Hilangnya KRI Nanggala dan Modernisasi Alutsista TNI

Ada perasaan sedih kita semua, nasib kapal selam KRI Nanggala-402, yang memuat 53 awak kapal, jauh dari kepastian. Kapal selam buatan Jerman tahun 1977 yang digunakan untuk latihan penembakan torpedo itu tak memberi respons ketika dikontak setelah kurang lebih satu jam mulai menyelam. (int)




----------

Sabtu, 24 April 2021

 

OPINI

 

 

Hilangnya KRI Nanggala dan Modernisasi Alutsista TNI

 

 

Dr Arqam Azikin

(Pakar Politik & Hankam)

 

Ada perasaan sedih kita semua, nasib kapal selam KRI Nanggala-402, yang memuat 53 awak kapal, jauh dari kepastian. Kapal selam buatan Jerman tahun 1977 yang digunakan untuk latihan penembakan torpedo itu tak memberi respons ketika dikontak setelah kurang lebih satu jam mulai menyelam.

Nanggala kemudian dinyatakan hilang beserta seluruh awak kapal di dalamnya, dan kita semua dilanda rasa khawatir gara-gara tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

Seluruh pasukan diturunkan untuk mencari keberadaan Nanggala. Pemerintah berupaya memaksimalkan potensi, lewat institusi Polri, KNKT, BPPT, Basarnas, dan TNI mengerahkan 21 kapal perang RI, serta beberapa tim dikerahkan guna menyelamatkan kapal beserta awak kapal Nanggala.

Negara tetangga, juga menawarkan diri ikut membantu pencarian. Negara sahabat kita Singapura, Malaysia, Australia, India, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, tergerak dan tak tinggal diam melihat insiden hilangnya Nanggala. Pimpinan negara atau Menteri Pertahanannya pun telah menghubungi Menhan RI untuk terlibat dalam operasi penyelamatan kapal selam ini.

Hilangnya Nanggala membawa duka mendalam, dan jika kita refleksikan, akan tampil sebagai sebuah pengingat, sebuah alarm. Sejarah akan mencatat kejadian ini sebagai penanda kesekian dari belum modernnya Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI.

Kecelakaan terhadap Alutsista juga bisa dilihat sebagai penanda ada yang mesti segera dibenahi di sistem pertahanan negara (SisHanneg) kita. Hal tersebut bisa jadi celah masuknya ancaman ke dalam negeri.

Global Firepower yang dirilis tahun 2019 lalu, sudah mewanti-wanti bahwa Indonesia berada di peringkat ke-16 dari 137 negara yang alutsista-nya butuh diremajakan, dimodernisasi. Alutsista kita mayoritas sudah cukup tua umurnya dan kondisinya nyaris dimakan usia. Untuk itu, perlu ada perencanaan matang dalam rangka peremajaan khusus terkait alutsista TNI dalam menjawab tantangan pertahanan dan keamanan negara ke depan.

Selain peremajaan, kita membutuhkan teknologi alutsista yang lebih modern dan mutakhir. Kementrian Pertahanan mestinya menganggarkan pembelian alutsista yang betul-betul baru. Perlu evaluasi menyeluruh membeli pasokan alutsista yang sudah pernah dipakai negara lain atau buatan lama atau “barang bekas”.

Karena, sebagus apapun tampakkannya, mesin tua meski mendapat sertifikat kelayakan, tetaplah mesin tua dan sudah tentu berbeda dengan mesin baru yang kondisinya lebih bagus dan prima untuk menghadapi situasi penggunaan Alutsista pada pelaksanaan latihan biasa hingga latihan perang.

Hal ini penting, sebab, pengadaan Alutsista akan menyangkut persoalan keamanan negara. Jika ancaman pertahanan negara dalam jangka waktu yang panjang ke depan hanya dihadapi dengan peralatan yang sudah “cukup tua”,  negara hanya akan menerima mimpi buruk.

Oleh karena itu, secara strategis, pemerintah harus memprioritaskan anggaran pengadaan Alutsista yang lebih modern, sehingga dalam beberapa puluh tahun ke depan, tak ada lagi insiden seperti hilangnnya Alutsista “tua sekali” seperti KRI Nanggala.

Publik mengharapkan adanya peningkatan kualitas Alutsista sebagai tanggung jawab negara memberi rasa aman para rakyatnya. Dengan begitu, sudah menjadi hal yang tak bisa ditawar lagi kalau Kemeterian Pertahanan (Kemhan RI) dan Komisi I DPR RI mesti tahu betul pentingnya pengadaan Alutsista yang memiliki teknologi terkini sudah menjadi kebutuhan mendesak.

Untuk saat ini, kita semua mesti berdoa agar KRI Nanggala yang memuat 53 awak kapal, bisa ditemukan segera. Amin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama