Menyiasati Kebiasaan Mahasiswa Tidak Membawa Pena ke Kampus

Foto ini adalah hasil menyimpan pena. Setelah membubuhkan tanda tangan untuk semua mahasiswa, pena akan saya kembalikan lagi, tentunya sambil ketawa dan bercanda agar suasana antara kami cair.

Ketika pena saya kembalikan, saya kerap menepuk punggung mereka dan mengatakan “Sekolah baik-baik ya.. Kalau ada masalah segera lapor ke saya.”


 


--------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 06 Januari 2022

 

 

Menyiasati Kebiasaan Mahasiswa Tidak Membawa Pena ke Kampus

 

 

Catatan kecil: Faidah Azuz Sialana

(Dosen Universitas Bosowa Makassar)

 

Ada perbedaan yang saya rasakan ketika berhadapan dengan mahasiswa sekarang, mereka umumnya jarang membawa pena ke kampus.

Apa-apa ditulis di layar HP. Jika kuliah, mahasiswa lebih senang merekam pembicaraan dosen tinimbang mencatatnya. Padahal dalam keyakinan saya, saat mencatat sesuatu kita seperti sedang memahatnya dalam ingatan kita.

Ada sinkronisasi antara jemari, mata, dan otak. Ketiga unsur ini jika menyatu, akan menghasilkan ingatan yang kuat, sehingga kita tak perlu mendengar hasil rekaman saat kuliah usai. Itu keyakinan saya.

Kebiasaan tidak membawa pena ke kampus rupanya melebar ke arena lain. Saat mahasiswa hendak meminta ttd (tanda tangan) dosen pada dokumen seperti KRS (Kartu Rencana Studi) atau KHS (Kartu Hasil Studi), mereka mengharapkan dosen membubuhkan tanda tangan dengan pena sendiri. Atau jika dosen meminta pena mahasiswa, mereka biasanya akan meminjam pena temannya.

Saya membaca situasi ini. Bagi saya, mahasiswa ke kampus tujuannya untuk belajar. Bukan sekadar duduk main HP. Pena harus ada di tas setiap orang. Tidak bisa ke kampus dengan bekal pinjam pena temannya. Prinsip ini saya pegang betul.

Lalu tiba saat mahasiswa membutuhkan tanda tangan saya. Maka prinsip bawa pena sendiri saya tegakkan. Tiap orang yang ingin saya tandatangani dokumennya, harus membawa pena sendiri.

Jika tidak ada pena, saya akan membuka laci mengambil uang yang sudah saya siapkan di amplop, memberi mereka lima ribuan untuk ke koperasi membeli pena. Kami di lantai 8, koperasi di gedung lain lantai 1. Untuk menjangkau koperasi cukup ambil waktu meski ada fasilitas lift.

Hampir semua mahasiswa yang saya beri uang pembeli pena menolak. Biasanya mereka bergegas keluar ruangan menuju lift untuk ke koperasi. Kepada mereka saya katakan “Saya pulang jam 17.30. Saya menunggu sampai kembali”. Dan saya sedapat mungkin memenuhi janji menunggu mahasiswa kembali.

Untuk memastikan tiap orang memiliki pena, saya akan menyimpan pena mereka. Kerap di atas tiap dokumen KHS saya meletakkan pulpen masing-masing. Hal ini untuk menutup celah ada mahasiswa yang meminjam pulpen temannya.

Aturan ini saya tegakkan dengan melebarkan senyum dan sambil bercanda. Artinya, saya tidak sedang marah, tetapi prinsip yang saya pegang tidak ada kompromi.

Kerap sembari membubuhkan tanda tangan saya katakan “Orang tua kirim ke sini untuk skola. Pena adalah fasilitas belajar, HP itu fasilitas komunikasi.”

Bagi mahasiswa yang baru pertama kali bertemu dengan saya, mereka akan ngeles. Lupa bawa pena merupakan alasan nomor satu. Nomor duanya biasanya disertai wajah sedikit melankolis sebagai isyarat tidak ada uang. Pada chapter ini saya sudah paham. Maka langkah berikut adalah membuka laci, mengeluarkan uang lalu menyuruh mereka membeli pena. Saya tidak memberi ruang kompromi soal pena.

Foto ini adalah hasil menyimpan pena. Setelah membubuhkan tanda tangan untuk semua mahasiswa, pena akan saya kembalikan lagi, tentunya sambil ketawa dan bercanda agar suasana antara kami cair.

Ketika pena saya kembalikan, saya kerap menepuk punggung mereka dan mengatakan “Sekolah baik-baik ya.. Kalau ada masalah segera lapor ke saya.”

Kerap juga bertanya soal suasana kost atau jika jumlah mahasiswa sedikit, saya akan membagikan jatah kue untuk mereka. Biasanya kami, saya dan mahasiswa, bersitatap. Saya memberi senyum kepada mereka. Laku kami saling memberi isyarat memahami satu sama lain. Begitulah hubungan kami, begitulah prinsip yang saya yakini ditegakkan.

 

Makassar, 04 Januari 2022


-----

Baca juga:

Mari Berhenti Sejenak 

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama