“Puisi Kematianku”, Instrospeksi ke Dalam Karya

CERITA PANJANG. Dari kiri ke kanan Anwar Nasyaruddin, Dr Suradi Yasil, Mahrus Andis, Asnawin Aminuddin, Ishakim Art, dan Muhammad Amir Jaya, foto bersama di sela-sela diskusi ringan mebahas buku Cerita Panjang “Puisi Kematianku”, karya Mahrus Andis, di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar, Rabu, 03 Agustus 2022. (Foto: Erwin)




------

PEDOMAN KARYA

Kamis, 04 Agustus 2022

 

Prabincang di Meja Solusi:

 

“Puisi Kematianku”, Instrospeksi ke Dalam Karya

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Budayawan)

 

Kafebaca, tempat diskusi para penulis di Jl. Adiyaksa Makassar, tiba-tiba menggebrak kesadaran religius tokoh sastrawan Sulawesi Selatan. Kafebaca, sekaligus warkop yang dimandori oleh Rusdy Embas, mantan wartawan koran terkenal Pedoman Rakyat (1947- 2007), menggelar diskusi kecil tentang Cerita Panjang saya yang berjudul “Puisi Kematianku”, Rabu, 03 Agustus 2022.

Buku ini diterbitkan Tallasamedia-Benteng Sombaopu Makassar, 2022. Terbit perdana dengan oplah puluhan buah untuk bahan diskusi internal di meja Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT).

Cerpan atau Cerita Panjang, suatu genre sastra yang jarang kita dengar. Istilah yang lazim kita baca adalah Cerpen atau Cerita Pendek. Cerpan dan Cerpen, keduanya sama: sebentuk cerita fiksi (khayali) yang mengusung pesan-pesan moral untuk menghibur sekaligus mendidik pembaca.

Secara konvensional, plot (alur cerita) Cerpan dan Cerpen tidak berbeda. Jika tampak perbedaan di antaranya, itu karena pilihan alokasi waktu dan ruang (baca: durasi serta panjang-pendek halaman buku) yang dimanfaatkan untuk merampungkan suatu cerita.

Buku ini berisi perjalanan imajinasi yang saya tuturkan melalui Cerita Panjang. Dari cerita ini, saya berharap ada hikmah yang dapat dipetik oleh para pembaca. Paling tidak, sesuatu berupa proses penyadaran batin manusia akan makna kematian sebagai pintu awal kehidupan yang hakiki.

Dengan demikian, sesudah membaca buku ini tentu ada harapan terakhir, yaitu: semoga cerita yang berjudul “Puisi Kematianku” ini menjadi dakwah bilhikmah untuk kita menyiapkan diri menyambut kematian yang indah.

Model kematian yang indah, dapat dipetik melalui syafaat Allah SWT atas manfaat sebuah karya, semisal puisi di dalam cerpan ini, yang kita ciptakan sewaktu hidup di alam dunia.  

Semoga apa yang tersurat, maupun renungan filosofis di balik kisah imaji ini, mengandung manfaat serta menyajikan pahala bagi penulis dan pembacanya. Setidaknya, cerita ini mampu menggelitik rasa keagamaan para sastrawan sebelum melahirkan karya-karyanya.

Asnawin Aminuddin, peminat karya sastra yang juga mantan wartawan Pedoman Rakyat, menilai bahwa buku Cerita Panjang saya itu adalah sebentuk dakwah yang bermanfaat. Seingat saya, belum pernah ada pengarang yang “berani” mengisahkan proses kematian dirinya.

“Ini luar biasa. Bisa menjadi bacaan introspeksi diri bagi para pegelut literasi,” kata Asnawin seraya membuka-buka halaman buku tersebut.

Suradi Yasil belum menalarkan komentarnya secara jauh. Doktor kebudayaan yang juga novelis ini hanya sempat menanyakan kata “tasawuf” di dalam cerita itu.

“Dari mana logikanya ini? Mengapa ada kata 'tasawuf' terselip di antara perbincangan dua sahabat?” geledahnya.

Saya hanya menyarankan agar ia merenungkan lebih dahulu dialog yang menjadi kausaprima hadirnya kata “tasawuf” tersebut. Suradi Yasil pun paham maksud saya.

Sementara itu, Muhammad Amir Jaya tampak bingung. Buku cerita saya itu diterbitkan dalam format ukuran yang minimalis.

“Hurufnya terlalu kecil. Saya tidak bisa baca,” keluh Amir Jaya, pengarang novel “Samiri.”

Anwar Nasyaruddin, pemerakarsa penerbitan buku itu hanya tersenyum miring. Di wajahnya seakan ingin membantah bahwa bukan hurufnya yang terlalu kecil, tapi mata itu yang sudah bermasalah. Rupanya Amir Jaya, yang pengikut tarikat zikir itu menangkap isyarat di hati Anwar.

Lalu katanya, “Saya harus beli kaca mata dulu.”

Rencana membeli kaca mata tersebut disambut cepat oleh Suradi Yasil.

“Ya. Saya juga. Sebentar kita ke toko kaca mata,” katanya sambil menghentikan bacaannya.

“Tidak usah ke toko. Di depan kampus UIN saja. Murah dan bisa memilih sesuai model dan ukuran,” seruduk Anwar Nasyaruddin.

“Tapi, apa kita tidak diukur lebih dahulu plus-minusnya?” telisik Amir Jaya.

“Tidak perlu. Ukuran mata Bung Amir sudah jelas, yaitu plus-minus mata keranjang,” sambar saya disambut tawa berderai di lobi Kafebaca.

Ishakim yang sejak awal kelihatan serius membaca menghentikan bacaannya. Ia merasa terganggu dengan diskusi yang tiba-tiba membelot ke tema kaca mata. Ia pun berupaya mengendalikan pembicaraan ke diskusi awal.

“Saya tidak mengingkari bahwa ada sesuatu yang baru di buku ini. Minimal ceritanya yang sangat berani melukiskan proses kematian itu. Cuma saja, sepertinya cerita ini masih perlu pengembangan imaji yang lebih spesifik. Misalnya, bagaimana proses penyelenggaraan mayat itu digambarkan sesuai latar tradisi budaya orang yang meninggal,” ucap Ishakim.

Ia memberikan contoh bahwa jika orang yang meninggal itu adalah keluarga raja di Bugis-Makassar, maka keranda usungannya terbuat dari anyaman balasuji. Dan, di setiap sudut balasuji ditancapkan bambu berbentuk bubu ikan yang tengadah ke langit sebagai simbol doa-doa. Juga, kata Ishakim, di atas balasuji itu ada keluarga yang ikut diusung hingga ke tempat pemakaman.

Apa yang dikatakan Ishakim itu tidak salah. Dinamika plot cerpan saya tersebut masih terbuka untuk pengembangan imajinasi yang lebih luas dan menyentuh dimensi kearifan lokal para leluhur Bugis-Makassar. Namun, saya membatasi pengembangan alur seperti itu. Soalnya, cerita saya bersifat universal. Bukan terfokus pada tradisi kematian seorang individu.

“Anda benar, Is,” kata saya kemudian menjelaskan lebih lanjut.

“Cerpan saya ini berbicara kematian secara umum. Setiap orang yang membaca judul cerita ini, pasti dia merasa sebagai 'subjek kematian' itu. Coba Anda baca kembali judulnya, Puisi Kematianku,” jelas saya sambil meminta semua teman untuk mengulangi menyebutkan judul tersebut.

Rupanya tawaran saya sangat “meneror” pikiran para teman diskusi. Asnawin, Amir, Suradi, Anwar, dan juga Ishakim tampak tersenyum kecut. Mereka tidak berani mengulang kembali membaca judul cerpan saya itu. Mereka saling menatap.

Seakan di dalam hati mereka ada bisikan lembut: “Wahai sastrawan, introspeksi karya-karya kalian. Adakah manfaatnya untuk akhirat?”

Diskusi berakhir tanpa kesimpulan. Dari masjid di belakang Kafebaca, adzan ashar menggema. Kami pun segera menghambur memenuhi gema itu.

 

Makassar, 04 Agustus 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama