Hari Sastra Sulsel: Akan Diusul ke Gubernur?

HARI SASTRA SULSEL. Mahrus Andis (kanan) berbincang-boncang dengan Asnawin Aminuddin, di rumah pribadi Mahrus Andis, di Antang, Makassar, Selasa, 12 Juli 2022. Topik yang dibahas antara lain usulan penetapan Hari Sastra Sulsel.
 





----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 13 Juli 2022

 

 

Hari Sastra Sulsel: Akan Diusul ke Gubernur?

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Seniman, Sastrawan, Budayawan)

 

Masih pagi benar, Asnawin Aminuddin menelpon saya. “Assalamu Alaikum, saya sekarang di depan rumah kita,” sapanya. Saya segera menyambutnya dan menyilakan ia duduk.

Senang sekali dikunjungi seorang teman literasi, pengasuh media online, ustadz, dan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan. Asnawin Aminuddin, mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat, sering bergabung di forum diskusi dan menulis reportase artistik tentang karya sastra.

Pagi kemarin, Selasa, 11 Juli 2022, dia hadir di ruang tamu rumah saya yang sempit dan memaparkan gagasannya yang luas.

“Saya setuju tulisan kita di fesbuk itu. Memang penting menulis jejak kiprah para sastrawan Sulawesi Selatan. Ini akan menjadi sejarah dan referensi buat generasi ke depan.” Asnawin memulai tematik pembicaraannya.

Kedatangannya itu, rupanya tidak sekadar silaturrahim seusai lebaran Idul Adha, tapi juga untuk diskusi dan memotivasi agar saya terus menulis tentang jejak sastrawan Sulawesi Selatan.

“Banyak teman yang menunggu lanjutan tulisan kita,” katanya lagi seraya menyeruput kopi manis racikan istri saya.

“Insya Allah, saya akan terus menulis tentang itu. Saya sedang menggali referensi yang terkait biografi dan karya para sastrawan. Saya memulai dahulu dengan Sastrawan Angkatan Pujangga Baru (1933-1942), A. M. DaEng Miyala. Menyusul yang lain seperti: Husni Djamaluddin, Arsal Al Habsyi, Rahman Arge, A. Hisbuldin Patunru, Aspar Paturusi, Mochtar Pabottingi, Fahmi Syariff, M. Anis Kaba, Djamaluddin Latif, Verdy R. Baso, dan seterusnya,” timpal saya.

“Bagaimana dengan S. Dg. Muntu? Dia kan sastrawan Angkatan Pujangga Baru juga?” tanya Asnawin.

“Nah, itu yang masih abu-abu. Saya perlu mendapatkan data akurat tentang profil kesastrawanan dan karya-karyanya. Saya tidak hanya mau menulis biografinya saja (baca: seperti yang dilakukan banyak orang). Tapi, juga akan berusaha menggali kekuatan pikiran para sastrawan di balik karya-karyanya. Karena itu, sangat penting saya baca, minimal satu, dari hasil karya sastra yang lahir dari tangannya,” jelas saya.

“Sepakat. Itu yang pernah saya katakan, bahwa memang berbeda apabila kritikus yang menulis narasi tentang karya sastra seseorang. Pasti ada sesuatu yang baru dan selalu mencerahkan hati pembaca,” puji Asnawin.

Laki-laki kelahiran Bulukumba yang sudah berusia 55 tahun ini, memang aktif berkomentar di beranda fesbuk saya. Dia punya ambisi besar mengangkat citra sastrawan Sulawesi Selatan di tengah-tengah masyarakat tempat asalnya.

Tokoh sastrawan Sulawesi Selatan, yang selama ini hasil karyanya sudah menasional, seakan tidak diketahui oleh masyarakat di tempat kelahirannya sendiri. Sebutlah misalnya, A. M. DaEng Miyala. Sastrawan asal Makassar yang lahir 02 Januari 1909 ini, hanya dikenal di kalangan tertentu saja. Padahal dia sudah berkarya di level nasional. Bahkan, namanya terukir dalam sejarah Sastra Indonesia sebagai salah seorang tokoh Angkatan Pujangga Baru yang sezaman dengan Sutan Takdir Ali Syahbana, Armiyn Pane dan Muh. Yamin. Mereka tergolong penggerak semangat lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

“Pemprov perlu masukan. Setidaknya ada lembaga perofesi, seperti Dewan Kesenian Makassar (DKM), Komunitas Penulis Satupena, Lembaga Pengembangan Kesenian Sulsel (LAPAKSS) atau Forum Sastrawan Indonesia Timur (FOSAIT) yang membuat rekomendasi tentang ini,” cetus Asnawin.

Saya memandang wajahnya. Janggutnya yang putih tampak bergerak-gerak. Rupanya kipas angin manual yang mengibas udara terlalu kencang.

“Rekomendasi? Tentang apa itu ustadz?” tanya saya.

“Rekomendasi yang berisi usulan agar Pemprov mau menetapkan tanggal kelahiran A. M. DaEng Miyala sebagai Hari Sastra Sulawesi Selatan,” jawab Asnawin.  

Pikir-pikir, ide itu cukup bagus. Hanya saja persoalannya, siapa yang memulai?

“Sebenarnya, kalau mau, itu tidak sulit. Kan ada lembaga perangkat pemerintah yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Buat program seminar kebudayaan dengan tema sentral: Peranan Sastrawan dalam Pembangunan di Daerah. Dari tema besar ini akan muncul tema-tema kecil, kemudian mengerucut ke satu peran figur, yaitu A. M. DaEng Miyala sebagai Tokoh Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Di sinilah pijakan dasar untuk mengusulkan Penetapan Hari Sastra Sulawesi Selatan,” urai saya dan mendapat anggukan dari Asnawin Aminuddin.

Perbincangan kami berlangsung santai. Matahari menjilat tiang listrik. Pagi menghilang. Tamu saya pun pamit pulang. Wajahnya cemerlang. *

 

Makassar, 13 Juli 2022


-----

Baca juga:

Siapakah Sastrawan S. Daeng Muntu?

Reposting Puisi Fahmi Syariff: Sulsel Butuh Kritikus Sastra

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama