Tumalompoa Perintahkan Datu Museng Serahkan Senjata dan Isterinya

“Jurubahasa...! Kirim segera utusan kepada Datu Museng. Katakan, jika ingin tenteram bermukim di Makassar, ia harus menyerahkan seluruh persenjataannya dan... isterinya juga. Peringatkan bahwa yang berkuasa di sini adalah kita, bukan orang Gowa, sahabat mertuanya!”

“Itu berarti perang, tuanku!” jawab I Tuan Jurubahasa tanpa sadar.

“Ya, jika ia menolak!” bentak Tumalompoa.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 01 Juli 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (32):

 

 

Tumalompoa Perintahkan Datu Museng Serahkan Senjata dan Isterinya

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Ia kemudian menghampiri meja dimana Jurubahasa duduk di ujung lainnya. Tegak sejenak, memandang tajam anak negeri kepercayaannya itu.

“Jurubahasa...! Kirim segera utusan kepada Datu Museng. Katakan, jika ingin tenteram bermukim di Makassar, ia harus menyerahkan seluruh persenjataannya dan... isterinya juga. Peringatkan bahwa yang berkuasa di sini adalah kita, bukan orang Gowa, sahabat mertuanya!”

“Itu berarti perang, tuanku!” jawab I Tuan Jurubahasa tanpa sadar.

“Ya, jika ia menolak!” bentak Tumalompoa.

Dengan suara datar yang kaku, ia melanjutkan: “Bukankah kau yang menunjukkan jalan itu? Atau ada maksudmu yang lain?”

Ditatapnya Jurubahasa tajam-tajam.

“Tidak tuan besar, sekali-kali tidak,” Jurubahasa cepat-cepat menjawab. Takut tuannya nanti naik darah.

“Maksudku..., jika Datu Museng menampik, kita harus memeranginya, tuanku.”

“Ya, kita harus memeranginya. Lebih cepat lebih baik. Sebab cepat atau lambat, kita pasti bersengketa dengan dia. Datu Museng adalah panglima perang orang Sumbawa yang paling berbahaya sekarang ini. Selagi ia berada di sini, selama ia tidak memimpin satu pasukan yang besar, kita harus cepat-cepat menghancurkannya.”

“Kendati ia bersedia menyerahkan isterinya secara damai, tuanku?”

“Ya, kendati pun Maipa diserahkannya bulat-bulat. Sebab jika tidak, ia pasti akan menyusun kekuatan bersama orang Gowa di sini. Kemudian merobek-robek perjanjian kita dengan mertuanya Sultan Sumbawa dan Sultan Hasanuddin, raja orang Gowa. Apalagi jika ia berhasil kembali ke Sumbawa dan menggantikan mertuanya sebagai Maggauka, percayalah ia pasti memberontak dan tak mengakui lagi perjanjian yang telah ditandatangani mertuanya. Dan jika itu terjadi, sungguh-sungguh merupakan bahaya bagi kekuasaan kita.”

Tumalompoa berhenti berbicara. Diraihnya kursi, lalu duduk dan menyambung bicaranya lagi.

“Sebenarnya Datu Museng ini sudah lama kita inginkan kedatangannya kemari. Sekarang ia sudah di sini. Umpan kita Datu Jarewe telah berhasil menariknya. Ia sekarang sudah masuk perangkap. Ha ha ha ha... Ya, harimau itu sudah dalam perangkap kita. Jurubahasa, kau tabu kita tak mungkin dapat membinasakannya di negerinya. Orang kuat itu sangat berbahaya karena mertuanya kini nampak secara berangsur-angsur memberikan kekuasaan padanya. Oh..., jika kita mengulur-ulur waktu, tidak cepat bertindak, ia tentu akan berkuasa penuh di Sumbawa, dan kita tak mungkin berbuat apa-apa lagi. Kekuasaan yang kita tegakkan dengan susah payah di daratan Makassar, akan musnah karenanya. Ia pasti bahu-membahu lagi secara diam-diam dengan Gowa. Dan bila mereka merasa kuat kembali seperti dulu, kita akan disapunya dari daratan Makassar. Tidakkah itu kau sadari?” tanya Tumalompoa, dan Jurubahasa manggut-manggut melongo. Ia tak berpikir sejauh itu.

“Itulah sebabnya kita mengadu domba Datu Jarewe dan Datu Taliwang. Agar kekuatan yang mulai tumbuh di Sumbawa sekarang, tak sempat menjadi besar. Ini adalah suatu permainan taktik namanya, halus tiada kentara. Kau tentu mengerti, Datu Jarewe selalu patuh pada kita. Dia gila kedudukan, dan apabila ia berhasil menjadi Sultan Sumbawa, maka sebenarnya kitalah yang berkuasa di sana. Dia hanya boneka saja. Dia sudah berjanji padaku, akan memberikan kekuasaan penuh pada kompeni kelak jika ia menjadi Maggauka. Satu-satunya yang dapat menghalang-halangi rencana kita hanya Datu Museng, yang sekarang berada di alas daratan tempat kita berkuasa. Oleh sebab itu kuperintahkan padamu agar segera menyusun kekuatan. Ingat, harus halus caranya, tak boleh kentara. Minta dulu senjata dan isterinya, agar tidak menimbulkan kesan seakan-akan kita ingin memeranginya. Sesudah itu, kita hancurkan pula dia, habis perkara. Demi raja Belanda..., hidup raja Belanda!” seru Tumalompoa, yang disambut dengan pekik yang sama oleh I Tuan Jurubahasa.

“Sekarang, berangkatlah. Usahakan secepat mungkin apa yang kukatakan tadi!”

“Baik, tuan besar. Akan kulaksanakan perintah tuanku sesegera mungkin.”

Ia menundukkan kepala memberi hormat dan melangkah keluar menuju kamar kerjanya sendiri. Di situ ia duduk berpikir keras, memikirkan jalan yang akan ditempuhnya dalam melaksanakan perintah tuannya.

 

Suro Daeng Jarre

 

“Suro, Suro!” I Tuan Jurubahasa berteriak dari dalam kamar kerjanya, memanggil Daeng Jarre, abdi kepercayaannya.

Suro (pesuruh) yang sudah penuh bukti tanda baktinya kepada kedua sembahannya, I Tuan Jurubahasa dan I Tuan Tumalompoa, datang tergopoh-gopoh, lalu duduk bersila menundukkan kepala tepat di depan mata kaki Jurubahasa.

Suro ini selalu patuh pada kedua tuannya itu yang dianggapnya manusia paling berkuasa di dunia. Menurut hematnya, jika di akhirat Tuhan yang berkuasa, maka di dunia penguasanya adalah I Tuan Jurubahasa dan I Tuan Tumalompoa, lain tidak. Ia malah berpikir, kedua tuannya itu wakil Tuhan di atas dunia. Oleh sebab itu, ia selalu merasa perintah kedua orang itu adalah perintah Tuhan. Tak ada yang salah atau janggal, seluruhnya benar.

“Tuanku, apa gerangan keperluan tuanku memanggil hamba?” sembah Suro Daeng Jarre dengan takzim, sambil merenungi jari-jari kaki I Tuan Jurubahasa.

“Daeng Jarre..., dekat-dekat kemari!”

Mendengar perintah itu, Daeng Jarre mengingsutkan pantatnya ke depan sehingga kepalanya yang merunduk itu tepat di bawah lutut Jurubahasa.

“Suro..., dengar baik-baik. Masukkan dalam hati, jangan lupa perintahku biar sepatah kata pun. Kau pergi ke rumah Datu Museng di kampung Galesong. Sampaikan bahwa kata dan perintahku adalah kata dan perintah Tumalompoa di Makassar. Daeng Jarre..., tuan besar minta agar Datu Museng menyerahkan isteri kesayangannya Maipa paapati, serta seluruh persenjataan yang ada padanya. Katakan pula, demi keselamatan dan keamanannya bermukim di negeri kita, ia jangan sekali-kali menampik. Apalagi menentang kemauan tuan besar. Jika sayang pada nyawanya, hendaklah ia taat dan menuruti kemauan baik yang dipertuan dan yang ditakuti di Makassar! Itulah pesanku atau pesan Tumaompoa. Sampaikanlah sebagaimana harusnya. Sekarang berangkatlah, dan kembali sesegera mungkin!”

“Hamba akan laksanakan perintah duli tuanku,” kata Suro Daeng Jarre sambil merunduk hingga hampir mencium lantai dekat ujung kaki I Tuan Jurubahasa.

Ia kemudian pelan-pelan mengingsutkan pantatnya ke belakang. Menjauhi sembahannya, lalu berdiri membungkuk-bungkuk memegang lutut dan hilang di balik pintu. Kini ia tampak meninggalkan pekarangan benteng dengan langkah panjang-panjang. Ingin cepat tiba ke tujuan menyampaikan pesan yang dipertuan Jurubahasa. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Rindunya Bergejolak, Tumalompoa Ingin Segera Miliki Maipa Deapati

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama