Plegmatis-melankolis dan Kegetiran Tragis dalam Puisi “Pada Sebuah Reuni”

PLEGMAMATIS-MELANKOLIS. Penyair dan cerpenis Badaruddin Amir (kiri) saat memberikan ulasan mengenai puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin (kanan), pada Diskusi Puisi Pada Sebuah Reuni Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022,.





--------- 

PEDOMAN KARYA

Ahad, 23 Januari 2022

 

Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (6):

 

 

Plegmatis-melankolis dan Kegetiran Tragis dalam Puisi “Pada Sebuah Reuni”

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Badaruddin Amir memang lebih dikenal sebagai penyair dan cerpenis, tapi sejatinya ia adalah seorang guru, lebih tepatnya guru Bahasa Indonesia.

Pria kelahiran Barru, 04 Mei 1962, menyelesaikan pendidikan S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang (sekarang Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar).

Ia kemudian melanjutkan pendidikan dan meraih gelar magister (S2) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.

Badaruddin Amir mengajar sejak tahun 1981, kemudian terangkat sebagai Kepala Sekolah SMP di Kabupaten Barru, lalu menjadi Pengawas SMP pada Dinas Pendidikan Kabupaten Barru.

Dengan bekal ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, ditambah minat dan bakatnya dalam dunia kepenulisan, khususnya puisi, esai, dan cerpen, Badaruddin Amir akhirnya mampu membuat dan menampilkan karya-karyanya pada media level provinsi dan nasional, serta sejumlah antologi puisi.

Cerpen-cerpennya bahkan telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (AKAR Indonesia, 2007), “Laki-Laki yang Tidak Memakai Batu Cincin” (FAM Publishing, 2015), dan  “Risalah” (Gora Pustaka, 2019).

Maka kalau kemudian Badaruddin Amir dapat dengan fasih berbicara dan mengulas sebuah puisi, termasuk menggunakan istilah-istilah khusus dalam dunia bahasa dan sastra, itu bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sangat “biasa-biasa saja” bagi seorang Badaruddin Amir.

Membaca puisi-puisi Aslan Abidin, saya berkesimpulan bahwa puisi-puisi Aslan adalah puisi-puisi plegmatis-melankolis. Puisi-puisi ini kebanyakan bergenre lyric,” kata Badaruddin Amir saat berbicara dalam “Diskusi Puisi Pada Sebuah Reuni Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022,.

Dia kemudian menjelaskan bahwa puisi lyric adalah puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap maupun suasana batin.

Plegmatis-melankolos ini sesungguhnya bukan terminologi sastra, akan tetapi istilah psikologi atas kepribadian manusia. Dalam ilmu psikologi disebutkan ada empat kepribadian manusia, yaitu sanguinis, plegmatis, koleris, dan melankolis,” papar Badaruddin, pada diskusi yang dipandu Ram Prapanca, dan dihadiri sejumlah penyair, sastrawan, serta wartawan dan peminat sastra.

Sanguinis, jelasnya, adalah sebuah kepribadian yang memiliki pandangan hidup berkecendrungan optimis, ringan, dan riang. Tipe ini juga menyukai petualangan dan memiliki toleransi tinggi akan risiko, kebanyakannya terpancar pada puisi-puisi epik.

Plegmatis adalah sebuah kepribadian yang memiliki pandangan hidup berkecendunang mencintai kedamaian.

Koleris adalah sebuah kepribadian yang memiliki pandangan hidup sangat berorientasi pada tujuan, sedangkan melankolis adalah sebuah kepribadian yang berkecendrungan menyukai tradisi.

“Ada banyak penyair yang memiliki kepribadian ganda dapat tercermin pada hampir semua sajak-sajak yang ditulisnya dengan tulus dan konsisten tanpa terpengaruh pada tawaran-tawaran tema atau perubahan zaman dalam menulis,” kata Badaruddin.

Dan orang-orang yang konsisten seperti itulah biasanya dapat disebut sebangai penyair yang telah mencapai puncak epifora kepenyairannya (menurut istilah almarhun Ahyar Anwar).

Dan Aslan Abidin saya rasa telah masuk kepada barisan penyair yang seperti itu. Aslan sebagai penyair tidak dikenal melalui produktivitas karya-karyanya. Ia tak banyak dikenal di buku antologi yang terbit bagai jamur di musim edan sekarang. Tapi ia hanya dikenal melalui antologi penting, media yang komitted sastra, dan dua bukunya. Tapi puisinya sangat dikenang dan ingin dibaca belulang-ulang,” tutur Badaruddin.

Puisi plegmatis-melankolis sebagai gabungan dua kepribadian dalam puisi memiliki ciri utama comitted meaning pada kedamaian dan selalui berupaya mencari ungkapan-ungkapan tradisi(onal).

Kalaupun ada ungkapan-ungkapan kebencian (pada sebuah rezim misalnya), maka kebencian itu harus ditaklukkan dengan ungkapan tradisi atau mengemukakan alasan dari sebuah tradisi. Jadi kebencian tidaklah diumbar secara emosional belaka.

Pada puisi-puisi Aslan, banyak ungkapan-ungkapan besar yang bersumber dari folklore, bukan saja dari khasanah budaya Bugis, tapi juga ungkapan-ungkapan tradisional lainnya menjadi ungkapan dari puisinya,” ujar Badaruddin.

Sebutlah misalnya barisan ungkapan berikuti: mantra, Menhir, we nyillitimo,  la toge, meongpalo karellae, sodom dan gomorra, iklima, peri sebrenika, walanae, nawang wulan, siri na pacce, dan banyak lagi, yang biasanya oleh penyair-penyair kontemporer saat ini sudah diabaikan. Tapi Aslan tetap menggunakannya.

Memang kata-kata itu cenderung tak digunakan lagi dengan tafsir lama, tapi mencoba memberinya dengan tafsir-tafsir baru, sehingga dapat berdampingan dengan kata-kata baru, bahkan kata-kata asing.

Plegmatis-melankolis-nya bukan hanya bernuansa kedamaian dan kegetiran, tapi kadang juga menciptakan suasana tragika yang berulang,” kata Badaruddin.

Sebelum Pada Sebuah Reuni sebagai sajak baru Aslan Abidin, yang belum ditemukan pada dua kumpulan puisinya maupun di beberapa antologi puisi yang diikutinya, plegmatis-melankolis serupa sebagai bentuk kepribadian dalam sajak sesungguhnya telah ditulis Aslan dalam beberapa puisinya yang lain.

Menjadi atavisme, menurut istilah Subagio Sastrowardojo, dalam sajak-sajak Aslan,” kata Badaruddin.

 

Aku kira kita mesti membatalkan seluruh pesta

Yang telah kita rencanakan itu adinda karena

Cinta yang kau tunggu: cinta yang mungkin melintang

Di dalam celanaku itu, bukanlah cinta yang

Kau duga

 

(EPISODE TERAKHIR RUMAH PENGANTIN)

 

Atau pada petikan sajak ini :

 

di padang yang pernah aku ceritakan, kubayangkan kau menari

dengan selendang yang kau tenun dari

masa silamku. Itu mengingatkanku pada kisah bidadari

yang turun dari ujung pelangi

mungkin kau we nyillitimo, tapi

aku bukan siapa-siapa

 

(DANCE WITH THE ANGEL TRANCE)

 

“Ini sebuah tragik, sesuatu yang tak sampai,” kata Badaruddin.

Atau petikan ini:

 

memang pertemuan itu sepele saja

seperti dusta yang tak terencana, atau suara tawa

yang iseng. Seperti katamu. Tapi

bukankah tertinggal rindu yang memekik seperti

suara tuter yang ditekan tak sabar

 

(MEMANG, SEPERTI ITU KATAMU)

 

Bandingkanlah plegmatis-melankolis dan kegetiran-kegetiran tragis yang kemudian ditulis Aslan pada puisi barunya berjudul Pada Sebuah Reuni yang saya kutip selengkapnya,” kata Badaruddin.

 

PADA SEBUAH REUNI

 

reuni, bagai mesin waktu. –serupa

upaya sia-sia kembali lagi ke masa

silam. semata tunjukkan kalau kita

tidaklah punya kesempatan kedua.

 

setidaknya, mementalkan kita dari

masa lalu serta berhadapan kembali,

berdiri kikuk –sejauh sepuluh tahun

silam dari lambaian lesu perpisahan.

 

kita bersalaman. –berpencaran pula

kenangan dari ingatan. penuh tanya:

bersama siapa gerangan kini?— apa

sudah nikah atau masih sendiri juga?

 

dulu kau gadis belia penuh tawaran

cinta di kerlingan matamu. —namun

aku, lelaki muda yang semata hanya

gemetar bisu ditimpa cinta pertama.

           

"ada ruang sepi dalam rongga diriku.

tempat aku menantimu penuh rindu,

tapi kau tak kunjung datang. tak kau

pahamkah tanda yang aku beri dulu?"

 

ya, sungguh reuni sekolah menengah

atas semata hanya tempat menumpah

sesal. sudah begitu jauhkah dari kita

angan-angan bahagia semasa remaja?

 

apa yang dahulu tidak terungkapkan,

kini tampak tiada berguna. —impian

serta kenyataan, serupa garis suratan

rumit bersilangan di telapak tangan.

 

lalu lampu-lampu mulai dipadamkan

serta pintu-pintu menanti ditutupkan.

mulai membayang rawan kesendirian.

cinta, ternyata masih kukuh bertahan.

 

saat seusai reuni malam itu, sembari

berjalan mundur, kita juga kembali

saling melambai. sebelum berpaling

berbalik jalani nasib masing-masing.

 

terasa sunyi membesar setiap jarak

kita melebar. seperti dulu, kita tak

juga pulang bersama. betapa cinta,

bisa sebegitu bertahan —dan sia-sia.

 

“Paragraf pertama puisi 'Pada Sebuah Reuni', itu juga sebuah tragika,” kata Badaruddin. (bersambung)


-------

Artikel sebelumnya:

Aslan Abidin Sangat Menjaga Karya-karyanya dari Kebanyakan Puisi Gampangan

Puisi “Pada Sebuah Reuni” Hadirkan Imaji Konkret, Indah dan Enak Dibaca

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama