebut sebagai daerah terpencil lantaran sarana jalan, transportasi, dan listrik belum lancar).

Selain itu saya belum boleh dianggap sebagai seniman atau berada dalam lingkaran pergaulan seniman di Makassar. Waktu itu saya baru belajar menulis puisi dan cerpen yang dimuat di Harian Pedoman Rakyat, sebagai satu-satunya koran yang dapat sampai ke daerah sebelum adanya Harian Fajar dan media lain.

Satu-satunya teman akrab saya yang saya anggap sudah menjadi seniman (penyair muda) dan saya kagumi sajak-sajaknya ketika itu adalah Muhary Wahyu Nurba. Kalau tidak salah ingat Murary-lah yang mengenalkan pada saya Udhin Palisuri, M Anis Kaba, Muhammad Ramto Ottoluwa, dan seniman-seniman senior lainnya.

Sedangkan yang nyaris seusia dengan saya memang saya kenal dalam pergaulan seni setelah saya mulai banyak mengikuti kegiatan-kegiatan seni di Makassar, seperti di Benteng Rotterdam (DKM), Societeit de Harmonie (Gedung Kesenian), Benteng Sombaopu, dan tempat-tempat kegiatan seni lainnya.

Perkenalan saya dengan teman-teman seniman muda ini memang tidak serentak, tetapi lambat-laun setelah bertemu dua-tiga kali dalam event seni di Makassar yang tak selalu dapat saya ikut secara rutin karena saya bekerja sebagai guru di daerah.

Momen pertama pertemuan saya dengan Udhin Palisuri adalah ketika beliau menggagas (kalau tak salah) baca puisi dengan melibatkan pejabat-pejabat Sulsel (ABRI, Polri, Sipil) di Aula Harian Fajar, Jl Racing Centre, Makassar.

Saya ke sana juga bersama Muhary Wahyu Nurba. Dan saya merasa beruntung bisa berkenalan dengan Udhin Palisuri, penyair dengan sebutan “Jenderal Puisi” ini. Dan Udhin Palisuri tampaknya memiliki ingatan panjang. Ia tidak melupakan saya meskipun jarang-jarang ketemu atau hanya ketemu pada moment-moment tertentu. Dan begitu ketemu ia selalu mendahului saya menyapa “Badar.”

Saya memanggil Udhin Palisuri seperti teman-teman lain yang lebih muda darinya. Panggilan “kanda” atau “kakanda Udin”, menjadi panggilan akrab pada beliau.

Saya ingat pada suatu ketika di Tahun 1997, ada even sastra Internasional di Kayu Tanam Sumatra Barat, yaitu “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX” yang kegiatannya dirangkaian dengan “Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997.”

Waktu itu saya sudah menulis sebuah buku kumpulan puisi, kumpulan puisi berdua dengan penyar Tri Astoto Kodarie yang jauh lebih senior dari saya. Kumpulan puisi tersebut berjudul “Antara Dua Kota” yang diberi pengantar oleh Prof. Dr. Sugira Wahid, MS (Komunitas Sastra Ajattappareng: 1997).

Karena saya merasa diri sudah “penyair” dan saya dibonceng oleh Tri Astoto di Komunitas Sastra Ajattappareng dan Dewan Kesenian Parepare, maka Dewan Kesenian Parepare pun mengusulkan Tri Astoto dan saya untuk ikut ke ajang bergengsi tersebut.

Dengan rekomendasi dan surat permohonan bantuan biaya perjalanan ke gubernur dari Dewan Kesenian Parepare, kami mencari dana di Kantor Gubernur Sulsel, tetapi ternyata Udhin Palisuri menemukan surat tersebut dan langsung menggabungkannya dengan proposal Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS).

Dan saat kami menelusuri kembali hasil surat itu pada bagian Kesra, orang di sana mengatakan sudah diambil semuanya oleh Udhin Palisuri dan Udhin Palisuri memang menelpon kami, menyuruh kami ke rumahnya di Jl Bunga Eja, No 20, Makassar.  Itulah untuk pertama kalinya saya menginjak rumah Udhin Palisuri.

Saya dan Tri Astoto Kodarie berangkat ke Padang, Sumatera Barat, dengan kapal laut “Kambuna”. Dan ternyata ada pula Ridwan Demmataju dengan usaha sendiri, juga ikut ke Pertemuan Internasional itu.

Dan di kapal setelah berkeliling-keliling mencari teman kami menemui pula Anil Hukmah, dan rombongan seniman-seniman teater dari Makassar yang akan mementaskan “Pintu Tertutup” pada Pertemuan Sastra berlevel internasional itu.

Yang saya kenal dalam rombongah teater waktu itu ada Jacob Marala dan Tadjuddin Manda, dan beberapa lainnya.

Di Bukit Tinggi dan Kayu Tanam, kami baru bertemu dengan seniman dan penyair lain dari Makassar seperti Nurdahlan Jirana, Goenawan Monoharto, Ram Prapancha, Roell Sanre, Mohammad Hasjmy, dan banyak lagi yang saya belum kenal ketika itu.

Ternyata bukan kami bertiga saja (Tri Astoto, saya, dan Ridwan Demmataju) sebagai “sastrawan” yang datang dari Sulawesi Selatan, tetapi ada juga beberapa orang, semua menempuh cara sendiri-sendiri. Namun yang tercatat pada buku panduan hanya kami bertiga: Tri Astoto Kodarie, Badaruddin Amir, dan Ridwan Demmataju.

Seperti yang saya singgung di atas bahwa ongkos kami ke sana bersumber dari Gubernur Sulsel yang telah diserahkan ke DKSS. Kanda Udhin Palisuri-lah yang mengaturkan biaya itu pada kami, kecuali Ridwan Demmatadju yang datang sendiri tanpa sponsor. Saya dengar ia hanya disumbang oleh teman-temannya tak seberapa.

Tikel Kapal laut yang dibelinya hanya sampai di Surabaya. Dan di sana ia dikejar-kejar oleh ABK karena berusaha untuk bersembunyi dan dicurigai sebagai penumpang gelap. Saat tertangkap ia konon sempat diinterogasi.

Untunglah ia membawa klipping-klipping tulisannya dari berbagai media yang selalu memasang foto yang sama pada tulisannya, dan juga sketsa-sketsanya. Ia berdalih bahwa ia sastrawan dan pelukis yang diundang ke Pertemuan Sastra Internasional di Kayutanam. Tapi akhirnya dia disuruh turun juga di Surabaya karena tiketnya memang hanya sampai di Surabaya. Sebelum turun saya sempat memberikan tustel saya (atau radio rekam, saya sudah lupa) dan berpesan kalau dia kehabisan biaya barang itu bisa dia jual.

Di dalam kapal, kami hanya membincang irasionalnya Ridwan Demmataju untuk berangkat ke Sumatera Barat hanya dengan tiket sampai ke Surabaya. Tapi ternyata ini bukanlah hal yang irasional karena kenyataannya Ridwan Demmataju lebih duluan sampai di Pelabuhan dari pada kami yang naik kapal laut. Ia melambai-lambaikan tangan di pelabuhan begitu melihat Kambuna merapat di dermaga dan saya berteriak pada Tri Astoto Kodarie bahwa itu Ridwan Demmatadju.

***

Saat Sutardji Calzou Bachri memproklamirkan diri sebagai Presiden Puisi Indonesia di Jakarta, para seniman dan penyair Sulawesi Selatan pun “mengangkat” Udhin Palisuri sebagai “Jenderal Puisi.”

Saya tidak punya catatan apakah Sutardji yang lebih duluan memproklamirkan diri sebagai “Presiden Puisi”, atau Udhin Palisuri yang lebih duluan “diangkat” oleh para sahabatnya sebagai “Jenderal Puisi”. Tapi saya kira ini tak penting ditelusuri karena masing-masing menduduki “jabatan” yang lain.

Puisi-puisi Udhin Palisuri tergolong puisi-puisi epik yang gampang dipahami dengan sekali baca. Sebagai penyair ia sangat produktif menulis puisi. Bahkan boleh disebut over-produktif.

Puisi-puisinya bertebaran di berbagai media. Puisi-puisinya sangat “komited” dengan tema pembangunan, tapi juga sangat kritis dan mengambil sikap yang berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Beberapa puisinya kadang-kadang terasa sangat sloganistik, kadang-kadang juga terasa hadir sebagai “jembatan” untuk berdialog dengan pemerintah. Karena itulah hampir semua puisi-puisi Udhin Palisuri “didedikasikan” pada hampir semua sahabatnya, baik yang pejabat-birokrat, politisi, petinggi militer dan polisi, maupun kepada masyarakat kelas bawah. Ia selalu mencantumkan nama-nama mereka dalam puisinya.

Udhin Palisuri yang lahir di Enrekang pada 16 Agustus 1948, sangat dikenal pula sebagai budayawan, teaterawan, dan di awal kariernya telah menggeluti dunia jurnalistik di harian Angkatan Bersenjata.

Sebagai budayawan, suami Endang Palisuri (penyiar TVRI Makassar), sering diminta membawakan orasi budaya dalam berbagai seminar, kegiatan-kegiatan penting pemerintah dan militer dan melakukan baca puisi di berbagai kesempatan.

Selain itu ia juga sering menggagas acara baca puisi eksekutif bersama petinggi daerah dan militer. Meskipun Udin Palisuri menulis berbagai genre sastra namun ia tak pernah bergeser dari sebutan penyair. Menjadi penyair sudah menjadi “takdir” hingga akhir hayatnya.

Puluhan buku puisi telah ditulis oleh Udin Palisuri, dan ratusan puisinya yang masih tercangkul dalam berbagai media belum sempat diterbitkannya. Penyair Sulsel yang sangat produktif hingga akhir hayat ini mengaku awal perkenalannya dengan karya sastra puisi ketika berkenalan dengan Andi Makmur Makka, dan membacakan puisi-puisinya di Fancy Fair Parepare.

Tahun 1966, Udhin Palisuri hijrah ke Jakarta dan ikut pergerakan mahasiswa. Ia berkenalan dengan Arifin C Noer, dan bergabung dengan “Teater Kecil” bersama Salim Said, Ikranegara, Nunuk Suladji, Ratna Madjid, Mansyur Sahdan, Abduh Mursid, dan Charly Sahettapy.

Tahun 1970, puisi-puisinya mulai muncul di Jakarta dan Makassar yang dimuat pada Harian Pedoman, Sinar Harapan, Selecta, Caraka, Purnama, Indonesia, Pedoman Rakyar, SKU Kami, Mimbar Karya, majalah sastra Esensi, Fajar, Bawakaraeng, Makassar Press, Indonesia Pos, Inti Berita, dan Akselerasi.

Puluhan buku puisi tunggalnya telah terbit antara lain berjudul Solitude, Ibunda, Selamat Pagi Jenderal, Puisi Kantong Semen, Dari Massenrengpulu Memandang Indonesia, Bulan Pagi hari, Jahitan layar, Demokrasi untuk Rakyat, Air Mata Bangsa dan lain-lain.

Puisi-puisinya juga terbit dalam berbagai antologi bersama. Ia sering diundang baca puisi dalam berbagai momen seperti acara Festival Internasional La Galigo, Festival Kraton Nusantara III di Tenggarong, di lokasi pemboman Legian Kuta Bali, hari Sumpah Pemuda di Gorontalo.

Juga Temu Budaya Nusantara di Makassar, Pertemuan Kapti Agraria di Sidrap, acara Ramadhan Walikota di Makassar, pembacaan puisi Srikit Syah di Societeit Harmonie di Makassar, pembacaan puisi eksekutif di Harian Fajar Makassar, acara pisah sambut gubernur Sulsel  di Sahid Hotel Makassar, acara peluncuran buku H. Andi Mattalatta di Balai kemanunggalan TNI-Rakyat, dan di berbagai acara simposium.

Kemampuan vokalnya dalam membaca puisi menjadikannya pula sebagai pembaca puisi “terlaris” di Sulsel.

Udin Palisuri pernah menjabat sebagai Ketua Umum Kandil Teater Latamaosandi, Sekretaris BKKNI Sulsel, Ketua Harian Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, dan pernah dipercaya sebagai Ketua Panitia Festival Puisi Internasional di Makassar.

Puisi telah menjadi bagian penting kehidupannya. Menulis dan membaca puisi adalah dua bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Almarhum Udhin Palisuri telah membacakan puisi-puisinya di hadapan petinggi Sulsel, di hadapan politisi, militer dan polisi, dan hampir semua daerah di Sulawesi Selatan telah didatanginya untuk satu kepentingan: baca puisi.

Sayangnya tak seorang dari sahabatnya yang memiliki potensi dan kemampuan dalam menerbitkan buku telah menggagas penerbitan memoar beliau.

“Sampai saat ini belum ada yang menggagas dan menulis buku memoar tentang kehidupan almarhum.” kata Endang Palisuri, istri almarhum saat saya menyampaikan keprihatinan saya pada beliau melalui inbox beberapa waktu lalu.

Dan hari ini, 02 Juni 2020, sudah persis sudah enam tahun Udhin Palisuri meningkalkan kita. Beliau wafat pada 02 Juni 2014, Alfatihah untuk beliau!

Barru, 2 Juni 2020 

---------
Baca juga:

Laki-Laki di Kolong Rumah 

Preman-Preman 

Societeit de Harmonie 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama