Penyair Sebagai Pahlawan Hati Nurani

Nama Andi Baso Amir, biasa disapa ABA, tidak banyak orang mengenalnya sebagai penyair Sulsel yang pernah membungai dunia sastra di tahun 1950-1960-an. Dia lebih dikenal sebagai pemikir budaya dan mantan Bupati Bone di tahun 1967-1969. 

Kehadiran ABA di kancah kesenian, diawali dengan perannya sebagai panitia Festival Drama se Sulsel tahun 1955 di Makassar.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 08 Agustus 2022

 

Jejak Sastrawan Sulsel:

 

 

Penyair Sebagai Pahlawan Hati Nurani

 

(Apresiasi Nilai “Sipakatau” dalam Puisi-puisi Andi Baso Amir)

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)

 

Nama Andi Baso Amir, biasa disapa ABA, tidak banyak orang mengenalnya sebagai penyair Sulsel yang pernah membungai dunia sastra di tahun 1950-1960-an. Dia lebih dikenal sebagai pemikir budaya dan mantan Bupati Bone di tahun 1967-1969. 

Kehadiran ABA di kancah kesenian, diawali dengan perannya sebagai panitia Festival Drama se Sulsel tahun 1955 di Makassar.

Andi Baso Amir  mulai aktif menulis puisi sejak tahun 1940-an. Puisinya dimuat di beberapa surat kabar, terutama Mingguan lokal yang dipimpinnya.

Di era 1960, banyak koran yang terbit di Makassar dan memuat karya-karya para sastrawan dari berbagai daerah di Sulsel. Kekuatan sastra dahulu berkat kerja samanya dengan pemilik koran.

Media Mingguan seperti: Marhaen, Indonesia Pos, Bina Baru, Bawakaraeng, Makassar Times, Duta Masyarakat, dan lainnya, menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, atau cerita bersambung pada rubrik budayanya.

Karya-karya puisi yang ditulis oleh Andi Baso Amir, banyak menghiasi halaman seni-budaya koran tersebut. Ada pula beberapa puisinya yang telah terbit menjadi buku. Dan dari buku inilah, tiga puisinya saya petik untuk sampel pembicaraan.

 

Filosofi “Reso Temmangingngi”

 

Mengamati gaya bahasa puisi ABA, kita bisa mencatat bahwa penyair ini memiliki kompetensi puitik yang kuat. Struktur bentuk dan isi puisinya pun terpelihara dengan rapi. Tema-tema yang disodorkan cukup bervariasi. Kemanusiaan, kebangsaan dan ketuhanan adalah tematik yang menguasai beberapa puisinya.

Meskipun ada kesan bahwa pola persajakannya masih terpengaruh oleh gaya pengungkapan sastra lama, namun hal itu tidaklah menghilangkan karakter khusus puisinya. ABA tetap konsisten pada kejujuran ide dan keberanian melawan segala bentuk kemungkaran yang dia hadapi.

Tiga puisi dari bukunya itu saya apresiasi dari dimensi moral sebagai bahan renungan bersama. Ketiga puisi dimaksud merepresentasikan gejolak pemberontakan jiwa penyair melawan kepalsuan hidup. Perlawanan hati nurani terhadap perilaku kepalsuan, dapat kita baca pada bait puisinya yang berjudul “Arus Bergolak” berikut ini:

 

ARUS BERGOLAK

 

Telah lama aku menderita

Telah lama aku merasa

Cobaan hidup sepanjang masa

Pengaruh harta setiap kala

Telingaku sudah pekak tuli

Mendengar rayuan kata

Mendengar hiburan janji

Janji yang muluk hampa

Aku kerap diajak ke sana

Bercengkerama di taman palsu

Tetapi jiwaku tetap menolak

Khawatir tertipu kelak

Ya, betul badanku rapuh lemah

Karena menderita  nasib sengsara

Jiwaku malahan makin kuat

Menempuh arus gelombang hidup

Hukum hidup harus menderita

Gelagat hidup di alam maya

Guna bahagia di masa depan

Masa gemilang insan sejagat.

 

Makassar, 1949


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama